Bab 5. Benang Yang Terputus

Boleh banget vote dan komen.

Biar authornya semangat nulisnya.
Happy reading! 💕

.
.
.

Sudah hampir tengah malam, namun Tari tak berniat pulang dari rumah Revan. Tidak berhasil membuntuti Revan, Tari memilih untuk pergi ke rumah Revan, berharap prianya itu pulang dan memberinya penjelasan. Semua panggilan dan pesannya tak ada satupun yang terjawab. Orang tua Revan menatap cemas dan bingung dengan keadaan ini. Tari sudah menjelaskan situasi tentang apa yang ia lihat, juga keyakinannya bahwa itu benar Revan.

Awalnya orang tua Revan tak percaya, namun mereka juga menyadari adanya perubahan pada diri Revan akhir-akhir ini. Sehingga mereka memilih untuk diam dan menenangkan Tari, menunggu penjelasan dari Revan.

"Tar, kita pulang aja dulu, yuk? Kalo lo keadaannya emosi dan begini yang ada ntar lo sakit. Besok gue anterin ke sini atau nyari Revan, deh, ya?" bujuk Nadia yang sebenarnya khawatir melihat Tari sekarang. Gadis itu terlihat tenang-dan baik-baik saja, namun napasnya yang berat dan pendek-pendek membuktikan ia sedang menahan emosinya.

"Apa kamu mau nginep di sini, Sayang? Bunda siapkan kamar kalau kamu mau begitu."

"Sebaiknya Tari saya ajak pulang aja, Tante. Kasihan karena Tari belum istirahat dari tadi," Nadia tersenyum dan berusaha menolak halus tawaran Bunda Revan itu. Jika dibiarkan di sini, justru keadaan Tari makin mengkhawatirkan.

"Tar, pulang ya, gue nginep rumah lo dan bakalan nemenin lo, kok."

Tatapan Tari sejak tadi hanya menerwang ke satu titik, diam tak mengatakan apapun. Hingga akhirnya satu usapan lembut disusul pelukan hangat Bunda Revan menyadarkannya.

"Bunda tidak tahu, apa yang sedang terjadi, tetapi Bunda minta maaf atas nama Revan, ya Sayang?" pelukan itu terasa hangat, hingga Tari rasanya ingin menumpahkan tangisnya sekarang juga. Namun ia tak ingin membuat wanita yang sangat dihormatinya ini lebih khawatir lagi. Kedua tangannya terangkat untuk membalas pelukan Bunda, tepat saat itu terdengar gerbang depan terbuka dan ada suara mobil yang memasuki pekarangan.

"Revan!"

Panggilan Tari itu membuat sosok yang baru melangkah masuk itu terkejut. Menatap dengan mata membola saat melihat sosok Tari dan orang tuanya di ruang tamu. Sementara desiran aneh menggores perasaan Tari saat ia menyadari pakaian sama persis yang digunakan tadi.

"T-Tari? Kenapa kamu di sini?"

Bangkit dari duduknya, Tari langsung menghampiri Revan dengan perasaan campur aduk, berniat meminta penjelasan pada pria yang sebentar lagi akan menikahinya itu. Tentang apa yang sebenarnya terjadi.

Namun, langkahnya terhenti sebelum sampai di hadapan Revan, ketika wanita yang ia lihat beberapa waktu lalu tiba-tiba masuk dan berdiri di samping Revan. Terlebih, tanpa ragu memeluk lengannya.

"Van," suara wanita itu terdengar merajuk pada Revan yang saat ini terlihat tegang.

"Apa yang sedang kulihat ini, Van?" Berusaha tidak kalah dengan emosinya yang kini mulai meletup tak masuk akal dalam dirinya, Tari bertanya dengan suara pelan pada Revan.

Tidak ada jawaban, Revan membuang napasnya kasar dan memilih untuk menghindari tatapan Tari.

"Jawab Van, apa maksud semua ini?"

"Aku bisa jelasin, Tar,"  jawab Revan bersamaan dengan satu tangannya yang berusah melepas pelukan wanita di sampingnya.

"Maaf, Tari. Karena aku udah menghindari kamu beberapa waktu ini dan menghilang selama beberapa hari. Aku... ada hal yang harus aku urus."

"Kamu bilang sibuk karena pekerjaan, aku mencoba untuk ngerti. Tapi..." Tari menggantung kalimatnya untuk menatap wanita yang masih berdiri dengan wajah santai di samping Revan. "Siapa dia? Kenapa sikap kalian seolah..." Tari tak sanggup menyelesaikan ucapannya.

"Tari, aku bisa jelasin ini. Sebaiknya kita duduk dulu."

"Nggak. Jelasin semuanya sekarang, Van."

"Nak, ada apa ini sebenarnya?" Bunda yang sejak tadi hanya diam, kini ikut berdiri di samping Tari meminta penjelasan.

"Bunda, Ayah..."

Menarik napas panjang lalu mengembuskannya pelan, Revan menunduk. "Ayah, Bunda, aku minta maaf. Aku mengecewakan kalian dengan hal ini." Ada jeda beberapa detik sebelum Revan menjelaskan kembali.

"Banyak hal tak terduga yang terjadi, aku nggak bisa mengatakan hal itu pada kalian. Tetapi, kurasa pada akhirnya kalian akan segera tahu. Aku benar-benar minta maaf."

Belum apa-apa, namun dada Tari terasa begitu sakit sekarang. lalu dilihatnya Revan menarik tangan wanita di sampingnya itu.

"Dia Mira, temen SMA ku dulu. Dan sekarang... Mira sedang hamil anak aku."

Sontak tatapan Tari membola saking terkejutnya dengan kalimat yang diucapkan Revan Dia tidak salah dengar, kan?

"Apa maksud kamu?" Kali ini Bunda yang bertanya dengan tatapan menyalak pada putranya itu. "Apa maksud kamu, Van?"

Revan menunduk dalam, tak mampu menatap dua wanita di hadapannya itu. "Maaf, Bun, Yah. Aku udah ngelakuin kesalahan yang nggak termaafkan..."

Plakk!

Satu tamparan keras datang dari tangan sang Ayah. "Kamu sadar apa yang sedang kamu lakukan sekarang?" ucap ayahnya dengan penuh kemarahan. 

Revan hanya menunduk, menerima kemarahan ayahnya. Tari tidak tahu lagi harus bereaksi apa. Nadia memegai tubuhnya yang sudah mulai gemetar dan lemas itu. Dia tidak sedang berhalusinasi, kan?

"Van, k-kamu... kenapa kamu tega ngelakuin ini sama aku, Van? Kenapa?" 

"Maaf, Tari. Aku benar-benar nggak bermaksud menyakiti kamu dengan cara seperti ini di saat pernikahan kita akan segera dilakukan. Aku hanya..."

"Apa, Van? Hanya apa? Kamu sadar nggak sih, Van! Kamu udah gila ya? Kamu nggak mikrin aku sama sekali? Semua yang kamu lakukan untuk aku itu apa? Arti hubungan kita itu apa, sampai kamu bisa menghamili dia saat kita harusnya nikah?!"

Tari sudah tak bisa menahan diri, air matanya tumpah dan dadanya sakit sekali saat ini. Bahkan ia melihat wanita itu bahakan tak merasa bersalah telah menyebabkan keributan ini. Sementara Revan hanya menunduk seperti orang bodoh di hadapannya. Gila, rasanya Tari bisa gila sekarang.

"Maaf, Tar."

Permintaan maaf yang diucapkan oleh Revan itu justru menyakiti perasaannya semakin dalam. "Bagaimana kamu tega ngelakuin ini, Van?" tangisnya terduduk di lantai dan membuat Nadia memeluknya panik.

"Kamu nggak cinta sama aku? Kamu mengkhianati aku sejak kapan? Ngomong, Van! Sejak kapan kamu punya hubungan dengan wanita ini sampai dia hamil anak kamu!" raungnya sambil memukuli dada, berharap rasa sakitnya berkurang, berharap ia bisa menyingkirkan ribuan pisau yang menhunjam hatinya.

"Berapa bulan? Berapa bulan kehamilannya?" Tari masih berusaha menguatkan hatinya untuk mendapatkan penjelasan.

"Tiga bulan."

Matanya terpejam kuat menahan kekecewaan besar yang menghantamnya tentang pengkhianatan yang dilakukan Revan.

Hanya ada tangis dan raungan pilu yang terdengar dari Tari maupun Bunda yang menangis tergugu dalam pelukan Ayah. Malam itu, rumah yang selalu damai itu porak poranda dan kehilangan sinarnya. Digantikan oleh kesuraman dan tangisan dari dua wanita yang tersakiti jiwanya.

***

Ketukan di pintu kayu berwarna coklat itu masih terdengar, hanya terjeda beberapa saat sebelum kembali berbunyi.

"Tar, Nak, keluar kamar dulu yuk, Sayang." Panggilan bernada khawatir itu terdengar dari Sarah, seseorang yang menyandang sebutan Mama dari Tari.

"Kamu belum makan dari kemarin, Nak. Keluar dulu yuk, bentar."

"Masih nggak mau keluar, Ma?" tanya pria dengan raut kebapakan yang tegas menatap istrinya yang sejak kemarin tak absen dari depan pintu kamar anak gadisnya itu.

Sudah dua hari ini Tari mengurung diri di kamarnya. Setelah apa yang terjadi beberapa waktu yang lalu, di rumah Revan. Baginya ini seperti mimpi buruk yang membuatnya terjebak dan tak bisa bangun. Dunianya hancur dan terkubur dalam mimpi buruk itu.

"Tari, keluar, Nak. Kamu nggak kasian sama Mama? Kalau kamu nggak mau keluar lima belas menit lagi, Papa akan dobrak paksa pintunya.

Dari balik pintu, Tari mendengar semua itu. Perasaannya penuh dengan emosi yang bercampur dan membuatnya sesak. Ia merasa gila, merasa tak bisa menerima kenyataan juga rasa sakit yang mengurung dan menghancurkan hatinya.  Apa yang sebenarnya terjadi pada pria yang harusnya lima hari lagi mengucap akad nikah padanya itu? Kenapa Revan tega melakukan hal ini padanya?

Ia hanya meringkuk di atas tempat tidurnya dengan kepala berat dan mata yang membengkak karena menangis tanpa henti. Padahal ia sudah berusaha menunggu dan memberi Revan waktu, nyatanya Revan justru melakukan hal paling buruk padanya.

Ponselnya kini kembali berdering. Panggilan dari Nadia. Temannya itu berkali-kali menghubungi dan mengirim pesan padanya, yang semuanya ia abaikan.

Ketukan di pintunya terdengar lagi. "Tari, Papa buka pintunya, ya."

Langkah beratnya turun dari tempat tidur, membuka pintu kamarnya dengan tangan gemetar. Begitu pintu terbuka, tubuhnya menghambur dalam pelukan papanya. Air mata yag tak ingin ia perlihatkan itu pada akhirnya membasahi baju papanya.

"Pa, kenapa Revan begini? Dia mengkhianti Tari, Pa," lirihnya di sela tangis, yang hanya direspon oleh elusan lembut tangan besar papanya di punggungnya.

"Nanti kita ke rumah Revan, dan meminta tanggung jawab juga penjelasan darinya. Sekarang, kamu makan dulu, ya? Kamu dari kemarin nggak makan. Kasian mamamu cemas."

Tari menggeleng, "Nggak, Pa. Tari nggak bisa makan."

"Harus makan, ya. Anak Papa harus kuat, ya."

Tak ingin membuat orang tuanya mengkhawatirkannya, Tari menurut saat langkah sang Psapa membawanya turun ke dapur menjumpai sang Mama yang berusaha tampak tegar di hadapannya.

"Tari anak kesayangan Mama dan Papa, kuat ya, Nak> Ada Mama dan Papa di sini buat kamu."

Air mata itu kembali jatuh, membanjiri seluruh perasaan dan jiwa Tari. Tak ada yang lebih menyakitkan ketika melihat orang tuanya harus berpura-pura tegar demi dirinya. Tuhan memberikan skenario ini untuknya, entah siapa yang salah.

.

.

.
Bersambung.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top