Bab 41. Hilang
Boleh banget vote dan komen.
Biar authornya semangat nulisnya.
Happy reading! 💕
.
.
.
Tidak ada yang lebih membuat stres seseorang selain pikiran berlebih akan suatu keadaan. Seperti mencemaskan hal-hal yang belum pasti, belum terjadi, bahkan sebenarnya tidak mungkin terjadi. Tetapi manusia memang hobinya berpikir dan berandai-andai yang tidak-tidak. terlalu sering negatif thinking daripada positif thinking. Itulah yang menggambarkan keadaan Tari sekarang.
Sudah tiga hari sejak pertemuan terakhirnya dengan Cakra di studio hari itu. Cakra tidak menghubunginya seperti biasa. Tidak ada kabar, tidak pesan candaan yang tak pernah absen seperti biasanya. Tidak ada menu makan siang yang dikirim melalui Ojekyfood seperti biasanya. Tidak ada jemputan tiba-tiba seperti biasanya. Benar-benar hilang tanpa kabar. tari yang mengesampingkan egonya untuk menghubungi Cakra lebih dulu pun, tak mendapatkan hasil. Ia tidak bisa dihubungi. Hilang entah ke mana. Bahkan yang lebih membuat Tari overthinking adalah ketidakhadiran Pak Angga di kantor. Ya, atasannya itu juga tidak masuk. Semua itu membuat Tari berprasangka tidak baik.
"Tari... Tar...Bu Anantari...?"
Nadia melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Tari sampai ia tersadar dari lamunannya. "E-eh? Kenapa, Nad?" tanyanya tergagap kaget.
"Apa yang dipikirin sih, Tar? Sampai nggak fokus beberapa hari ini?" Nadia mengaduk kopinya. Mereka sedang berada di pantry, baru menyelesaikan makan siang yang mereka pesan dari layanan antar.
Nadia melirik Tari yang tersenyum tipis sebelum memberi jawaban. "Gue nggak mikirin apa-apa, kok,"
"Bohong banget. Kayak gue baru kenal lo sehari dua hari aja. Gue udah hapal ya sama kebiasaan lo." Nadia berpindah duduk di kursi depan Tari. "Kali ini kenapa lagi? Apa Revan melakukan sesuatu yang mengganggu lo lagi?"
"Hah? Revan?" Sempat bingung, Tari langsung menggeleng. "Bukan Revan kok, Nad."
Ajaib, bahkan sekarang nama Revan tak lagi berpengaruh di hati dan pikirannya. Revan dan segala ceritanya seolah terhapus begitu saja dan tergantikan oleh Cakra. Tari menahan napasnya menyadari fakta itu. Benar, ia hanya fokus pada keberadaan Cakra yang menghilang dan tak sempat memikirkan hal lain.
"Tar, tuh, kan. Ngelamun lagi." Nadi menggoyangkan lengan Tari pelan supaya gadis itu kembali ke kenyataan. "Cerita sama gue dong, lo kenapa nggak fokus begini kalau bukan karena Revan?"
Tari menatap Nadia sebentar sebelum menghela. "Cakra tiga hari ini menghilang. Gue nggak tahu dia ngapain dan di mana."
"Dia nggak bilang apa-apa ?"
Tari menggeleng. "Nggak. Tapi, Nad, Pak Angga juga nggak masuk kantor tiga hari ini, kan? Ada apa ya?"
Nadia tersenyum kecil lalu mencubit pipi Tari gemas. Ia sadar, temannya itu kini sedang berusaha membuka hatinya untuk Cakra. "Kalau ini ada kaitannya sama Pak Angga juga, positif thinking aja mereka ada urusan keluarga, ya? Jadi lo nggak usah mikir aneh-aneh."
"Ya, tapi kan bisa ngabarin. Abis itu ngilang lagi kan nggak apa-apa, gue minimal tahu kabarnya."
"Khawatir banget, ya. Gue tahu ini bukan saat yang tepat buat ngomong ini. Tapi gue lega dan senang karena lo mau membuka diri sama Cakra."
Tari menghela, tatapannya menunduk menatap jemarinya yang bertaut gelisah sejak tadi. "Gue nggak tahu, Nad. Gue nggak mau buru-buru menamai perasaan ini apa. Tapi gue sadar, gue mulai terbiasa dengan presensi dia di hidup gue. Tiba-tiba dia nggak ada kabar gini, bikin gue gelisah dan ingat saat sebelum Revan mengkhianati gue."
"Hus! Jelek banget pikirannya!" Nadia membawa Tari dalam pelukannya, menepuk-nepuk punggung Tari dengan lembut. "Buang pikiran jeleknya, ya? Ini karena ada kaitannya sama Pak Angga yang kebetulan nggak ada selama tiga hari yang sama, lo positif thinking aja. Siapa tahu mereka benar-benar ada urusan keluarga, ya?" Nadia melepas pelukannya lalu tersenyum lebar.
"Thanks ya, Nad. Lo adalah teman terbaik gue."
***
Hening menyelimuti ruangan yang telah beberapa hari ini dihuni oleh mereka. Cakra menatap kosong pada sosok yang terbaring tak sadarkan diri di atas ranjang pasien. Ibunya duduk di sampingnya dengan tatapan yang khawatir. Sementara Angga sedang pergi mengurusi berkas-berkas kecelakaan di kantor polisi setempat.
Ya, mereka semua berada di Surabaya karena kecelakaan lalu lintas yang menimpa Ayahnya. Kecelakaan yang menyebabkan Ayahnya mengalami patah kaki dan terbaring tak sadarkan diri. Ibunya bahkan nyaris pingsan saat pertama kali tiba dan mengetahui kondisi Ayahnya. Sementara ia dan Angga tak bisa mengatakan apapun meski kaget melihat keadaan sang ayah. Mereka harus kuat agar Ibu mereka pun sanggup menguatkan diri.
"Angga belum kasih kabar lagi, Ka?" tanya Ibunya memecah keheningan.
"Belum, Buk. Jangan pikirin itu, Ibu harus istirahat biar Cakra yang nungguin Ayah. Nanti Mas Angga pasti segera ngabarin kita kalau memang sudah selesai ngurus berkasnya. Ibu belum istirahat yang cukup sejak kita di sini."
Ibunya hanya menggeleng. "Gimana Ibu bisa istirahat kalau keadaan Ayahmu masih begini?"
"Tapi Ibu butuh istirahat, jangan sampai Ibu justru sakit. Ada aku sama Mas Angga di sini."
.
.
.
Bersambung.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top