Bab 4. Jarak
Boleh banget vote dan komen.
Biar authornya semangat nulisnya.
Happy reading! 💕
.
.
.
Ini sudah kesekian kalinya Tari berusaha menghubungi nomor yang menjadi kontak teratasnya itu. Ya, siapa lagi jika bukan Revan. Sudah dua hari ini Revan menghilang tanpa kabar, sama sekali. Bahkan ketika Tari akhirnya mendatangi rumahnya, pria kesayangannya itu tak ada. Bunda bilang, akhir-akhir ini Revan sering pergi keluar dan tak jarang ia menginap.
"Bunda kira, Revan pergi sama kamu, Sayang." Itulah yang dikatakan oleh Bunda saat Tari menanyakan dimana keberadaan Revan.
Tari semakin merasa cemas dan tak nyaman. Revan tak pamit atau mengatakan apa-apa padanya. Bahkan setelah pertengkaran mereka minggu lalu soal fitting baju. Sebenarnya, sejak saat itu Revan sudah semakin sulit dihubungi. Dia akan menjawab pesan Tari setelah beberapa jam kemudian. Tari berusaha mengerti agar mereka tak perlu lagi drama dan bertengkar mendekati hari pernikahan.
Namun, dua hari ini berbeda. Revan tak bisa dihubungi, bahkan oleh orang tuanya. Hingga sore itu Tari memutuskan untuk mendatangi kantor Revan sepulangnya dia dari kantor. Bermaksud untuk menemui pria itu jika Revan menghindarinya.
"Permisi, maaf mau tanya apa bisa bertemu dengan Revan Mahardika dari divisi IT?" tanya Tari kepada resepsionis.
"Sudah ada janji sebelumnya, Mbak?"
"Belum, Pak Revannya tidak bisa saya hubungi, makanya saya ke sini."
"Baik, ditunggu sebentar ya. Saya sambungkan ke bagian IT."
Tari mengangguk saat resepsionis itu menghubungi divisi Revan dan menyampaikan kedatangannya. Dia jarang sekali ke kantor Revan, lebih sering Revan yang ke kantornya untuk menjemput atau sekadar ikut kumpul bersama teman-teman Tari sepulang kerja.
"Mbak, maaf. Informasi dari bagian IT, Pak Revannya sudah dua hari ini tidak masuk bekerja."
Tidak masuk kerja?
"Oh, ini beneran nggak masuk, Mbak? Boleh saya tahu kenapa izinnya?"
"Mohon maaf, Mbak, kami tidak bisa memberikan informasi lebih lanjut mengenai hal itu. Namun, jelas Bapak Revan tidak masuk bekerja selama dua hari."
Informasi yang jelas membuat kening Tari berkerut semakin dalam. Apa yang sebenarnya terjadi dengan Revan? Setelah mengucapkan terima kasih, Tari memutuskan untuk pulang, ia kembali mencoba menghubungi kontak Revan namun hasilnya sama sekali tak ada jawaban.
"Nad, lo udah balik belum?" akhirnya ia menghubungi Nadia, ia merasa perlu berbagi isi kepalanya yang sudah kepalang semerawut ini. Agar ia tak meledak dengan berbagai kemungkinan yang melintas di kepalanya.
'Belom, ini gue baru nyampe di kafe. Mampir bentar sebelum pulang. Kenapa?'
"Gue susul lo ke sana, boleh? Gue butuh cerita, kalo lo nggak keberatan dengerin."
'Oke, dateng aja ke MY I kafe yang deket perempatan Kemuning. Gue tunggu di sini, nggak usah buru-buru, gue tunggu.'
"Hm, makasih, Nad."
Ia mengembuskan napas lega setelah menghubungi Nadia. Memang, temannya itu selalu bisa diandalkan, ingatkan Tari untuk selalu berterima kasih atas kehadiran Nadia di hidupnya. Lalu, setelah memesan mobil dari taksi online, Tari menuju kafe yang berjarak dua puluh menit dari kantor Revan.
***
Bau khas kopi menyeruak masuk ke indera penciuman Tari begitu ia masuk ke dalam MY I kafe. Tak butuh waktu lama sampai ia menemukan keberadaan Nadia di salah satu meja dan menghampirinya.
"Sorry, lama nungguin, ya?"sapa Tari begitu sampai di depan Nadia.
"Nggak, kok. Lo dari mana, gue kira udah pulang soalnya tadi lo buru-buru balik."
"Gue dari kantor Revan."
"Hah? Ngapain, kalian belum baikan sejsak kemarin hari itu?" tanya Nadia tak percaya dan hanya dijawab anggukan oleh Tari.
"Gue sebenernya nggak menganggap ini sebagai berantem. Tapi gue mencoba mengerti kesibukan Revan dan ngasih dia ruang untuk sendiri, hitung-hitung gue anggap ini kayak pingitan. Tapi, dua hari ini nomornya nggak bisa dihubungi, Nad."
"Sama sekali nggak bisa, atau jarang kasih kabar?"
"Ya, sama sekali nggak bisa." Tari menarik napasnya pelan, tatpannya kini menerawang, membayangkan kejadian kemarin saat ia mendatangi rumah Revan.
"Bentar deh, Tar. Ini tadi lo ke kantornya buat nyari dia, kan? Kenapa jadinya lo nyusul gue ke sini?" Nadia terlihat makin bingung.
"Gue ke sana untuk ketemu dia, tapi katanya, Revan nggak masuk kerja dua hari."
"Hah?"
Seulas senyum getir muncul di bibir Tari sebelum ia menunduk dan meneghela napasnya lelah. "Gue bingung, Nad. Revan kayaknya bener-bener berubah akhir-akhir ini. Gue nggak punya penjelasan kenapa dia begini, gue mencoba memikirkan apa yang salah tapi gue nggak tahu. Gue mau dia menjelaskan langsung tapi dia..."
Tari menyatukan dua telapak tangannya di wajah, menutupi rasa panas yang ia rasakan menjalari wajahnya.
"Revan kayak tiba-tiba hilang tanpa penjelasan, Nad. Dia nggak ada dan kontaknya nggak bisa gue hubungi. Gue kemarin juga udah ke rumahnya. Dan coba lo tebak apa yang gue dapet dari sana? Bunda bilang, Revan nggak pulang selama dua hari."
"Serius, Bundanya bilang gitu?" Nadia menutup mulutnya saking kagetnya mendengar penuturan Tari.
"Iya, dia udah nggak pulang selama itu. Bunda pikir, dia pergi sama gue makanya nggak dicariin. Kontaknya juga nggak bisa dihubungi sama Bunda. Gue khawatir ada apa-apa sama Revan."
Nadia menutup matanya berpikir keras tentang apa yang dirasakan oleh Tari. "Lo ada kontak temen-temennya untuk nyari tau."
"Udah, tapi nggak ada yang tau."
Nadia mendekati Tari lalu memeluknya, "Sabar ya, Tar. Gue nggak tau harus ngomong apalagi. Ujian pernikahan lo kenapa berat banget sih, Tar."
"Gue nggak tau, Nad. Gue juga ngerasa gitu, berat banget. Salah nggak sih, Nad kalo gue merasa ini semua mulai nggak adil?"
Tari melepaskan pelukannya lalu pengusap bahu Tari dengan penuh pengertian. "Ini artinya cinta lo berdua kuat dan sedang diuji. Gue yakin, kalian bisa lalui ini dengan baik. Jangan sampai terbawa emosi berlebihan."
Tari mengangguk, "Thanks, ya, Nad. Lo selalu bisa bikin gue lebih tenang."
"Sama-sama, Tar. Kapanpun lo butuh, gue siap membantu selama gue mampu." Nadia tersenyum tulus dan itu membuat Tari ikut tersenyum. "Oh, lo tadi belum pesen kan, gue pesenin ya." Nadia segera berdiri dari duduknya, berniat pergi ke konter pemesanan. Namun, gerakannya terhenti saat matanya fokus pada satu titik di kanan depannya.
"Tar, itu... Revan bukan, sih?" bisiknya pelan menunjuk sosok pria bertopi yang keluar dari ruangan reservasi privat.
Mengikuti arah tunjuk Nadia, Tari menoleh dan seketika kedua matanya membola. Sosok yang tidak asing itu terlihat buru-buru berjalan keluar, seolah tak ingin terlihat di sana.
"Revan!"
Refleks, Tari berteriak memanggil lalu tanpa sadar sudah mengejar sosok pria yang ia yakini adalah kekasihnya itu. Ya, ia sudah hapal betul dengan postur tubuh Revan.
Mendengat panggilan itu, sosok bertopi itu menoleh dan di detik berikutnya justru mempercepat langkahnya kelar.
"Van! Revan! Tunggu!"
Tari berlari mengejar, namun ia kalah cepat. DI parkiran, ia melihat Revan memasuki mobil yang asing bagi Tari. Membuatnya sedikit sanksi apakah ia benar atau hanya kemriripan saja. Nadia yang ikut berlari mengejar Tari kini terngah di samping gadis itu.
"Beneran Revan?"
"Iya, Nad. Gue hapal sama posturnya meski dia pake topi dan kacamata. Gue yakin itu tadi Revan, kenapa dia lari kalau nggak ada yang salah."
"Mobilnya udah pergi?" Tari hanya menjawab dengan anggukan. "Kita kejar pake mobil gue, ayo!" Nadia sudah berlari dan menrik lengan Tari untuk mengikutinya. Namun yang terjadi setelah mereka sampai di gerbang depan, rasanya membuta jantung Tari berhenti.
Mereka melihat Revan sedang memapah seorang wanita yang menunggu di samping pos untuk segera naik ke mobilnya. Yang membuat Tari tak percaya adalah bagaimana intim dan manjanya lengan wanita itu bergelayut manja pada Revan yang terlihat sama sekali tak keberatan.
Apa yang sedang kamu lakukan, Van?
.
.
.
Bersambung.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top