Bab 39. Proposal
Boleh banget vote dan komen.
Biar authornya semangat nulisnya.
Happy reading! 💕
.
.
.
"Kamu tuh ke sini mau ngapain sebenarnya?" Angga melirik adiknya yang fokus memperhatikan layar laptop di depannya. Dia sendiri kaget karena Cakra tiba-tiba datang tanpa memberitahunya lebih dulu. Terlebih, setelah datang, adiknya itu meminta akses kamera cctv di ruang manajer.
"Mau jemput Tari. Tapi ada yang harus gue cek sebentar."
Angga menggelengkan kepalanya heran. Dia sendiri sebenarnya tak mengerti apa yang ingin Cakra lihat melalui rekaman kamera itu.
"Bentar, kamu lihat kamera bukan untuk memata-matai Tari, kan?" Angga langsung bangkit dari duduknya menghampiri Cakra, ikut menunduk melihat layar.
"Nggak lah. Gila banget tuduhan lo sama adik sendiri. Gue bukan cowok kayak gitu ya, Mas."
"Ya, habisnya tiba-tiba datang dan minta akses liat ruangan manajer. Mas aja jarang liat, loh." Angga menyipitkan pandangnya mengamati apa yang terjadi di layar. "Itu kan Tari, katanya nggak memata-matai? Ini kamu ngeliatin ruangan Tari."
Cakra hanya mendengus kesal mendengar omelan Angga. Mengabaikan sang kakak dan fokus pada kejadian beberapa lalu yang ia lihat. Ada OB yang membawakan sebuah kotak besar untuk Tari, yang kemudian dibuka olehnya. Cakra bisa melihat setelahnya Tari membaca surat dari dalam kotak lalu gadis itu menangis. Ya, benar. Ternyata Tari tadi baru saja menangis. Kerutan di dahinya begitu dalam saat melihat betapa rapuh dan tersedunya tangis Tari dalam pelukan Nadia. Apa isi kotak itu begitu juga dengan suratnya, sampai Tari menangis seperti itu?
Cakra menghentikan rekaman cctv itu sampai saat ia mendatangi ruangan Tari tadi. Kali ini ia merenggangkan tangannya lalu menghela napasnya panjang. Ia penasaran dengan isi kotak juga kenapa Tari sampai berbohong soal ia menangis. Apa Tari belum bisa percaya sepenuhnya padanya?
"Mas, Tari tuh kalau di kantor kayak gimana?"
"Apanya, sikapnya maksudmu?"
"Iya."
Angga tersenyum lalu menatap Cakra. "Dia kalau sedang kerja ya profesional sih, cekatan, penuh tanggungjawab, nggak pernah membuat kesalahan. Semua pekerjaan dia sempurna dan selalu jauh melebihi ekspektasi semua orang. Makanya ia naik ke posisi yang sekarang, Itu karena kinerja dia yang bagus. Dia juga tegas dan penuh pertimbangan dalam setiap tugas yang menjadi tanggung jawabnya. Mas suka dengan kinerja dia."
Cakra hanya diam mendengarkan ulasan dari kakaknya itu. Pikirannya melayang jauh saat ia mulai dekat dengan Tari dulu. Betapa Tari galak dan sinis, juga sering berprasangka buruk padanya. Namun, akhir-akhir ini ia melihat Tari sebagai sosok lain yang lebih lembut, hangat, dan sedikit rapuh, apalagi jika itu soal hati.
"Udah jam lima, gue balik duluan, ya. Mau anterin Tari pulang." Cakra bangun dari duduknya lalu berpamitan pada Angga, sebelum ia benar-benar keluar dari ruangan kakaknya.
Cakra berhenti sebentar di depan ruangan manajer, lalu ia kembali mengetuk sebelum masuk ke dalam. "Udah selesai dan siap?" tanyanya pada Tari yang terlihat sedang mengemasi barang di tasnya.
"Oh, udah. Bentar." Tari membawa tasnya juga kotak yang tadi ada di mejanya. "Nad, gue duluan ya," pamitnya pada Nadia yang dijawab dengan anggukan dan jempol oleh Nadia.
"Hati-hati di jalan, nanti hubungi gue kalau lo udah senggang, ya?"
"Iya, Nad. Thanks, ya. Lo juga hati-hati pulangnya." Tari berjalan ke arah Cakra dengan senyuman tipis yang masih membuatnya terlihat cantik meski jejak air mata masih terlihat di wajahnya.
"Ini kotaknya nggak ditinggal aja? Harus dibawa?" tanya Cakra saat melihat si kotak yang membuatnya penasaran itu.
"Em, harus aku bawa pulang soalnya. Nggak apa-apa kan aku bawa ini? Atau aku titip ke Nadia biar dia antar ke rumah nanti, kalau kamu keberatan," ucap Tari tergagap dan Cakra bisa mendengar getar dalam suaranya.
"Nggak usah, aku nggak keberatan. Sini biar aku yang bawa." Cakra mengambil alih kotak yang lumayan besar itu dari Tari, ia lalu menoleh pada Nadia yang masih memperhatikan mereka dari mejanya.
"Saya bawa pulang Tari duluan, ya, Mbak. Permisi," pamitnya tersenyum pada Nadia lalu berjalan lebih dulu keluar dengan membawa kotak milik Tari.
Sementara Tari menyusul cepat di belakangnya, sedikit ragu untuk berjalan di samping Cakra karena beberapa karyawan senior menyapa Cakra saat mereka berpapasan. Ia tidak mau disalahpahami oleh staff lain jika ia sedang dekat dengan Cakra.
"Ini kamu harus buru-buru pulang atau nggak?" tanya Cakra begitu mereka sampai di lobi dan ia meletakkan kotak Tari di bangku belakang.
"Nggak ada, aku di rumah aja seperti biasanya. Kenapa?"
"Kamu keberatan nggak sih, kalau ikut aku sebentar?"
"Ke mana?"
"Ke studio bentar ya, tadi aku minta anak-anak lain nungguin kita."
"Temen-temen band kamu?" Seketika Tari ingat adegan marah-marahnya saat ia mengetahui fakta liriknya.
"Iya, siang ini mau selesaikan demo lagu yang baru. Kemarin baru bisa dua yang selesai."
Tari ber 'Oh' dalam diam. "Iya, nggak apa-apa. Terserah kamu aja."
***
Tari melayangkan pandangannya pada gedung minimalis modern yang berada di daerah griya perumahan elit ibukota. Gedung dua lantai yang terlihat elegan, tegas, dan nyaman itu berdiri di antara rumah-rumah mewah yang berjajar rapi di kanan kirinya.
"Masuk yuk Tar," ajak Cakra tersenyum melihat Tari terdiam di samping mobil. Ia sudah mempersiapkan semua untuk kedatangan Tari. Dilihatnya dua motor terparkir rapi di garasi. Teman-temannya sudah datang rupanya. Cakra berjalan masuk lebih dulu diikuti Tari yang malu-malu di belakangnya.
"Dari mana aja, sih, Ka. Lo tuh kebiasaan tiba-tiba ngilang kalau kita sedang sibuk," omel Arza yang langsung terhenti ketika melihat Tari. "E-eh, ini...."
"Ngomel mulu lo, Za." Cakra tersenyum lebar dengan mata puas saat melihat ekspresi terkejut teman-temannya.
"Kenalin, ini Tari. Kalian udah pernah ketemu sebelumnya, kan." Cakra tersenyum memperkenalkan mereka.
Tersenyum canggung Tari maju satu langkah lalu menundulkan tubuhnya, menyapa. "Halo, saya Tari. Maaf jika pertemuan pertama kita dulu dalam situasi yang tidak menyenangkan. Salam kenal semuanya."
Arza, Riyan, dan Dion mengangguk sopan membalas sapaan Tari. "Salam kenal juga, Tari."
"Tar, seperti yang kamu ahu, mereka temen-temen yang selalu ada dan bantuin aku mewujudkan keinginanku dalam hal bermusik. Mereka supporrt system dan tim terbaikku," jelas Cakra masih dengan senyumnya, sementara Tari mengangguk dan balas tersenyum tipis pada Cakra.
"Kalian lanjutin dulu ya, gue mau ngomong sama Tari bentar," pamit Cakra pada teman-temannya lalu menarik tangan Tari agar gadis itu mengikutinya ke ruang kerjanya.
"Duduk dulu, Tar." Setelah mempersilakan Tari duduk, Cakra berjalan cepat menuju mejanya lalu membuka laci. Mengeluarkan sebuah kotak berukuran sedang berwarna hitam. Cakra kemudian duduk di samping Tari di sofa.
Tari yang sejak tadi canggung, dan diam, kini menatap Cakra heran.
"Tar, aku mau bicara serius sama kamu. Aku mau kamu dengar dulu semua yang aku katakan sama kamu."
Cakra kemudian membuka kotaknya lalu mengeluarkan lembaran-lembaran kertas lusuh dan terlihat sobek yang disambung menggunakan plaster. Menyerahkan lembar-lembar itu pada Tari.
Kedua mata Tari terbelalak begitu menyadari lembaran apa yang ada di hadapannya itu.
"I-ini kan... ini, kertas-kertas tulisanku yang udah kubuang. Kenapa ada di kamu?" tanyanya heran dan bingung. Ia melihat lembar demi lembar yang ada di pangkuannya kini. Kertas yang lusuh karena sudah ia remas sebelum ia buang, lalu ada yang sudah ia robek-robek dan direkatkan lagi menjadi satu.
"Iya, kamu selalu membuang dan merobeknya setiap kamu selesai dan pulang. Seperti yang aku bilang sebelumnya, kehadiran kamu di My I menarik perhatianku. Aku sungguh-sungguh nggak bermaksud apa-apa selain melihat kamu yang selalu sedih tiap datang. Lalu penasaranku muncul setelah melihat kamu beberapa kali membuang kertas-kertas ini. Aku mengambilnya karena penasaran, apa yang membuat kamu menangis tiap malam."
Cakra menatap Tari tepat di mata, tatapannya lembut dan hangat, yang rasanya memerangkap Tari untuk tetap mendengarkannya.
"Lalu aku sadar, itu adalah ungkapan perasaan kamu setiap malam. Sejak saat itu aku selalu mengambil kertas-kertas yang kamu buang. Nggak semuanya karena aku mulai mengambilnya setelah itu. Aku merasakan sakit setiap kali aku membacanya. Karena itu, aku menjadikannya bagian dari lirik lagu yang kubuat. Berharap kamu tahu bahwa kesedihan yang kamu rasakan bisa berubah menjadi kebahagiaan jika disampaikan dengan cara yang lebih baik. Aku nggak berniat untuk memanfaatkan kamu sama sekali. Sungguh."
Cakra mengakhiri penjelasannya dengan sebuah senyum hangat, yang membuat debaran di jantung Tari terasa lebih cepat.
Tari yang sejak tadi terpaku menatap Cakra, kini menunduk. Dadanya sesak oleh perasaan hangat juga haru setelah mendengar penuturan Cakra.
"Tar, sekarang lembaran-lembaran ini aku kembalikan ke kamu. Maaf, sudah menggunakannya tanpa izin." Cakra menghentikan ucapannya sebentar, menarik tangan Tari untuk digenggam.
"Aku dan teman-teman menggunakan tulisan kamu menjadi bagian dari lirik lagu kami. Sekarang, kami ingin mendaftarkan hak cipta lagu ini sebelum merilis lagunya dalam versi digital. Aku meminta izin kamu. Jika kamu mengizinkan, kami akan tetap menggunakan lirik itu, kalaupun kamu menolak, kami akan mengganti liriknya."
Genggaman tangan Cakra begitu erat dan hangat, menyalurkan getaran halus dalam hati Tari dan anehnya, Tari merasa nyaman.
"Jadi, apa kamu mengizinkan?"
Pertanyaan itu lembut terdengar di telinga Tari. Ia sudah mendengar lagunya sebelum ini. Ia memang marah saat itu, namun ia menyukai lagunya. Jadi, tanpa ragu kini ia menatap Cakra dengan mata memerah menahan air mata, lalu mengangguk.
"Iya, aku mengizinkan kamu untuk menggunakan tulisanku dalam lirik lagu yang kamu buat," ucapnya pelan agar getar dalam suaranya tak terdengar.
Cakra mengembuskan napasnya lega, tersenyum, lalu menarik Tari dalam dekapannya. Memeluk gadis itu dengan hangat dan penuh syukur.
"Terima kasih, Tar. Aku sangat berterima kasih atas izin yang kamu berikan. Aku sayang kamu," bisiknya yang membuat Tari tak lagi bisa menahan air matanya. Membiarkannya luruh dalam dekap Cakra. Air mata yang kali ini menghangatkan hatinya.
.
.
.
Bersambung.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top