Bab 38. Hantu Masa Lalu
Boleh banget vote dan komen.
Biar authornya semangat nulisnya.
Happy reading! 💕
.
.
.
"Nad, laporan anggaran yang udah revisi gue kirim ke surel ya. Tolong di cek sebelum diserahkan ke bagian keuangan, ya."
"Oke, Bu Tari."
"Sekalian nanti yang laporan dari pameran, minta tolong koordinasikan sama anak-anak tim, ya."
"Siap."
Bunyi ketukan di pintu mengalihkan perhatian keduanya. Seorang office boy mengetuk pintu dan masuk setelah meminta izin.
"Iya, ada apa, Mas?"
"Ini Bu Tari, mau mengantar titipan untuk Ibu." OB itu memberikan sebuah kotak yang dibungkus rapi berwarna coklat.
"Dari siapa, Mas?"
"Kurang tahu, Bu. Tadi diantar sama kurir."
"Oh, gitu. Makasih, Mas." Tari tersenyum sebelum OB itu pamit kembali untuk bekerja.
"Dari siapa, Tar?" Nadia keluar dari kubikelnya, mendekat dan melihat kotak yang sedang dipegang oleh Tari.
"Nggak tau. Nggak ada nama pengirimnya juga." Tari membolak balik kotak di tangannya. Tidak bisa menebak siapa yang mengirimkan ini untuknya.
"Coba buka deh."
Tari berjalan ke mejanya lalu mengambil cutter untuk membukanya sementara Nadia menunggunya dengan penasaran. Betapa terkejutnya Tari ketika membuka kotak dan melihat barang-barang tak asing di matanya. Barang yang dulu pernah ia berikan kepada Revan. Ada sepucuk surat di dalamnya, yang langsung diambil dan dibukanya.
Hai, Tar. Apa kabar? Aku harap kamu baik-baik saja. Maaf ya, aku nggak bisa menghubungi kamu dan hanya bisa melakukan ini. Kamu pasti inget sama barang-barang ini kan? Barang yang kamu berikan ke aku dulu. Masih kusimpan semuanya dengan utuh, Tar. Barang yang selalu mengingatkan aku ke kamu.
Maaf, aku harus mengatakan ini sama kamu. Tapi untuk di masa depan, sepertinya aku udah nggak bisa menyimpan semua barang ini lagi. Karena aku nggak mau menyakiti hati istriku dengan terus mengenang kamu. Semua barang ini aku kembalikan ke kamu ya, Tar. Terima kasih untuk semua yang udah kamu kasih ke aku. Mungkin barang ini kembali ke kamu. Tapi kenangannya aka selalu ada di hati dan ingatanku.
Itu aja yang ingin aku sampaikan ke kamu. Semoga kamu segera menemukan bahagiamu ya, Tar. Sekali lagi terima kasih.
-Revan-
Tari bisa merasakan getar hebat di tangannya yang sedang memegang surat. Dadanya sesak, dan tubuhnya terasa panas. Melihatnya seperti itu Nadia langsung membawanya duduk, memeluknya dalam diam sambil mengusap-usap punggungnya.
"Tar, tenang dulu, ya. Nggak apa-apa kalau lo mau nangis, gue siap menemani lo di sini," bisik Nadia yang justru menjadi pemicu turunnya air bening dari sudut mata Tari. Isakan kecil mulai terdengar di bahu Nadia. Ditambah genggaman erat Tari pada kertas surat yang masih ia pegang. Menjadikan kertas itu lusuh tak berbentuk lagi.
"Kenapa Revan tega melakukan ini di saat gue udah mencoba pulih, Nad? Kenapa setelah enam bulan berlalu, dia balik dan dengan mudahnya menghancurkan pertahanan gue? Kenapa, Nad?" Tari membiarkan semua pertanyaan yang bercokol di kepalanya itu ia keluarkan pada Nadia.
"Sabar ya, Tar. Tenang dulu," bisik Nadia berusaha menenangkan. Nadia paham jika sekarang hati yang sudah susah payah Tari susun kembali iu kini kembali pecah berkeping-keping hanya karena satu tindakan Revan.
"Apa maunya dengan melakukan ini ke gue, Nad? Dia bisa buang semuanya kalau dia udah nggak mau menyimpannya. Kenapa harus mengembalikan semuanya? Apa dia tau dengan cara seperti ini dia bisa bikin aku makin sakit, Nad?"
Nadia tak bisa menjawab apa-apa, sehingga yang ia lakukan sekarang hanya berusaha menenangkan Tari dengan memeluk dan mengusap punggungnya. Ia tahu, hal seperti ini bisa melukai hati Tari jauh lebih dalam. Tepat saat itu, pintu kembali diketuk dari luar. Membuat mereka melepas pelukan sementara Tari mengusap jejak air matanya dengan tisu dan Nadia membuka pintunya.
"Hai, selamat sore. Ini benar ruangan marketing manager, ya?" tanya seseorang dengan suara yang tak asing di telinganya. Tari bangkit dari duduknya untuk mengecek siapa yang datang.
"Selamat sore, Bu Tari. Sudah siap pulang apa belum?"
"Cakra!" Teriak Tari tanpa sadar lalu berjalan cepat menghampiri Cakra yang tersenyum di depan pintu "Kamu ngapain?"
"Jemput kamu, apa lagi? Kan tadi udah ngomong."
"Iya, maksudku kenapa awal banget." Tari melirik jam di pergelangan tangannya. "Kurang lima belas menit lagi, ini jam pulangnya."
"Iya, tahu. Ini sekalian aku mau ketemu Mas Angga. Makanya naik." Cakra mengernyit saat ia menatap Tari."Kamu kenapa? Abis nangis?"
"O-oh, nggak kok."
"Bohong. Ini kelihatan banget ya. Mata dan hidung kamu merah, terus ini pipi kamu juga basah. Kamu kenapa?"
Pertanyaan sederhana namun bisa membuat dada Tari semakin sesak. Ia tak menangis di depan Cakra. Lelaki di hadapannya ini tidak tahu apa-apa tentang kerumitan hidupnya. Tari mengambil napas pendek, menunduk berusaha menghindari tatapan Cakra.
"Nggak apa-apa kok," ucapnya menahan agar tak terdengar sesenggukan.
Cakra diam, hanya menatap Tari dengan tak yakin sebelum kemudian tatapannya jatuh pada Nadia seolah meminta penjelasan. Hanya senyum dan gelengan kepala yang mengisyaratkan 'maaf nggak bisa cerita' yang disiratkan oleh Nadia.
"Oke, aku ke kantor Mas Angga dulu. Kamu lanjut aja apa yang kamu kerjain, beresin dulu. Nanti aku ke sini lagi," ucap Cakra, satu tangannya mengusap kepala Tari dengan lembut. Hanya sekali usapan sebelum ia pergi ke kantor direktur.
Memastikan Cakra tak terlihat lagi, Tari terduduk lemas seolah kehilangan semua tenaganya. Nadia menyusul duduk di sebelahnya setelah merapikan kotak hadiah 'kenangan' yang membuat Tari kehilangan senyumnya itu.
"Minum dulu, nih." Nadia menyodorkan segelas air putih yang ada di mejanya. "Ini waktu yang nggak tepat sih, tapi gue kepo. Dia orangnya memang begitu, ya? Si adiknya Pak Angga.
Tari terdiam setelah meminum airnya, lalu meengangguk. "Iya."
"Dan lo nggqk ngerasain apapun dengan sikapnya itu? Juga sama perhatian yang selalu dia beri ke lo selama ini?"
Lagi-lagi Tari terdiam. Ia bukannya tak menyukai Cakra. Hanya saja, ia masih belum begitu bisa mempercayai sepenuhnya lelaki itu. Apalagi setelah yang Cakra lakukan sesuka hati menggunakan tulisannya.
"Menurut lo apa yang harus gue rasakan kalau hati gue masih penuh luka seperti ini sama Revan? Gue belum bisa sembuh, Nad."
Nadia menatap Tari dengan sedih. Ia tahu Revan meninggalkan luka dan trauma bagi temannya ini. Tapi, dari apa yang dilihatnya selama ini dari Cakra, menurutnya lelaki itu orang yang tepat yang bisa menyembuhkan luka hwti Tari.
"Gue tahu ini lancang dan gue nggak berhak bicara soal hati sama lo. Tapi menurut gue, lo bisa mencoba untuk meletakkan semua rasa sakit itu dan percaya sama Cakra. Dia cowok yang tepat buat lo. Itu aja feeling gue sebagai temen lo. Jadi selama apapun proses hati lo untuk sembuh, lo bisa melaluinya bareng Cakra."
Senyum tipis di ujung bibir Tari juga anggukan darinya, setidaknya membuat Nadia lega.
Karena sejujurnya Tari sendiri tak tahu bagaimana ia akan mengobati luka hatinya. Apakah ia bisa melakukannya sendirian atau mencoba sembuh bersama Cakra.
.
.
.
Bersambung.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top