Bab 34. Yang Diusahakan Sekali Lagi
Boleh banget vote dan komen.
Biar authornya semangat nulisnya.
Happy reading! 💕
.
.
.
"Lo pesen Ojekyfood lagi?"
"Apa?"
Tari yang hari itu ke kantor lebih dulu sebelum pergi ke pameran, mendongak menatap Nadia yang baru masuk ruangan dengan membawa sebuah paper bag berlogo restoran. Ia menyodorkannya pada Tari.
"Gue nggak pesen."
Ia menerima paperbag berisi satu set menu ayam spicy wings lengkap dengan minumannya.
"Kata satpam, ini atas nama Bu Anantari. Makanya gue bawa naik sekalian." Nadia ikut melongok isi paperbag dan tersenyum penuh arti.
"Gue curiga ada yang suka sama lo diem-diem, deh. Soalnya udah empat hari ini loh. Tiap lo di kantor pasti ada Ojekyfood nganter. Lo beneran nggak pesen?"
"Dibilangin, nggak. Kalau gue yang order mah pasti dua sama lo, Nad."
"Tuh, kan! Berarti bener nih! Lo punya secret admirer!" Nadia menutup mulutnya dengan ekspresi berlebihan.
"Lo tuh, kebanyakan ngarang, Nad."
"Ya kalau lo nggak pesen, dan bukan dari pemuja rahasia lo, terus siapa? Apa iya abang ojeknya?"
"Ngaco!" Tari tertawa dengan tebakan Nadia yang semakin tidak masuk akal itu. Ia membuka ponselnya, membuka sebuah roomchat lalu menunjukkannya pada Nadia.
"Nih, yang ngirim. Bukan pemuja rahasia, jelas kan orangnya?"
"Loh? Kok bisa? Jadi selama ini lo tuh ada hubungan sama adiknya Pak Angga? Pantesan!" Nadia kembali histeris sendiri, menatap Tari tak percaya.
"Bukan seperti yang lo pikirkan."
"Apanya yang nggak seperti gue pikir? Memangnya ada dua orang manusia lawan jenis berbagi perhatian tanpa punya hubungan khusus? Gue bukan anak kecil ya, Ibu Tari yang terhormat. Jangan bohong sama gue."
"Beneran, Nad. Suka nggak percaya deh." Tari tersenyum lalu menyimpan paperbagnya. "Gue makan nanti aja kalo mau berangkat. Biar selesai dulu ini laporannya."
"Iya, tadi udah ditanyain sama bagian keuangan soal laporannya."
"Iya, kurang dikit lagi." Tari kembali fokus pada komputernya, lalu seperti ingat sesuatu ia mengambil ponselnya. Mengetikkan sesuatu sebentar sebelum meletakkannya dan mulai mengerjakan laporannya.
***
Makan siangnya udah nyampe.
Makasih, ya.
Tapi, lo sebenernya nggak perlu melakukan ini ke gue setiap hari.
Lo jadi repot.
Cakra tersenyum membaca pesan singkat yang baru diterimanya dari Tari. Jarinya kemudian ikut mengetikkan sesuatu sebagai balasan.
Gue nggak repot. Gue juga nggak menerima penolakan.
Anggap itu mewakili kehadiran gue buat menemani lo makan. Atau, kalau lo udah nggak marah, gue ke sana?
Huft.
Rasanya sekarang perutnya penuh dengan rasa menggelitik aneh yang juga membuatnya berdebar menunggu balasan dari Tari.
Iya, sejak pembicaraan terakhir mereka beberapa hari lalu, Cakra tidak memunculkan batang hidungnya di depan Tari lagi. Ia akan menunggu sampai Tari sudah merasa lebih baik dan mengizinkannya mendekat. Karenanya, selama empat hari ini ia terus mengirimkan makan siang untuk Tari. Entah saat Tari di kantor atau di tempat pameran. Saat di kantor ia akan memesankan Ojekyfood, lalu saat di pameran, ia akan meminta pelayan tempatnya membeli untuk mengantarkan.
Hanya itu yang bisa ia usahakan sebagai permintaan maaf tak langsung. Ia harap, Tari melihat ketulusannya.
"Lo ke mana aja, sih. Ngilang mulu beberapa hari." Arza yang baru masuk ke studio, menepuk pelan bahu Cakra. Lega akhirnya melihat temannya itu datang ke studio.
"Sorry, sedang banyak yang harus dikerjain di rumah Ibu," jawab Cakra seadanya tanpa menjelaskan situasi sebenarnya pada Arza.
"Yang lain mana?"
"Masih di jalan, palingan bentar lagi nyampe." Arza duduk di samping Cakra, memperhatikan apa yang sedang dilakukan. "Lo nambahin creditnya?"
"Niatnya sih, iya. Gimana enaknya ya, Za? Liriknya kan sebagian gue ambil dari seseorang."
"Bentar, ini orangnya mau banget ditulis credit liriknya atau lo tulis hanya karena dia inspirasi lo?"
Cakra diam menatap Arza serius. "Ya dia nggak mau juga kayaknya kalau namanya gue tulis. Tapi gue mau ngasih tau aja kalau dia itu inspirasi atau sumber liriknya."
"Ya udah, kalo gitu nggak usah masuk di credit liriknya. Nanti pas lagunya keluar aja di akhirnya baru lo sertakan kalau lagu ini terinspirasi dari dia, gitu."
"Lebih baik begitu ya, Za. Oke deh, bisa dibuat gitu nanti. Gue daftarin dulu aja hak cipta lagunya."
"Semuanya, kan?"
"Iya, lima-limanya gue daftarin. Baru setelah itu kita bisa buat video officialnya di channel kita."
"Agak lama nih nunggunya, tapi ya oke lah. Persiapan bikin videonya juga pasti lama."
"Iya, daripada kalau kita rilis sebelum dapet hak cipta, ntar takutnya ada yang ngaku-ngaku sama atau plagiatnya."
Arza tertawa kecil mendengarnya. "Biasanya sih gitu, kalau udah booming baru deh ada yang bilang mirip ini itu."
"Gue lempar ke laut orangnya kalau sampai kejadian begitu. Kita sama-sama tahu proses bikinnya. Dan ini," Cakra mengambil lembaran catatan Tari. "Kalau ada yang ngaku-ngaku, gila sih. Karena aslinya ada di sini."
Keduanya tertawa. Memang dalam industri kreatif pasti akan ada satu dua hal kemiripan antara ciptaan satu dan yang lainnya. Bisa dikatakan mirip jika dua persennya terkesan sama namun keseluruhan lainnya berbeda. Dan bisa disebut plagiat kalau hampir sembilan puluh persen benar-benar sama. Tapi, ya namanya manusia. Sering berlindung dibalik kata 'terinspirasi dari' yang sebenarnya bentuk lain dari 'kucontek dari'. Kecuali jika memang kemiripan itu diakui oleh kedua belah pihak sebagai kolaborasi atau semacamnya. Baru itu tidak dipermasalahkan.
Dalam kasus ini, Cakra memang menyalin semua tulisan Tari sebagai tambahan dari liriknya. Tetapi, ia ingin Tari mengetahuinya, dan tentu memberinya izin untuk dipublikasikan nanti sebelum ia mendapatkan hak ciptanya.
Tarilah yang membuatnya ingin menciptakan sebuah lagu. Tari juga yang memberinya lirik lagunya. Dan untuk Tarilah, Cakra menciptakan lagu ini.
Sedang serius kembali mengerjakan lagi mereka setelah dua yang lain datang, Cakra dibuat terbelalak tak percaya saat ia akhirnya membaca notifikasi pesannya yang berisi empat bubble chat dari Tari.
Nanti jam delapan, lo ada waktu?
Kalau bisa, boleh nggak gue minta tolong untuk jemput gue?
Gue nggak maksa.
Kalau lo nggak bisa, nggak apa-apa.
Pesan itu dikirim padanya dua puluh menit yang lalu. Langsung diliriknya jam di dinding yang menunjukkan pukul delapan lebih lima menit. Buru-buru dia bangun dari duduknya dan membuat ketiga temannya terheran.
"Mau ke mana, lo?"
"Gue titip studio bentar ya, kalian lanjutin aja nanti gue balik lagi. Sekarang gue harus pergi," jawabnya mengambil kunci mobil lalu keluar ruangan dengan setengah berlari.
Dia pasti akan terlambat sampai di tempat Tari. Bayangkan saja padatnya lalu lintas malam hari, ditambah jarak studionya dengan mall cukup jauh.
Ah, kenapa dia telat membuka pesannya? Padahal Tari baru memberinya kesempatan.
Semoga Tari masih menunggunya. Semoga Tari masih mau membuka kesempatannya.
.
.
.
Bersambung.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top