Bab 33. Penjelasan
Boleh banget vote dan komen.
Biar authornya semangat nulisnya.
Happy reading! 💕
.
.
.
"Minum dulu ya, udahan nangisnya. Nanti lo sesak napas."
Cakra melepas pelukannya, diusapnya sisa air mata yang masih mengalir di pipi Tari dengan lembut. Ia meraih kotak tisu yang ada di kursi belakang, juga sebotol air mineral yang selalu ada di mobilnya.
"Diminum dulu, biar berkurang sesaknya." Disodorkannya botol yang sudah ia buka tutupnya itu pada Tari.
Dengan tangan gemetar, Tari menerimanya kemudian meminumnya. Ada kelegaan yang Tari rasakan meski ia masih harus menenangkan napasnya sendiri.
Permintaan maaf dan pengakuan perasaan.
Bayangkan bagaimana rasanya dikejutkan oleh dua hal itu dalam satu waktu. Tentu tidak ada perasaan biasa yang bisa menjelaskannya. Begitupun yang Tari rasakan sekarang.
"Udah lebih enakan sekarang?" Jemari Cakra kembali mengusap jejak air mata yang masih turun itu.
"Udah ya Tar, gue ikut sakit liat lo begini." Satu helaan kasar terdengar dari mulut Cakra. "Jangan diem aja Tar. Lo boleh ngomong dan marah sama gue. Lo boleh maki-maki gue. Lo boleh pukul atau tampar gue, Tar," ucap Cakra meminta.
"Please, jangan diem aja begini."
"Kenapa gue, Cakra? Dari semua orang yang patah hati ddan datang di My I, kenapa harus gue?" Akhirnya Tari bersuara meski terdengar lirih dan tercekat.
Karena gue inget, lo adalah perempuan yang menerima pernyataan cinta dengan kejutan romantis di My I dulu. Cowok lo adalah yang pertama mereservasi seluruh kafe hari itu. Padahal kafe gue baru sebulan dibuka. Karena hal itu gue inget, Tar. Ternyata cowok itu juga yang menyakiti lo hingga berakhir menyedihkan di My I sekarang. - batin Cakra.
Cakra diam, tak bisa mengatakan hal yang sesungguhnya itu pada Tari. Ia takut Tari menganggapnya aneh dan menyeramkan karena telah lama memperhatikannya. Juga, karena Cakra masih menyimpan satu alasan lagi yang ia tutupi. Kenyataan bahwa ia sering melihat Revan datang ke My I dengan perempuan lain beberapa kali. Fakta menyakitkan yang belum saatnya ia beritahukan pada Tari.
"Karena lo spesial, Tar. Hanya presensi lo di My I yang menarik perhatian gue." Itulah jawaban yang akhirnya Cakra berikan pada Tari. Berharap perempuan yang belum pulih dari rasa sakit hatinya itu menerima jawabannya begitu saja.
"Gue... gue nggak tahu harus gimana sama lo sekarang. Gue kecewa, marah dan merasa kalau lo memanfaatkan keadaan gue demi kepentingan lo."
"Nggak gitu, Tar...."
"Iya, gue ngerti setelah penjelasan lo tadi. Tapi rasanya tetap sama, gue kecewa." Tari berusaha menetralkan perasaannya kembali. "Gue berharap bisa punya pertemanan baru dengan lo. Tapi gue salah, karena ternyata pertemanan kita lebih rumit dari yang gue pikirkan."
Cakra membuka mulutnya untuk menjawab, namun sedetik kemudian ia urungkan. "Gue beneran minta maaf, Tar. Gue rela melakukan apapun yang gue mampu untuk mendapatkan maaf dari lo. Jangan pergi dari gue."
Tari mendongak demi mendapati ekspresi serius dari Cakra. sorot mata lelaki itu tak menunjukkan kebohongan atau main-main. Sorot matanya tegas namun di saat yang sama Tari merasakan ketenangan saat beradu tatap dengan manik hitam itu.
Pada akhirnya tatapan Cakra melunak, lelaki itu membuang pandangnya dari wajah Tari lalu tersenyum simpul. "Gue ngerti, sulit bagi lo untuk percaya lagi sama gue. Harusnya gue paham itu."
"Beri gue waktu untuk memikirkannya."
"Lo nggak akan ninggalin gue?"
Tari mengangkat kedua bahunya. "Gue nggak tahu. Makanya gue minta waktu sama lo. Beri gue waktu tenang untuk memikirkan semuanya dengan kepala dingin."
Cakra kembali tersenyum, kali ini lebih lebar dengan raut wajah yang kembali ceria. "Gue aka beri lo waktu, dan gue akan selalu menunggu jawaban lo."\
Tari mengangguk pelan, membalas Cakra dengan senyum tipis. Aneh rasanya karena ada beban yang berkurang setelah mereka bicara seperti ini. Keduanya sama-sama terdiam hingga bunyi tidak estetik dan memalukan terdengar dari perut Tari yang menandakan cacing dalam perutnya sedang melakukan protes.
"Ah! Sorry, harusnya kita nyari makan dulu. Udah kelewat jam makan lo, kan?" Cakra buru-buru menyalakan mobilnya lalu kembali ke jalanan dengan panik.
"Nggak apa-apa, bukan salah lo, kok. Ini misal ke tempat makan yang bisa take away aja gimana? Gue nggak enak lama-lama di luar."
"Kalau lo kepenginnya begitu, gue turutin kok."
Tari terdiam. Kalimat itu terlalu familiar di telinganya. Kalimat yang dulu sering diucapkan oleh seseorang yang mengkhianatinya. Kenapa di saat seperti ini pikirannya justru kembali pada Revan?
"Tar, ada bubur ayam enak setelah perempatan depan. Mau?" tawar Cakra tiba-tiba. "Eh, suka bubur, nggak?"
"Iya suka. "
***
"Lo dari mana aja Tar?" sambut Nadia begitu Tari kembali.
"Makan siang, Nad. Kemana lagi memangnya?" jawab Tari seadanya tanpa menjelaskan yang sesungguhnya pada Nadia. "Ada apa memangnya?"
"Tadi lo dicariin pak Angga."
"Ngapain?" tanya Tari heran. Jelas saja, untuk apa pak Angga mencarinya? Seingatnya, bosnya itu tidak mau turun lapangan secara langsung. Apalagi hanya mencarinya.
"Ya gue nggak tahu. Cuma nanyain lo gimana. Gue jawab lo sedang jam istirahat."
"Oh, oke. Makasih ya Nad."
Sementara itu Cakra yang dalam suasana hati yang lebih ringan, Ia memutuskan untuk kembali ke studionya yang hampir seminggu ini ia tinggalkan. Ia mencari sobekan kertas milik Tari yang selama ini ia simpan. Beberapa lembar masih bisa utuh meski kucel, lalu beberapa yang lain telah dirobek Tari dan ia rekatkan kembali. Cakra ingin mengembalikan ini pada Tari.
Begitu tenangnya suasana dalam studio hingga dering teleponnya sendiri membuat ia terlonjak kaget. Dengan kesal ia menyambar teleponnya.
"Halo, apaan sih, Mas?"
"Kalau di telepon itu ada baiknya kasih salam dulu. Bukannya langsung ngomel gitu."
"Please, jangan ceramah di hari yang indah ini. Ngapain lo telepon gue?"
"Kamu barusan pergi ketemu Tari?"
Cakra diam, tak langsung menjawab. "Iya, tadi gue ketemu dia."
"Oh, pantesan anaknya udah berubah dari yang tadi pagi."
"Berubah jadi lebih baik, kan?"
"Nggak tahu nih. Tapi mood-nya kelihatan bagus."
"Gue tadi hanya menyampaikan apa yang seharusnya. Seperti yang lo bilang kemarin. Gue nggak mau kehilangan lagi."
"Yah, semoga kalian bisa bareng dalam waktu yang lama. Mas cuma mau mengingatkan kalau kamu jangan pernah mendekati Tari jika tidak yakin dengan usahanya."
"Iya, iya, bawel. Gue ngerti kok, lagian gue nggak ada niat untuk menyakiti perasaannya."
"Ya udah, Mas balik kerja dulu deh."
Cakra tersenyum, baginya Angga adalah sosok yang paling mengerti dirinya bahkan di saat ia kehilangan arah. Angga selalu ada untuknya.
Tenang, Mas. Gue nggak akan menyakiti Tari, kok.
.
.
.
Bersambung.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top