Bab 32. Kerinduan
Boleh banget vote dan komen.
Biar authornya semangat nulisnya.
Happy reading! 💕
.
.
.
Cakra mondar mandir gelisah di dalam kamarnya. Mempertimbangkan perkataan Angga semalam. Dia bukannya takut dan pengecut, tetapi dia ingin Tari memiliki waktu sendiri sebentar.
Tapi sekarang ucapan Angga justru membuatnya terganggu. Apa Tari begitu kesulitan karenanya? Apa dia justru melakukan kesalahan dengan berbuat seperti ini?
Disambarnya ponsel yang sejak tadi ia abaikan di atas ranjang. Mencari kontak nomor satu yang miliknya.
"Halo, Mas, gue boleh ke kantor?"
"Mau apa? Kalau untuk keperluan pribadi, nggak boleh. Kantor sibuk. Lagian, Tari nggak ada di kantor."
"Dia nggak masuk?"
"Masuk. Dia tugas full time di trade fair selama seminggu. Jangan diganggu."
Cakra mendengus. "Lo bilang, gue harus kasih penjelasan biar dia nggak salah paham. Sekarang lo suruh gue gak ganggu dia. Maksud lo gimana?"
"Mas memang bilang begitu. Tapi nggak sekarang juga dong. Kamu telat, kelamaan mikir. Harusnya dari kemarin-kemarin sebelum Tari sibuk."
"Pulang jam berapa dia?"
"Mas jadwalkan dia full time, jadi ya sampe malam. Sore dia ada jeda istirahat dua jam."
"Lo bilang dia keadaannya nggak bagus, trus kenapa malah lo kasih jadwal begitu? Sengaja lo bikin dia makin capek?"
"Ini termasuk tugas dan tanggung jawab dia di kantor. Nggak ada hal yang berkaitan dengan masalah pribadi. Urusan kalian kan bukan urusan Mas."
"Iya deh iya, Pak Bos. Nggak usah panjang jelasinnya, makin pusing gue. Ya udah, nggak jadi ke kantor. Bye."
Belum sempat Angga menjawab, Cakra sudah mengakhiri sambungan mereka. Lantas dengan cepat dibukanya aplikasi whatsapp, ia menulis cepat ke kontak yang sudah ia sematkan di bagian atas itu.
Terkirim.
Cakra melemparkan kembali ponselnya ke atas kasur. Lalu ia menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.
***
Rasa lelah yang dirasakan oleh Tari, tampaknya mudah menghilang ketika terus menerus mereka mendapatkan customer yang loyal.
"Udah jam segini, lo nggak siap-siap balik"
"Iya, bentar."
Nadia mengangguk paham, memang saking banyaknya customer yang ada. Dia sendiri lelah, namun menyenangkan.
"Gue tinggal dulu ya, Nad." Kali ini, ia serius berpamitan.
"Iya, pergi aja. Gue tungguin sini, aman dah."
Tersenyum senang, Tari berjalan keluar dari lokasi. Saat itulah, ia sadar ada seseorang yang mengikutinya hingga ke basement.
"Tunggu, Tar!"
Langkahnya terhenti ketika seseorang menahan lengannya.
"Lo!"
"Iya, ini gue. Gimana kabar lo? Gue kangen sama lo."
Kalimat pembuka yang tak pernah dibayangkan akan didengar oleh Tari. Maniknya membulat tak percaya menatap Cakra yang kini menatapnya dsngan senyum menyebalkannya.
"Bisa lo ngomong gitu?
"Gue beneran kangen sama lo."
"Lepasin tangan gue."
Cakra justru mempererat genggamannya, bahkan menarik Tari semakin dekat.
"Gue mau ngobrol sebentar. Ikut gue ya?" pintanya kali ini dengan nada yang lembut.
Entah kenapa, Tari ingin sekali menolak namun tak ada suara yang keluar dari bibirnya.
"Diem berarti iya." putus Cakra yang kemudian menggandeng Tari untuk mengikutinya menuju mobil.
Tari merasa ini bukan dirinya. Batinnya menolak, kepalanya menolak, namun tubuhnya tidak. Ia mengikuti Cakra dalam diam sampai mereka masuk ke mobil.
"Mau makan apa? Lo harus makan dulu kan," tawar Cakra.
"Terserah."
"Ya udah, kalau gitu kita ke bebek bakar di deket sini ya. Tadi gue liat pas sebelum ke sini."
Cakra mengulas senyum, rasa takut yang tadi ia rasakan karena memikirkan penolakan yang mungkin Tari lakukan, sekarang hilang. Lega menyelimutinya saat Tari mengikutinya begitu saja. Ia benar, bahwa ia merindukan perempuan ini.
"Maaf ya, gue ninggalin li beberapa hari ini," ucapnya saat mobilnya sudah berada di jalan raya. "Gue pikir, lo butuh waktu untuk memikirkan segalanya."
Tari diam, hanya mendengar. Tak tahu harus bereaksi bagaimana. Ia takut dengan perasaannya sendiri. Ada kesadaran dalam dirinya yang baru ia tahu. Kebencian dan kemarahannya pada Cakra seolah hilang begitu saja setelah mereka bertemu. Semua itu hilang digantikan oleh debar yang ia rasakan bersamaan dengan perasaan lega begitu melihat sosok Cakra.
Jika begini, ia tahu akhirnya ia akan menangis. Maka dari itu, ia menolehkan wajahnya menghadap jendela. Berusaha mendistraksi perasaannya dengan melihat deretan gedung yang mereka lewati. Menarim napasnya pelan-pelan lalu mengembuskannya dengan tenang.
"Tar, maafin gue ya. Gue bersalah sama lo untuk semuanya. Benar kalau nyatanya gue menggunakan semua tulisan lo untuk jadi lirik di lagu band gue. Tapi sumpah, semua itu gue lakukan buat lo. Agar lo tahu kalau kesedihan yang lo rasakan, bisa menjadi sesuatu yang indah untuk lo bagi dengan yang lain. Gue ingin lo tahu bahwa lo nggak sendirian. Lo bisa membaginya dengan orang lain, dengan gue."
Tak ada lagi yang bisa dikatakan begitu Tari mendengar penjelasan Cakra. Ia hanya bisa menahan diri untuk tak membuat air matanya turun meski sekarang rasanya sesak sekalu di dadanya.
"Pertemuan kita memang nggak sengaja. Tapi itu bukan yang pertama. Gue tahu lo selalu ada di My I setiap malam, hanya saja gue selalu melihat lo dari kejauhan. Gue selalu melihat gimana lo menghabiskan malam sendirian dengan wajah penuh kesedihan sampai akhirnya gue tahu kenapa lo seperti itu. Gue nggak sengaja mendengar lo bicara sendiri malam itu. Mengatakan betapa lo menderita karena gagal menikah dengan orang yang lo cinta."
Saat itulah Tari sontak menoleh, ia menatap Cakra dengan mata memerah. Tak percaya bahwa lelaki di sampingnya ini telah mengetahui ssmuanya sejak awal.
"Maafin gue yang udah menyembunyikan fakta ini dari lo. Gue nggak membicarakannya karena gue nggak berhak ikut campur dan membuat lo semakin kecewa. Tapi gue berani meyakinkan lo, bahwa semua kejadian yang memepertemukan kita bukan sesuatu yang sengaja gue rencanakan. Semua itu terjadi begitu aja."
Tari menunduk, kedua tangannya mengepal erat menahan rasa sesak yang ia rasakan. Penjelasan Cakra terdengar lebih bisa diterima oleh akalnya saat ini. Ia memahami semua kata yang diucapkan lelaki di sebelahnya ini. Tanpa bisa ditahannya lebih lama, air bening itu terjatuh daru matanya. Setetes dua tetes hingga kini ia terisak deras. Satu tangan ia gunakan untum membekap mulutnya sendiri agar tangisnya tak terdengar kencang.
Melihat itu, Cakra panik. Ia mencari spot untuk bisa menghentikan mobilnya lalu menepi di sana.
"Maafin gue Tar, maaf...."
Kedua tangannya merengkuh tubuh yang rapuh itu dalam dekapannya. Tubuh yang gemetar karena isak tangis yang disebabkan olehnya. Tari semakin tergugu, ia tumpahkan semua rasa sakit yang menyesakkan itu dalam air matanya. Cakra merasakan dadanya berat seperti dibebani ribuan ton benda tak kasat mata melihat Tari sekarang. Di dekapnya erat tubuhnya, diusapnya pelan kepala yang menyandar di dadanya itu. Berharap rasa sakit yang Tari rasakan bisa berpindah padanya.
Cakra sadar, ini pertama kalinya ia merasakan hal ini. Perasaan sakit saat melihat wanita yang ingin sekali dilindunginya itu menangis hebat.
"Maafin gue. Maaf. Gue sayang sama lo, Tar. Gue tahu mungkin ini terdengar kurang ajar di telinga lo. Tapi gue tahu, ternyata gue sesayang ini sama lo."
Pelukan itu mengerat ketika ia menyadari tangis Tari justru semakin keras. Cakra paham, rindu itu memang berat. Apalagi jika rasa rindu tersampaikan dengan luka. Membuatnya terasa ribuan kali lebih berat.
.
.
.
Bersambung.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top