Bab 30. Kakak
Boleh banget vote dan komen.
Biar authornya semangat nulisnya.
Happy reading! 💕
.
.
.
"Lo kalau nggak enak badan, tunggu di mobil aja deh. Biar gue yang survey stand." Nadia menahan lengan Tari ketika keduanya hendak turun di depan lobi.
"Gue nggak apa-apa, kok. Cuma ya mata bengkak gue masih nggak tersamarkan meski pake kacamata." Tari meringis, berharap Nadia luluh dan membiarkannya ikut masuk. Mereka ada tugas survey lapangan untuk stand pameran.
Setelah puas menangis curhat pada Nadia tadi pagi, perasaan Tari menjadi sedikit lega, meski pusing di kepalanya masih bertahan hingga sekarang. Dan lagi, ia tidak mau diam menunggu di mobil karena itu hanya akan membuatnya kembali memikirkan Cakra.
"Ya udah, tapi lo nggak usah jalan kemana-mana. Biar gue aja."
"Oke, thanks ya, Nad."
Sebenarnya tugas mereka tidak berat, hanya perlu memastikan semua persiapannya sesuai dan aman. Karena sebelumnya juga sudah ada laporan dari tim. Namun, akan lebih baik jika mereka langsung mengeceknya ke lokasi. Tim yang ada di lokasi menyambut mereka, menjelaskan beberapa hal. Tari mendiskusikan posisi penyambutan customer mereka dengan tim SPG dan SPB sementara Nadia mencatat beberapa hal yang aka kembali mereka diskusikan saat kembali ke kantor. Kunjungan cek lapangan tidak memakan waktu lama, satu jam setelahnya mereka kembali ke kantor.
"Yang gue catat udah gue kirim ke email ya, Tar. Cek dulu aja," ucap Nadia masih dengan fokusnya menatap tablet di pangkuannya.
"Iya, gue cek dulu."
"Oh, iya, Tar. Nanti kan lo standby full, ya. Gue bisa gantiin abis jam dua ya, nanti beres kerjaan sama laporan, gue susul lo."
"Nggak perlu repot, Nad. Gue nggak apa-apa kok. Lagian, gue nggak sendirian juga. Banyak anak-anak lain.
"Itu Pak Angga juga kenapa minta lo standby full, sih? protes Nadia heran. "Em, Tar, lo nggak mau ngebahas masalah lo sama Pak Angga? Kan Beliau kakaknya, siapa tau bisa bantuin kalian."
"Nggak lah, Nad! Gila lo, ini kan masalah pribadi, mana berani gue nanya Pak Angga yang notabene atasan kita di kantor. Bisa dikatain nggak profesional dong."
"Iya juga, sih. Lagian kenapa mereka bisa beda banget ya. Pak Angga sama adiknya itu. Pak Angga tuh lo tau sendiri betapa Beliau baik, ramah, penuh wibawa. Bisa banget disebut teladan buat karyawan. Tapi ini adiknya. kenapa kayak gitu."
Bukan hanya Nadia yang berpikir begitu. Semalam bahkan sudah membandingkan perbedaan kedua saudara itu di kepalanya. Sangat berbeda. Positif dan negatif.
***
"Bu Anantari, dipanggil oleh Pak Angga. Diminta membawa laporan general sales dan hasil survey lapangan."
Setidaknya itulah yang Tari dengar dari sekretaris bosnya itu. Sedikit membuatnya bingung karena biasanya Pak Angga hanya meminta laporan dikirim melalui surel seperti biasa. Kenapa sekarang ia memanggil di saat Tari berusaha meredam kekecewaan pada adiknya.
Setelah tiga kali mengetuk dan dipersilakan masuk, Tari dengan langkah tegasnya mnghampiri meja Angga. "Selamat siang, Pak."
"Siang, Tari, silakan duduk" jawab Angga yang sibuk dengan dokumen di depannya. Ia mendongak pada Tari dan beberapa detik terdiam menatap Tari.
"Ini laporan yang Bapak minta untuk general sale bulan ini. Lalu yang ini laporan survey lapangan event, Pak." Tari menyerahkan laporannya yang langsung dibaca oleh Angga.
"Oh, produksi kita naik ya untuk produk keluaran dua bulan sebelumnya. Ini lebih baik dari pada saat masa Pre Ordernya."
"Iya, Pak. Perubahan minat pasar ternyata begitu besar untuk produk tersebut dibandingkan saat PO. Sementara produk yang lain masih dalam produksi stabil." Angga mengangguk-angguk mendengar penjelasan Tari.
"Lalu bagaimana dengan kondisi lapangan event?"
"Saya dan beberapa tim sudah mengecek persiapan di sana. Spot yang kita miliki cukup strategis jadi lebih memudahkan kita untuk menyambut calon konsumen."
Setelah melihat dan mempelajari laporannya beberapa saat, Angga kembali mendongak dengan senyum ramahnya. "Terima kasih atas laporannya, Tari. Kamu dan tim memang tidak pernah mengecewakan saya."
"Sama-sama, Pak. Hal itu sudah menjadi tanggung jawab dan tugas kami."
"Baiklah, kalau begitu kamu bisa kembali ke tempatmu."
Mengangguk hormat, Tari kemudian bangkit dari kursinya hendak kembali. Namun panggilan Angga menahannya untuk berdiri menatap heran pada bosnya itu.
"Tar, maaf jika saya menanyakan hal ini ke kamu." jeda beberapa saat. "Kamu sedang sakit?"
"O-oh, tidak, Pak."
"Tapi kamu kelihatan pucat dan tidak seperti biasanya. Kamu berantem sama Cakra?"
Demi apapun pertanyaan Angga membuat Tari terkejut. Bagaimana mungkin bosnya ini memperhatikan hal ini? Bingung bagaimana harus menjawab, Tari hanya tertunduk tak berani menatap.
"Maaf ya, jika saya lancang. Saya bicara sebagai seorang kakak. Saya nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Bisa jadi, dugaan saya salah. Tapi melihat kondisi kamu seperti ini, tidak jauh beda dengan kondisi Cakra sekarang."
Tari sontak mendongak, ia ingin mendengar penjelasan lebih namun, ia tak bisa memintanya langsung pada bosnya itu. Seolah mengerti, Angga lagi-lagi tersenyum tipis dan mempersilakannya duduk kembali.
"Semalam Cakra pulang, sudah lewat tengah malam rasanya. Itu bukan hal biasa karena anak itu langsung mencari ibu. Awalnya saya tidak mengerti, tetapi pagi tadi saya baru paham. Saya melihat Cakra menangis pada Ibu. Mengadu tentang sebuah kesalahan dan kebohongan yang tidak ia sengaja."
Tari menahan napasnya mendengar penjelasan itu. Ia sama sekali tak menyangka, Cakra juga memikirkan permasalahan di antara mereka. Bahkan sampai mengadu pada ibunya.
"Saya pikir, itu mengenai pekerjaannya. Tetapi melihat kondisi kamu sekarang, saya yakin yang Cakra pikirkan sampai seperti itu adalah tentang kamu."
Tari masih diam, kali ini pandangannya kembali tertunduk. Jarinya bergetar hebat hingga ia merematnya kuat agar tak gugup. Jujur, ia sama sekali tak menyangka akan ada perbincangan pribadi seperti ini dengan Angga.
"Seperti yang sudah pernah saya bilang ke kamu. Cakra anaknya memang kadang kekanakan. Tetapi jika ia serius tentang sesuatu, maka ia akan mengejar dan memperjuangkannya. Saya tidak tahu apa permasalahan di antara kalian. Hanya saja, melihatnya begitu depresi dan mengadu pada Ibu, jelas sekali bahwa itu adalah bukti keseriusan Cakra pada kamu."
"Saya mengatakan ini bukan membela adik saya. Hanya saja, saya menyampaikan beberapa hal yang perlu kamu tahu tentang dia. Apapun masalah kalian, saya harap segera terselesaikan." Angga mengatakan itu dengan tenang dan hal itu membuat Tari semakin bimbang.
"Komunikasikan dan bicarakan lagi tentang hal itu."
.
.
.
Bersambung.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top