Bab 3. Persiapan
Boleh banget vote dan komen.
Biar authornya semangat nulisnya.
Happy reading! 💕
.
.
.
Terhitung dua bulan berlalu sejak Tari dan Revan menentukan konsep resepsi, juga pertemuan keluarga lanjutan yang membahas tanggal resmi pernikahan mereka. Semua urusan rasanya dipermudah, Tari juga sudah mendapatkan gaun pengantin beserta tim make up yang ia inginkan. Persiapan untuk keluarga masing-masing juga berjalan lancar tanpa kendala apapun. Menyisakan beberapa hal kecil yang masih bisa diurus sambil bekerja olehnya.
"Nad, bantuin gue pilih desain undangan, dong."
Siang itu di jam istirahat kantor, Tari dan Nadia memilih untuk makan siang di kantin dan tidak pergi keluar. Tari menggunakan kesempatan ini untuk menanyakan pendapat Nadia soal undangan pernikahannya.
"Loh, memangnya undangan belum kelar?"
"Belum, tinggal ini aja sih, yang harus di urus." Tari menunjukkan desain di ponselnya pada Nadia.
"Ini udah ada desainnya, tinggal milih doang. Tapi emang bagus-bagus sih, ya. Ini di mana tempatnya?"
"Nggak tau, Revan yang kirim. Katanya dapet referensi dari temennya." Tari menggeser-geser gambar di ponselnya. Ada empat desain berbeda yang dikirimkan oleh Revan.
"Tar, kenapa kalian nggak milih bareng aja, sih? Kan lebih enak gitu, sekalian jalan berdua sama Revan."
"Maunya sih begitu, Nad. Tapi akhir-akhir ini Revan sibuk. Dia banyak kerjaan, sampai lembur juga kadang. Dia ikut aja aku mau yang mana."
"Calon suami idaman banget, kerja keras demi istri tercinta." Nadia tersenyum jahil sambil mencolek-colek lengan Tari yang tersipu malu mendengar ucapan temannya itu.
"Belum istri, Nad. Masih calon."
"Iya, calon, bentar lagi sah."
Tari hanya bisa tersenyum dengan wajah memerah malu mendengar candaan dari temannya itu. Memang rasanya Revan selalu menuruti semua keinginannya. Bahkan jika ia hanya mengatakan sesuatu sebagai candaan atau ucapan spontan, Revan akan mengabulkannya. Tari benar-benar beruntung akan segera memiliki Revan sebagai pendamping hidupnya.
"Yang ini aja kali, Tar. Lebih elegan dilihat da kayaknya pas sama konsep wedding lo deh." Nadia menunjuk satu desain yang menurut Tari sederhana, namun setelah dilihat-lihat lagi, rasanya memang pas dengan konsep resepsinya.
"Iya, gue rasa juga lebih cocok. Gue bilang ke Revan dulu." Tari mengirimkan pesan pada Revan atas saran yang diberikan Nadia, tak butuh waktu lama sampai Revan membalas pesannya.
"Kata Revan, 'oke', Nad. Thanks ya," Tari memeluk Nadia dengan senyum dan perasaan berbunga yang akhir-akhir ini terus dirasakanya, dan ia menyukainya. Namun beberapa detik kemudian senyum itu digantikan oleh ekspresi cemberut setelah ia membaca pesan dari Revan.
Sebenarnya, ada sesuatu yang mengganjal dalam hati Tari selain perasan berbunga yang mengiringinya. Revan selalu menurutinya, membuatnya terlampau senang, namun menjelang persiapan akhir pernikahan mereka, kekasihnya itu jadi lebih sulit ditemui.
"Kenapa itu mukanya berubah cemberut gitu?"
Tersadar dari lamunan singkatnya, Tari menoleh pada Nadia yang sedang fokus memperhatikannya. "Ini, Revan nggak bisa jemput dan makan malam bareng. Gue agak bingung sedikit sebenernya sama perasaan gue."
Tari ragu, menimbang apakah harus menceritakan perasaan mengganjalnya pada Nadia atau tidak. Bisa saja, ini hanya kekhawatiran berlebihnya sendiri.
"Kenapa Tar?"
"Nggak ada kok. Gue cuma merasa makin deket hari pernikahan, Revan makin susah diajak ketemu."
"Tradisi pingitan? Kan biasanya sebelum nikah ada yang begitu, Tar."
"Bukan, Nad. Pingitan kan biasanya seminggu atau dua minggu sebelum nikah. Gue sama Revan masih sebulan lagi. Ini tuh apa ya, kayak gue rasain menjelang akhir-akhir persiapan. Gue sama Revan lebih banyak komunikasi lewat telepon sama pesan."
Tari menunduk, lalu meminum teh lemonnya sebelum melanjutkan dengan ragu. "Memang sih, dia mengusahakan semuanya yang terbaik dan nggak pernah telat ngingetin apa aja yang kurang, apa aja yang dibutuhin, aku mau apa aja dia kasih, Tapi, ya itu tadi, Nad. Dia ngelakuin itu semua lewat telepon, video call atau pesan."
Nadia mengusap-usap bahu Tari untuk menenangkan. "Ini kalo menurut gue, Tar, dia tuh sedang mengusahakan yang terbaik untuk kalian berdua. Ya, gue nggak tahu pastinya tapi, gue yakin kesibukan yang sedang dia lakukan sekarang ya emang buat lo."
Menghela napasnya pelan, Tari menyunggingkan sebuah senyuman penuh terima kasih pada Nadia yang menghiburnya. Tetapi, rasa ganjil itu seperti berbeda. Ada kekhawatiran yang tak bisa ia jelaskan. Terdengar tak masuk akal jika ia terus mengatakan keraguannya pada pria yang akan menikahinya. Ia tak tahu kenapa hatinya merasakan ini, ia mencintai Revan. Jadi, kenapa ia harus meragukan perasaannya sendiri?
Ia harus percaya pada Revan dan menyingkirkan keraguannya.
***
'Maaf ya, telat ngabarin. Aku sibuk banget soalnya.'
Tari menarik napasnya pelan, ia baru saja pulang lalu mendudukkan dirinya di sofa ruang tengah untuk menerima telepon dari Revan.
"Kerjaan kamu lagi hectic banget ya? Sampai udah dua minggu ini kita nggak bisa ketemu, Van." Seharusnya Tari sendiri paham bagaimana sibuknya pekerjaan Revan dan tidak mengeluh seperti ini, namun perasaan ganjilnya itu membuatnya terganggu.
Helaan napas panjang terdengar di seberang sana, ada jeda beberapa detik sebelum Revan kembali menjawab. 'Maaf, ya, Tari.'
Ada desiran aneh yang terasa mengiris di hati Tari saat mendengar Revan barusan. Sejak kapan Revan memanggilnya dengan nama?
Sekarang, debar jantungnya mulai tak karuan. Karena seingatnya, setelah mereka resmi menjadi sepasang kekasih, Revan memanggilnya dengan panggilan sayang.
'Kamu buruan mandi dan bersih-bersih diri dulu, gih. Baru sampai rumah, kan?'
"Iya."
'Ya udah, jangan lupa makan terus istirahat, ya.'
"Van..."
'Hm?'
"Aku sayang kamu. Makasih, ya."
Ada jeda setelah ucapan Tari barusan, kemudian terdengar jawaban Revan. 'Aku juga.'
Setelah sambungan putus, Tari meletakkan ponselnya dengan rasa makin membingungkan di dadanya. Ini hanya perasaannya saja yang berlebihan atau memang ada yang berubah dari sikap Revan?
Sekali lagi, Tari menarik napas panjang lalu mengembuskannya perlahan. Berusaha menguasai diri dan emosinya. Ada apa sebenarnya?
***
Kurang dua minggu lagi pernikahan Tari dan Revan akan dilaksanakan. Hari ini ada fitting baju terakhir yang sudah ditunggu-tunggu oleh Tari, karena ia akan bertemu Revan. Ya, Revan masih sibuk dengan pekerjaannya. Terakhir kali mereka bertemu adalah tiga hari yang lalu saat Revan mengantarkan kebaya dari bundanya untuk mama.
"Semangat amat hari ini.'' Nadia memperhatikan saat Tari buru-buru menyelesaikan pekerjaannya dan membereskan meja kerjanya dengan wajah penuh senyum.
"Iya, ada fitting baju terakhir, sekalian bisa ketemu Revan. Kangen gue."
"Duh, bau-bau penganten bucin, deh. Iri gue jadinya."
"Makanya nikah, Nad," canda Tari yang membuat Nadia memanyunkan bibirnya.
"Kalo ada calonnya mah, gue juga bakalan tancap gas nikah."
"Aamiin, gue doain, segera nyusul ya, Nad."
"Duh, bestie gue, jadi terharu, nih." Dari mejanya, Nadia merentangkan tangannya seolah akan memeluk Tari yang hanya ditanggapi senyum lebar oleh gadis itu.
"Gue balik duluan, ya, Nad," pamit Tari sambil meraih tasnya, namun baru tiga langkah, ponselnya berdering.
Dari Revan.
"Hai, Van. Aku udah siap ini mau turun. Kamu jadi jemput aku, kan?"
'Aku telepon kamu, untuk bilang kalau aku nggak bisa jemput kamu. Maaf, Tar.'
"Nggak bisa jemput, maksudnya? Kamu berangkat langsung dari kantormu terus kita ketemuan aja di sana, gitu, Van?"
Perasaan tak nyaman itu kembali muncul di dada Tari. Ia memilih untuk berdiri bersandar di mejanya kembali.
'Aku minta maaf, hari ini kamu fitting sendiri, ya? Aku bakalan nyusul besok. Karena ada kerjaan yang tiba-tiba dan nggak bisa aku tinggal, Tar.'
Oke, rasa tak nyaman itu kini merambat menjadi pusing yang menyerang kepala Tari.
"Van, ini kerjaan kamu nggak ada yang back up atau gimana, gitu? Ini fitting terakhir untuk wedding kita. Kamu milih kerjaan dari pada ngurus hal ini sama aku?"
Logikanya sudah tidak bisa menerima alasan-alasan Revan dengan pekerjaannya. Emosinya sudah naik dan menyesakkkan dadanya. Di seberang mejanya, Nadia tampak bingung lalu segera menghampirinya.
'Maaf, Tar. Aku bener-bener nggak bisa ninggalin pekerjaan ini. Aku tahu ini salah, tapi aku udah siapin semuanya buat kamu, tinggal jalan sendiri nggak masalah, kan. Aku juga bakalan nyusul besok. Jangan bikin aku tambah pusing, Tar.'
"Jadi menurut kamu persiapan nikah kita ini bikin kamu pusing? Van, yang akan nikah itu aku sama kamu, kita berdua. Buat apa kalau semuanya kita lakuin terpisah? Kamu kenapa jadi berubah gini, sih, Van?" nada tinggi tak bisa dikontrol lagi oleh Tari membuat beberapa teman divisinya yang belum pulang melongok dari kubikel dengan penasaran.
'Tar, kali ini aja, jangan bikin aku makin stres. Aku udah lakukan semuanya untuk bikin kamu senang dan persiapannya lancar. Jangan buat masalah hanya karena fitting baju.'
Rasanya sakit seperti terhunjam oleh kalimat Revan hingga sekarang Tari merasa sesak. Nadia segera membawanya untuk duduk kembali, sementara air mata sudah mulai menggenang di pelupuk matanya.
"Hanya fitting baju, kamu bilang? Kamu ngerti nggak kalau ini berarti buat aku? Kamu harusnya paling tahu gimana aku nungguin setiap momen persiapan ini sama kamu. Lalu sekarang, kamu bilang aku bikin stres? Persiapan nikah ini bikin kamu pusing? kamu serius, Van?"
Air mata lolos dari sudut matanya, napasnya terengah menyampaikan kata demi kata pada Revan dengan penuh emosi.
'Kita bicarakan ini nanti, Tari.'
Setelah mengucapkan itu, Revan mematikan sambungan telepon mereka. Membuat Tari menahan napasnya lalu sedetik kemudian air matanya meluncur begitu saja membasahi pipinya tanpa henti.
Nadia langsung membawa Tari dalam pelukannya. Menyembunyikan isak tangis Tari dalam dekapnya.
"Tar, nangis aja, lo boleh marah di depan gue, kok. Jangan ditahan sampe lo ngerasa lega."
.
.
.
Bersambung.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top