Bab 26. One Day Without U

Boleh banget vote dan komen.

Biar authornya semangat nulisnya.
Happy reading! 💕

.
.
.

Meski sibuk mempersiapkan berkas dan laporan untuk presentasi dalam agenda meeting bulanan sejak pagi, Tari menyadari sejak tadi mata Nadia mengawasinya.

Sengaja, Tari menghndari obrolan dengan Nadia hari ini karena ia tahu temannya itu akan mencecarnya dengan berbagai pertanyaan tentang kejadian kemarin dengan Cakra. Untung saja, memang begitu datang ia sudah diburu dengan pekerjaan. Nadia sendiri sibuk sebenarnya, namun ia mencari kesempatan untuk menanyai Tari.

Seperti sekarang, begitu Tari selesai mempresentasikan hasil laporannya dan kembali duduk di kursinya, Nadia yang duduk di sebelahnya berbisik, "Lo punya hutang penjelasan sama gue. Gue tagih setelah meeting selesai."

Tari hanya melirik dan memberikan senyuman formal agar tidak terlihat oleh yang lain. "Nggak ada, ya," balasnya berbisik.

Meeting bulanan hari ini memakan waktu lebih lama dari biasanya karena membahas produk baru yang akan diuji coba ke pasaran. Tentu saja sebagian besar tim marketing hadir. Mereka yang akan melakukan demo produk pertama. Tentu tugas ini menjadi bagian dari analisa mereka terhadap pasar. Juga untuk mengetahui apakah riset yang sudah mereka lakukan sebelumnya benar dan mendapatkan hasil seperti yang diharapkan. 

Akan ada trade fair di salah satu mall minggu depan. Kesempatan yang selalu digunakan oleh JW Company untuk untuk memperkenalkan, mempromosikan, dan memamerkan produk mereka di sana. Tentu ini bukan yang pertama, namun sudah terbayang bagaimana kondisi lapangan nanti saat turun ke para calon konsumen.

"Anantari, nanti kamu stand by di sana tiga hari selama acara berlangsung ya," perintah Pak Angga yang langsung menunjuknya. "Untuk tim lain, kalian atur jadwal shift jaga. Tim produksi dan tim marketing harus ada berdampingan. Serahkan ke saya laporannya secara berkala setiap hari."

"Baik, Pak," jawab mereka semua serempak.

Pak Angga selalu penuh wibawa setiap kali memimpin sebuah meeting. Beliau ramah dan santai di keseharian, namun aura Beliau langsung berbeda jika sudah serius begini. Jadi berkali lipat lebih mengesankan. Bagi Tari sendiri, Pak Angga itu seperti tokoh dalam drakor yang digandrungi banyak staff perempuan meski Beliau sudah menikah.

"Laporan finalnya nanti tolong diserahkan pada Tari, ya. Sampai di sini kalian sudah memahaminya?" tanya Beliau yang dijawab anggukan oleh yang lain.

Setelah semua mendapatkan catatan tugas masing-masing, meeting selesai. Semua peserta meeting langsung sibuk membahas persiapan event setelah Pak Angga meninggalkan ruangan.

"Lo jaga nonstop?" tanya Nadia setengah berbisik karena ia bicara non formal pada Tari.

"Kayaknya sih, iya. Dulu Pak Jonathan juga selalu disuruh stand by tiap ada event, kan?

"Iya tapi dia seringan datang pagi aja abis itu nggak tahu kemana perginya."

Merapikan peralatannya, Tari hanya tersenyum kemudian keluar bersama Nadia kembali ke ruangannya. Ia harus mempersiapkan banyak hal untuk event nanti.

"Tar."

"Hm."

"Jangan pura-pura nggak tahu, ih. Ini gue dari tadi nunggu lo cerita udah kayak nunggu orang mau lahiran, alias mules." Nadia mengekori Tari menuju kubikelnya.

"Cerita apa sih, Nad. Nggak ada yang perlu diceritakan perasaan."

"Itu yang kemarin sama adiknya Pak Angga. Siapa sih namanya?"

"Cakra."

"Nah! Itu maksud gue, kemarin ada cerita apa sama Cakra. Gue nggak pernah tahu lo ada hubungan sama dia. Bukannya terakhir lo cerita yang salah paham nuduh itu, ya?"

Tari meringis mengingat hal memalukan itu dari mulut Nadia. Duh, ia benran ember banget mulutnya.

"Ayo dong, Tar. Cerita kenapa kalian tiba-tiba deket, gue kepo nih. Gue nggak mau lo salah memilih cowok lagi."

Tari membuka mulutnya, bingung harus mengatakan apa pada Nadia. Tak mungkin ia menjelaskan kebenarannya, kan?

"Gue juga nggak tahu, Nad. Tiba-tiba aja deket setelah gue minta maaf udah salah menuduh dia waktu itu." Bohongnya sedikit dengan rasa tak enak pada Nadia.

"Oh! Jadi setelah lo minta maaf, dia tersentuh dan akhirnya deketin lo gitu?" Nadia dengan heboh dan tatapan membelalak tak percaya menatap pada Tari.

"Nggak gitu juga, Nad! Ih, gue jadi malu cerita sama lo. Udah ah." Ada rasa hangat yang menjalari pipinya saat ini, entah kenapa.

"Ciee, salting nih Ibu Anantari. Cieeee!"

"Diem ah, Nad. Lo yang bikin gue salting, bukan Cakranya."

Tari memukul lengan Nadia pelan menggunakan buku catatannya. Mendorong temannya itu untuk keluar dari kubikelnya. Ia tidak mau diledek lebih jauh oleh Nadia. Temannya itu sangat usil. Lihat saja, sekarang, Nadia masih terbahak meski sudah kembali ke kubikelnya.

Tari menyadari sesuatu, namun ia tidak mau mengakuinya. Tetapi sejak bertemu Cakra, ia sama sekali tak mengingat sosok Revan. Lalu, meskipun menyebalkan, Cakra selalu berhasil membuatnya tertawa. Tangannya bergerak meraih ponsel yang ada di atas mejanya. Mengecek whatsapp dan rasanya sedikit kecewa karena ia tak melihat notifikasi pesan dari Cakra.

Tumben dia nggak kirim chat? Sibuk, ya?

Mendengus pelan, Tari meletakkan ponselnya kembali ke atas meja. Sudahlah, sekarang bukan saatnya ia memikirkan hal itu. Pekerjaan sudah menunggu ia kembali. Ya, besok ia harus pergi ke lokasi event.

Mencari lokasi yang strategis agar mudah terlihat dan dijangkau pengunjung.Karena lokasi juga menentukan kesuksesan. Ia juga harus memastikan bahwa booth akan ramai dikunjungi dengan membuat dekorasi yang menarik, menyelenggarakan game, menyediakan give away, juga lainnya. Ia harus sebisa mungkin menjalin komunikasi dengan pengunjung. Berikan informasi produk selengkap-lengkapnya agar pengunjung mendapatkan referensi yang memuaskan.

***

"Tar."

"Hm?"

"Oh iya, kira-kira Pak Angga tau nggak sih kalo lo deket sama adiknya?"

"Tau sih, tapi ya biasa aja. Kan gue sama Cakra nggak ada hubungan apa-apa.:

"Semoga ada beneran ya hubungannya. Karena dari yang gue liat-liat rasanya kok beda."

"Apanya yang beda?"

"Lo kelihatan udah rileks dan nggak murung lagi. Seneng gue liatnya."

Tari tertawa, ia memilih untuk tak menatap Nadia secara langsung. Ia mengalihkan pandangannya pada pemandangan di luar jendela. Mereka dalam perjalanan pulang sekarang menggunakan mobil Nadia. Ia berusaha diam meski temannya itu terus bercerita.

Tari kembali mengecek ponselnya. Tidak ada pesan dari Cakra seperti biasanya. Ia tak mau mengirimkan pesan lebih dulu. Malu katanya.

Tapi kenapa gue mikirin dia, sih?

Mengembuskan napasnya pelan, Tari kembali menyimpan ponselnya dalam tas. Apa yang ia lakukan sejak tadi sebenarnya tak luput dari pandangan mata seorang Nadia yang mengamatinya. 

Nadia memilih diam setelah pengamatan kecil itu. Ia penasaran sebenarnya, namun sepertinya ia ikut merasa senang hingga sakit. Jadi bisa dikatakan kalau saking sayangnya ia pada Tari, ia bisa merasakan semua yang dirasakan oleh Tari.

Seperti saat ini, ketika terdengar notifikasi pesan yang sama. Tari langsung mengambil ponselnya dan buru-buru melihat. Sedetik kemudian seulas senyum terbit di bibir Tari yang menular pada Nadia. Senyum diam-diam saat melihat orang yang kau sayangi bahagia.

Nadia yakin, itu berkaitan dengan Cakra. Karena sekarang pipi Tari menjadi merah karena malu setelah ia melihat pesan dari Cakra.

.

.

Bersambung.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top