Bab 24. Bunga Hati
Boleh banget vote dan komen.
Biar authornya semangat nulisnya.
Happy reading! 💕
.
.
.
"Nad, gue minta hasil dari cek lapangan kemarin, ya."
"Tunggu, Tar. Ini masih gue revisi dikit."
Pagi-pagi sibuk sudah menjadi keseharian tim marketing. Terutama Tari dan Nadia yang harus menyiapkan laporan dari hasil anggota tim yang lain. "Tar, ponsel lo dari tadi menyala terus, tuh." Nadia mengedikkan dagunya pada benda pintar yang menyala berkedip-kedip di atas meja Tari. Ponselnya selalu dalam mode silent.
Tari mengernyit heran melihat nama yang muncul pada caller ID layarnya. Cakra.
"Halo."
"...."
Tak terdengar suara apapun di seberang sana. Sampai Tari harus melihat layarnya kembali memastikan apakah benar panggilan itu telah tersambung.
"Halo?"
"Hai." Akhirnya terdengar suara dari Cakra.
"Ada apa?"
"Nggak ada. Gue cuma mau menyapa lo aja, ngasih semangat biar lo seneng."
Tari jelas langsung merotasikan matanya mendengar kalimat dari Cakra. "Gue sibuk. Kalau nggak ada keperluan lain, gue tutup."
"Bentar!" Ada jeda beberapa detik. "Kasih gue semangat, dong! Gue butuh disemangati 'pacar' nih." Kali ini, ucapan Cakra sukses membuat kedua alis Tari berkerut.
"Hah? Maksud lo gimana, Cakra ini masih pagi kalo lo mau bercanda sama gue."
"Beneran. Gue butuh diberi semangat hari ini. Gue mau kerja, nih. Ya?"
Tari menghela napasnya panjang. "Gue tutup, bye." Tanpa mengucapkan apapun lagi, Tari mematikan sambungan teleponnya.
Hatinya serasa aneh. Tapi rasanya dekat padahal kenyataannya , Cakra dan sikapnya benar-benar harus dijauhi oleh hatinya. Namun, tangannya kini mulai mengetikkan sesuatu dengan cepat sebelum kembali bekerja.
"Siapa?" tanya Nadia heran melihat ekspresi bengong .
"Bukan siapa-siapa. Laporannya udah?
***
Bayangkan saja betapa gilanya dia melakukan hal memalukan ini karena sikap impulsifnya yang terpicu akibat kejadian tadi. Namun, ternyata yang lebih gila adalah ketika fokusnya berganti pada deret kalimat di pesan chat-nya.
Semangat, ya.
Kerjain apapun yang lo mau, sampai lo berhasil dapetinnya.
Jangan lupa makan dan minum.
Semangat, Cakra!
Itulah yang sedang Cakra ulang baca sejak tadi. Pesan dari Tari. Awalnya ia merasa kecewa ketika Tari langsung mematikan telepon mereka tadi. Ternyata kemudian Tari mengirimkannyai pjesan tersebut.
8⁸
Apa sih, gue ini? Kek bocah ⁸banget. - batin Cakra yang kini mulai merasakan gelenyar aneh yang membuatnya senang sekarang. Tanpa sadar, sebuah senyum terlukis di bibirnya.
"Kenapa lo, udah cengengesan aja."
Suara Arza yang baru datang mengagetkan Cakra. "Gue seneng aja."
"Ini kalau semua naik, bagus sih. Lo dapet ide dari mana sampai langung dua lagu sekaligus?
"Inspirasi gue? Ada lah..."
"Main rahasia sekarang. Lagian tumben lagu patah hati. Padahal pacaran aja belum." Seloroh Arza yang disahuti heboh oleh dua yang lain.
"Belum jatuh cinta udah patah hati duluan."
Cakra hanya tersenyum tipis menanggapi candaan teman-temannya. Di antara dua lagu yang dibuatnya berdasarkan catatan milik Tari, ia akan menjadikan salah satunya lagu utama. Setelah ia menyempurnakan lagunya, dan mengurus hak ciptanya, ia ingin menyanyikannya sendiri nanti.
Bayangan Tari yang duduk di My I dengan penuh kesedihan terlintas di benaknya. Lalu ingatan lain tentang seorang pria yang datang dengan dua wanita yang berbeda.
Kenapa gue jadi kayak cenanyang, sih? Ngapain coba inget sesuatu yang nggak ada urusan gue?
***
"Kenapa hujan jam segini, sih. Padahal bentar lagi pulang."
"Sejam ĺagi baru pulang, Nad. Semoga udah reda," sahut Taro yang ikut meñgamati ribuan tetes air langit yang jatuh di jendeĺa kaca.
Ia suka saat hujan seperti ini. Rasanya tenang, nyaman, dan damai. Tentu saja ribuan tetes air ini menghentikan sejenak kegiatan orang-orang di luar sana. Memilih untuk berteduh dan istirahat sejenak dari ramainya lalu lintas di jam ini. Yang masih di rumah pun, pasti lebih memilih tak jadi pergi.
Dan ajaibnya, kini di kepalanya ia mengingat seseorang. Yang tanpa sadar membuatnya mengambil ponsel untuk mengirimkan pesan.
Sedang hujan.
Jangan sampai kehujanan.
Hanya itu yang diketiknya. Lalu tanpa ragu ia mengirimnya. Tindakan kecil yang berdampak besar untuk seseorang.
Dulu saat hujan, Revan akan datang menjemputnya dengan payung. Lalu berlarian menghindari tetes air hujan menuju parkiran.
Ah, kenapa gue inget Revan?
Mengembuskan napas pelan, Tari memilih kembali sibuk dengan pekerjaannya.
Satu jam berlalu cepat setelah ia fokus pada pekerjaan. Nadia yang sudah selesai lebih dulu menunggunya.
"Akhirnya."
"Udah selesai?" tanya Nadia yang dibalas anggukan oleh Tari. "Oke, kita pulang!"
Seperti umumnya pekeja, jam pulang adalah sesuatu yang mewah. Selalu di nantikan. Begitupun bagi Tari dan Nadia.
Keduanya keluar untuk segera menikmati suasana hujan dari lobi. Beberapa karyawan sudah pulang. Jadi lobi tak akan terlalu penuh. Mereka memilih duduk di kursi tunggu dekat resepsionis.
"Makan soto kayaknya enak ya, Tar. Nyeruput kuah soto di hawa hujan begini."
Tari tertawa mendengarnya, "Lo udah bayangin nyerupurt kuahnya. Apa kita mampir ke soto Bang Romi aja ya abis ini?"
"Oke! Gue setuju!" Nadia langsung sumringah dengan ajakan Tari. Memang hujan dan lapar adalah nikmat tersendiri.
"Eh, Tar. Itu bukannya adik pak Angga, ya?" ucapnya begitu melihat sosok tak asing di luar gedung. "Tapi ngapain di situ?"
Tari mengikuti arah tunjuk Nadia dan kedua maniknya seketika membola melihat Cakra berdiri di bawah hujan. Bangkit dari duduknya, tanpa sadar kakinya melangkah keluar dengan sedikit terburu.
"Cakra!"
Yang dipanggil mendongak dan tersenyum lebar sambil melambaikan tangan.
"Kenapa lo hujan-hujanan begini?" Refleks Tari menarik tangan lelaki itu untuk berteduh. "Ngapain kehujanan begini?" Tari menyingkirkan air yang membasahi kemeja lelaki itu meski percuma karena pakaiannya sudah basah kuyup.
"Gue jemput lo."
"Hah? Jemput gue?" Tari membuka mulutnya tak percaya mendengarnya. "Lo gila, ya. Kan bisa nunggu hujan reda dan nggak perlu hujan-hujanan begini!" omelnya kesal namun malah membuat Cakra tersenyum lebar.
"Lo keburu pulang kalo gue nunggu hujan reda."
Sudahlah, Tari kehabisan kata-kata untuk memahami cara berpikir Cakra yang berbeda dan membuatnya terkejut itu. "Lo punya kontak gue. Tinggal kirim pesan mau jemput, kan bisa?"
"Lo mau nunggu gue?"
Lagi-lagi Tari tak menjawab. Rasanya semua yang ia ucapkan pada lelaki ini selalu dikembalikan dalam bentuk pertanyaan yang sulit dijawab olehnya.
"Y-ya, minimal lo udah ngomong. Bisa gue pertimbangkan," ucapnya pada akhirnya. Ia berbalik mencari keberadaan Nadia yang rupanya sudah menempel dengan pintu kaca guna melihatnya dan Cakra lebih jelas. "Bentar, tunggu di sini." Tari melesat masuk dan menarik Nadia untuk menjauh dari pintu kaca.
"Nad, ini... em, gue minta maaf banget. Kayaknya kita batal makan soto dulu deh. Lo jangan marah ya, ini gue ada urusan bentar sama dia," tunjuknya memberikan isyarat kepala [ada Cakra di luar.
Nadia yang dari tadi memberinya tatap menyelidik, diam-diam mengulum senyum."Iya, iya, kayaknya gue paham dan gue ngerti. Apalagi yang bisa gue lakukan selain mengalah menyambangi soto Bang Romi demi kelancaran hubungan temen gue ini?" ucapnya sambil mengangguk dramatis.
"Bukan gitu, Nad! Kasian dia basah kuyup begitu, nanti repot kalau dia sakit."
"Iya, iya, gue paham nih. Udah buruan jalan sana!" Nadia tersenyum sambil mendorong bahu Tari untuk keluar. "Lo punya utang soto ya, gue tagih besok." Begitu melewati pintu kaca, Nadia melambai penuh semangat pada Tari dan tak lupa tersenyum lebar [ada Cakra yang sedari tadi memperhatikan mereka.
Sementara Tari, merasakan hangat di wajahnya padahal cuaca di luar dingin dan berangin. Kemudian ia menarik ujung kemeja Cakra untuk megikutinya ke parkiran.
.
.
.
Bersambung.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top