Bab 23. Cerita Cakra

Boleh banget vote dan komen.

Biar authornya semangat nulisnya.
Happy reading! 💕

.
.
.

"Cakra, lo susah banget dihubungi dari semalem. Gue ke studio tapi kosong," sembur Arza. Vokalis utama dari band yang menjadi pengisi tetap di My I itu.

"Sorry, gue pulang ke rumah Ibu. Kalo di sini kan gue tidurnya kayak orang mati saking nyenyaknya."

Cakra berjalan turun dari kamarnya menuju dapur saat Arza menghubunginya di pagi yang berangin ini.

"Jadi demo lagu hari ini, kan?"

"Iya, jadi. Gue udah siapin, nanti ke studio jam sepuluh. Lo dan anak-anak semuanya harus dateng."

"Iya iya, ini gue nelepon karena mau memastikan. Jadi jadwal yang lain juga nanti gak ada yang tabrakan."

"Hm, nanti gue kabarin kalo udah mau berangkat."

Tidur pulasnya semalam, juga telepon dari Arza yang mengingatkannya tentang jadwal mereka hari ini membuat suasana hati Cakra lebih baik. 

"Bangun tidur udah seneng aja sampe siul-siul begitu."

Suara dalam yang khas itu membuat Cakra menoleh demi melihat Angga sedang sarapan sendirian. "Ibu mana?"

"Di kamar, bantuin Manda mandiin baby tadi. Apa yang membuat kamu udah senyum-senyum begini. Ada demo apa, tadi Mas nggak sengaja denger."

Cakra mengambil segelas air putih lalu memilih duduk di samping kakaknya. Tangannya mengambil sepotong tahu goreng di atas meja. "Demo lagu. Gue bikin proyek baru sama anak-anak. Lagu baru sih."

"Tiba-tiba? Kok Mas nggak tahu?"

"Ya, nggak setiba-tiba itu, Mas. Biasanya kita emang bikin lagu untuk penampilan kita di My I, tapi tiga bulan terakhir ini ide kita lancar banget sampe dalam waktu segitu kita udah bikin empat lagu baru."

"Langsung empat?" Angga menoleh, tampak terkejut mendengar informasi dari adiknya itu. "Kamu semua yang bikin?"

"Nggak, gue cuma bikin dua. Satu Arza sama Riyan, satunya lagi Dion sama Arza."

"Mas mau denger dongm ada di kamu kan demo lagunya?"

"Ada di studio. Masih belum selesaih. Gue tunjukkin kalo udah dalam versi sempurna." Cakra bangkit,  tak lupa meneyruput kopi milik sang kakak sebelum berderap menuju kamar manid.

Angga hanya bisa geleng kepala melihat tingkah adiknya itu. Cakra jarang pulang ke rumah. Ia lebih sering menghabiskan waktunya di studio berlantai dua yang juga ditempatinya sebagai rumah sementara di bagian lantai atasnya. Sejak Cakra mengutarakan keinginannya untuk tidak ikut dalam urusan kantor, ia sibuk dengan studio dan kafe yang ia kelola.

Cakra keras kepala. Ia ingat, demi mendapat persetujuan Ayahnya, adiknya itu sampai kabur ke rumah eyang di Surabaya. Bekerja sebagai penyanyi kafe di sana selama setahun lalu kembali ke Jakarta dan membangun kafenya sendiri.

Jauh dalam hatinya, Angga mengagumi sosok adiknya itu. Cakra dengan tekad yang selalu ia perjuangkan. Karena itulah, beberapa waktu lalu ia mengatakan pada Tari tentang keseriuasan Cakra.

"Mas, bareng sampe studio, ya!"

Cakra yang sudah selesai mandi dan bersiap kembali ke dapur bersamaan dengan Ibu mereka.

"Sudah sarapan, Nak?"

"Belum, ini mau sarapan, Buk. Nggak ada mie ya, Buk?" Cakra menggeledah lemari penyimpanan.

"Ibu masak ayam ungkep, ada sop sehat juga, kamu masih nyari mie?"

Cakra menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sambil meringis lebar.

"Nggak biasa sarapan berat, Buk."

"Dimana-mana sarapan itu yang sehat. Bukan makan mie. Pantesan kamu makin kurusan, pola makan kamu kayak gitu!"

Merasa bersalah sudah mengobarkan semangat Ibunya mengomel pagi ini, Cakra akhirnya kembali ke meja makan. Sementara Angga sudah selesai dengan sarapannya.

"Omelin, Buk. Omelin aja."

"Kompor lo, Mas."

Angga tersenyum sambil membawa piringnya ke tempat cuci piring. Rumah terasa lebih hidup jika Cakra pulang. Ibunya akan kembali mengomel karena ulah Cakra.

"Kamu kenapa nggak mau tinggal di sini lagi, Nak? Rumah sepi sekarang," tutur Ibunya setelah Angga berpamitan ke kamar lagi.

"Ini kan Cakra pulang, Buk."

"Bukan ini yang Ibu mau. Kamu kembali tinggal di rumah ini. Ini sudah dua tahun kamu tinggal sendiri."

"Ada Mas Angga dan Manda yang menemani. Ibu juga sudah ada cucu yang selama ini Ibu harapkan."

Mengunyah ayamnya, Cakra berusaha agar pembicaraan ini tidak menguasai fokusnya. Karena ia lemah terhadap permintaan sang Ibu.

"Kamu masih sakit hati karena Ayah? Nak, Ayah juga mau kamu pulang. Ayah sudah mengerti dan menerima keputusan kamu. Pulang ya, Nak?"

Mengambil minumnya, Cakra membasahi tenggorokannya yang mulai seret karena ucapan Ibunya.

"Nanti ya, Buk. Sekarang Cakra belum bisa."

Cakra bisa melihat air mata menggenang di pelupuk mata Ibunya. Ia berusaha tak peduli meski ingin rasanya ia mengabulkan keinginan sang Ibu.

***

Sudah sepuluh menit mereka  meninggalkan rumah. Namun, tak ada suara yang terdengar di antara mereka. Angga melirik pada Cakra yang memilih menyandarkan kepalanya di bangku dan menutup matanya.

"Ibu tadi bilang apa aja?" tanya Angga kembali melirik Cakra.

"Nggak ada."

"Disuruh balik ke rumah, kan?"

Helaan panjang terdengar dari Cakra. Ia masih belum membuka matanya. Namun, ia sudah menegakkan duduknya.

"Kamu itu coba dikurangi keras kepalanya kalau di rumah. Ibu tuh khawatir sama kamu."

"Iya, gue tahu."

"Tahu tapi mengabaikan? Pertimbangkan perasaan Ibu juga. Kamu masih canggung sama Ayah?"

Pertanyaan sama seperti yang dilontarkan Ibunya tadi. Dan Cakra memilih untuk mengabaikannya daripada menjawabnya.

"Dengar, Ayah juga sama khawatirnya. Ayah sayang kamu, hanya saja ia tak pandai mengatakannya."

Masih jelas di ingatan Cakra betapa Ayahnya menentang keras keinginannya untuk menjadi penyanyi. Besar harapan sang Ayah agar ia mengikuti jejak Angga dan ikut mengelola perusahaan sang Ayah.

Cemooh Ayahnya tentang profesi yang ia pilih membuatnya sakit hati. Membuatnya semakin bertekad untuk membuktikan bahwa ia mampu.

"Sejak kamu pergi, Ayah sering tak pulang. Selalu menyibukkan diri dengan kantor cabang. Kadang pulang pas weekend aja. Beliau nggak bisa liat rumah tanpa kamu."

Bohong.

Ayah pasti senang aku nggak ada. Apanya yang disebut sayang?

"Mas nggak memaksa kamu untuk melakukan ini itu. Tetapi Mas harap kamu mempertimbangkan lagi."

"Gue turun dulu, thanks, Mas." Cakra langsung membuka mata dan bergerak cepat keluar dari mobil begitu mereka sampai di depan studionya.

Langkahnya berhenti setelah pintu di belakangnya menutup dan mobil Sngga sudah pergi.

Kepala itu tertunduk dan ia menyandarkan tubuhnya lelah pada pintu. Wajahnya memanas dan tanpa sengaja sebutir air bening jatuh dari matanya.

"Sialan."

Mengusap air matanya cepat, Cakra mengambil napas panjang guna menetralisir perasaannya.

Ia ingin. Bahkan ingin sekali pulang seperti permintaan Ibunya. Ia sadar ia keras kepala. Ia tak patuh.

Cakra harus membuktikan pada Ayah. Bahwa pilihan Cakra tidak salah. Cakra bertanggung jawab untuk semua yang sudah Cakra pilih.

Maafkan Cakra, Bu, Ayah.
Belum bisa menjadi harapan kalian.
Tapi Cakra akan buktikan sebentar lagi.
Tunggu sebentar ya Bu, Ayah.

Padahal pagi ini suasana hatinya begitu ceria, namun ternyata peran Ibunya begitu besar untuk menggeser perasaannya menjadi seperti sekarang.
Tersenyum kecut, tanganya yang sedari tadi menggenggam ponsel, mencari dan menekan nama kontak yang kini satu-satunya ada di kepalanya.

Calling Anantari.

.
.
.
Bersambung.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top