Bab 21. Jemput

Boleh banget vote dan komen.

Biar authornya semangat nulisnya.
Happy reading! 💕

.
.
.

Buru-buru melangkah menuju lobi, Tari ingin cepat keluar kantor. Ia tak menceritakan apapun mengenai pembicaraannya dengan Pak Angga pada Nadia. Ia tak ingin hal membingungkan ini justru menjadi salah paham jika Nadia tahu. Toh, ia sendiri masih harus memastikan semuanya pada Cakra.

Ah, ngomong-ngomong soal Cakra. Kenapa ia tidak meminta nomor kontak lelaki itu kemarin? Bagaimana ia bisa menghubunginya? Aduh, bodoh sekali.

"Kenapa buru-buru gitu, sih? Mau ke mana?" Suara yang asing, namun Tari bisa tahu siapa pemiliknya. Membuatnya menoleh ke arah kiri dengan cepat hanya untuk melihat Cakra berdiri di sana dengan satu tangan di kantong sementara satu yang lain melambai padanya. 

"Lo, ngapain di sini?" Tanpa sadar Tari menghampiri Cakra.

"Jemput lo, lah."

"Hah?" 

Tak paham maksud ucapan Cakra, Tari mengernyit menatap lelaki yang masih menatapnya dengan senyum tipis menyebalkannya itu. Namun, bukannya menjelaskan, Cakra mendekat lalu meraih tangan Tari. Tentu saja si empunya refleks menepis, sayangnya momen membingungkan itu justru tertangkap oleh nadia.

"Loh, Tari. Masih di sini, bukannya tadi pamit buru-buru ada urusan?" sapa Nadia yang baru keluar dari elevator dan berjalan menghampiri Tari.

"Oh, iya, Nad. Ini gue..." Tari berusaha melepaskan genggaman tangannya dari Cakra tanpa terlihat oleh Nadia, tetapi Cakra justru menarik tubuhnya mendekat.

Nadia mengenali sosok Cakra, ia bertanya pada Tari melalui gerakan mata. Kenapa dia di sini sama lo?

Gue nggak tau. - itulah balasan tatap yang Tari sampaikan ke Nadia.

Belum sempat mengatasi keadaan ini, dari belakang Nadia muncul Pak Angga yang juga mau pulang. "Loh, Cakra?"

Bukannya menjawab sang kakak, Cakra hanya mengedipkan satu matanya sebagai balasan pada Angga. Kemudian mengamit lengan Tari dan membawanya keluar kantor menuju parkiran. Meninggalkan Angga dan Nadia yang melongo melihat kepergian mereka. Nadia jelas-jelas menutup mulutnya, terkejut dengan apa yang ia lihat. Karena Tari mau begitu saja pada adik atasannya itu. Sementara Angga menghela napasnya pelan sebelum ekspresinya kembali tersenyum dan menyapa beberapa karyawan lain sebelum pulang.

***

"Ini apaan, sih? Ngapain lo bawa-bawa gue tiba-tiba begini."

"Ya kalau gue bilang dulu, pasti lo nggak mau, kan."

Keduanya sekarang berada di basement kantor, di mobil Tari tepatnya. Begitu tak ada yang melihat, Tari langsung membombardir lelaki itu dengan protes.

"Gue nggak minta dijemput. Lagipula sejak kemarin lo melakukan semuanya sesuka hati. Tanpa tanya apakah gue keberatan atau nggak."

Tari menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Menatap kesal ke arah jajaran mobil lain yang masih terparkir rapi di depan.

"Lo udah setuju kan sama syarat supaya gue maafin lo. Atau lo mau gue bilangin Mas Angga, lo fitnah istrinya selingkuh sama adiknya sendiri?"

Tari membuka mulutnya untuk menyanggah namun ia sadar itu sia-sia. Dia tidak mau Pak Angga tersinggung dan marah lalu melakukan sesuatu yang berimbas pada pekerjaannya. Memang salahnya yang punya prasangka burruk ditambah lagi mulutnya yang sembarangan berucap.

"Tadi Pak Angga nanya, sejak kapan kita kenal."

Cakra yang semula fokus menghadap depan, langsung merubah posisinya menghadap Tari. "Terus, lo jawab apa?"

"Ya, gue jawab baru bentar lah. Apa lagi?"

"Yah, padahal gue ngomong ke Mas Angga kalau kita udah lama kenal. Tapi kayaknya dia nggak percaya, sih." Cakra tersenyum senang dengan pemikirannya itu.

Berbeda dengan lelaki itu, Tari merasa tak nyaman. Kondisi dan situasinya tidak memungkinkannya menjalin cerita pendekatan dengan siapapun. Ia tak ingin terlibat dengan urusan cinta atau sejenisnya lagi untuk saat ini. Tidak ketika hatinya masih trauma melepas pria yang ia percaya untuk menikah.

"Kenapa gue harus mengikuti permainan lo dengan bilang kalau kita punya hubungan dekat?" Tari menunduk lalu mengambil napas panjang dan mengembuskannya pelan.

"Gue bener-bener nggak bisa berada di situasi ini. Lebih baik lo minta kompensasi dalam bentuk lain, akan gue usahakan."

Cakra diam, matanya menatap Tari dalam diam namun sulit membaca maksud dari manik legamnya itu. 

"Tapi gue maunya ini."

"Ini kekanakan tau nggak? Gue nggak bisa." Tari menggeleng pelan, kini tatapnya jatuh ke cincin yang ada di jari manisnya. Cincin yang bahkan belum ia lepas.

"Denger, gue nggak akan minta lo melakukan hal yang aneh-aneh. Gue butuh lo untuk jadi cewek gue. Lo cuma harus deket sama gue seperti hubungan orang-orang lain. Cuma itu aja. Gue belum bisa jelasin alasannya sekarang. Lo akan tau suatu saat nanti."

Tari tidak menjawab, masih sibuk mengamati parkiran yang hening di luar sana.

"Mau kan? I'll treat you as a true girlfriend while we do this."

"No, I can't."

Helaan napas terdengar dari mulut Cakra. "Setuju atau nggak, gue maksa sih." Cakra kemudian mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi seseorang.

"Halo, Mas Angga. Gue mau ngomong sesuatu, nih. Tentang Manda. Beberapa waktu lalu ada yang, mmphh!"

Cakra terkejut karena tiba-tiba Tari membekap mulutnya dengan tangan sambil ribut menggelengkan kepalanya.

Cakra dengan mudah melepaskan tangan Tari yang memang lebih kecil. "Anu, Mas, mmph!" Lagi-lagi Tari membekap mulutnya. Kali ini dengan kedua tangannya. Sekarang dengan tatapan panik, Tari mengangguk putus asa.

Oke gue ikutin mau lo - itulah gerak bibir Tari yang dibaca oleh Cakra. Karena gadis itu menahan suaranya.

Cakra mengangguk lalu meminta Tari menyingkirkan tangannya. Ia mengambil napasnya dalam-dalam sebelum kembali ke sambungan teleponnya.

"Ehem, hm, anu Mas, beberapa waktu lalu Manda bilang ke gue kalau dia kepengen diajak ke studio foto sama lo setelah lahiran. Gue udah cariin studio yang bagus. Coba lo tanya lagi."

Cakra tersenyum diam-diam karena telah berhasil membuat Tari menyetujui permintaannya. Walau harus dengan cara sedikit berbahaya.

"Oke, kita udah sepakat."

"Lo curang."

"Kapan? Nggak tuh, kan gue cuma mau telepon Angga. Lo aja yang panik." ucap Cakra dengan santai. "Ya udah, gue anter lo pulang."

Kedua alis Tari mengernyit. "Bukannya lo bilang tadi ke sini jemput gue? Kenapa sekarang bawa mobil gue."

"Gue bawa motor tadi ke sini. Kalau lo nggak keberatan sih, itu motornya," tunjukknya pada sebuah motor sport berwarna hitam yang terparkir sedikit di depan.

Tari menggelengkan kepalanya. "Nggak, sorry. Gue nggak biasa naik motor begitu." Ia ngeri membayangkan duduk di atas motor yang tinggi seperti itu.

Cakra tersenyum mendengarnya. "Sini ganti tempat duduknya, biar gue yang nyetir."

Setelah bertukar posisi, mobil melaju membelah jalan Jakarta malam itu.

"Lo baliknya gimana? Ke sini lagi untuk  ambil motor?"

"Gampang, bisa naik taksi. Oh, besok-besok kalau gue jemput lagi, nggak kaget, kan?"

Tari menoleh menatap Cakra yang sedang fokus menatap jalan. "Setiap hari lo mau jemput gue?"

"Nggak juga, sih."

Tari mendengus kecil, lalu mengeluarkan ponselnya. "Sini kontak lo. Biar gue simpan."

.
.
.

Bersambung.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top