Bab 20. Interview Singkat

Boleh banget vote dan komen.

Biar authornya semangat nulisnya.

Happy reading! 💕

.
.
.

"Gimana kemarin? Ada kejadian apa?"

Pertanyaan Nadia langsung menyapa begitu Tari masuk ke ruangannya. Meletakkan tasnya di meja, Nadia kemudian menyusul Tari dengan wajah ingin tahu.

"Ya, nggak gimana-gimana, udah dibalikin kartunya."

"Hah, gitu doang?" Tangan Nadia refleks menyilang di depan dada lalu menatap Tari dengan penuh selidik. "Nggak mungkin sih, cuma begitu doang? Lo nggak mau cerita sama gue, nih?"

Tersenyum, Tari mencoba memberi pengertian. "Gue sama dia cuma ngobrolin hal kecil aja. Makan malam biasa, trus ya udah. Kita pulang."

Nadia memajukan tubuhnya demi bisa menatap dalam mata Tari. "Yakin lo nggak bohong sama gue?"

"Buat apa gue bohong sama lo, sih? Lagian ya, gue sama dia kan cuma sebatas kenal, nggak deket."

Maaf, ya, Nad. Gue nggak bisa kasih tahu soal permintaan Cakra sama lo sekarang.

Nadia mencebik. "Ya udah, gue tuh khawatir lo kenapa-kenapa," tutur Nadia membuat Tari tersenyum lalu merangkul temannya itu.

"Thanks ya, udah sweet aja lo tuh pagi-pagi begini." Keduanya tertawa  lepas, menyadari tingkah mereka sendiri.

"Permisi, Bu Tari, ada pesan dari Pak Angga. Beliau meminta Anda ke  ruangannya," ucap Siska, sekretaris Angga yang tiba-tiba muncul di depan pintu.

Tentu panggilan itu membuat jantung Tari langsung berdetak lebih kencang. Panggilan bos pagi-pagi itu rasanya sesuatu banget, kan. Berterima kasih pada pada Siska, Tari langsung menyambar beberapa berkas laporan yang sudah ia siapkan sejak kemarin untuk dilaporkan pada atasannya itu.

"Tumben, pagi banget, Tar."

"Harusnya kemarin, sih , Nad. Tapi kemarin Pak Angga nggak balik kantor setelah meeting di kantor cabang. Gue ke ruangan Beliau dulu, ya." Segera dengan langkah cepat Tari berjalan keluar menuju ruangan atasannya itu.

Setelah mengetuk dua kali, Tari memasuki ruangan Angga yang memeiliki aroma musky woody yang khas, membuat Tari mau tidak mau merasa sedikit rileks.

"Duduk dulu, Tar," suara Angga mempersilakan Tari duduk tetapi atasannya itu tidak terlihat sosoknya. Namun, begitu Tari duduk, Angga muncul dari balik rak buku yang ada di samping ruangannya, dengan satu tangan penuh berkas.

"Maaf ya, baru nyari dokumen lama," sambutnya kemudian duduk di balik mejanya.

"Iya, Pak."

"Gimana laporan riset yang kemarin saya minta, udah ada hasilnya, kan."

Tari mengangguk, lalu membuka tab-nya untuk menunjukkan laporan yang sudah ia buat sebelumnya. "Berdasarkan riset langsung di lapangan juga informasi dari beberapa sumber, untuk produk sejenis seperti yang akan kita luncurkan, lebih menyasar pada anak muda usia pertengahan. Dalam pasar yang sekarang, tidak hanya orang dewasa dalam usia kerja yang menggunakannya. Anak-anak muda cenderung mengikuti gaya vintage dalam hal fashion sekarang, Pak. Jadi saya rasa jika kita melakukan penyesuaian dalam pola mereka, kita bisa menyasarkan mereka sebagai target market."

Tari mengakhiri presentasi singkatnya pada Angga, yang membuat atasannya itu mengangguk-angguk dan tersenyum puas.

"Analisanya kamu lakukan di satu wilayah atau global?"

"Kami lakukan analisa secara global, Pak. Jadi cakupan informasi pemasarannya lebih luas."

Angga kembali mempelajari laporan yang diberikan oleh Tari. Ia selalu merasa puas pada pekerjaan Tari yang melebihi ekspektasinya. Tari tidak pernah biasa saja dalam mengerjakan sesuatu, selalu melampaui standar kebanyakan orang.

"Saya tambahkan beberapa hal, ya. Supaya bisa kita diskusikan kembali dengan bagian lain dalam meeting selanjutnya. Bisa kamu revisi sebentar?" Angga menyodorkan kembali tab milik Tari dengan memberikan catatan.

Tari bangkit dari duduknya, berniat untuk melakukan revisi sesuai permintaan Angga, namun atasannya itu justru mencegahnya. "Kamu mau kemana?"

"Revisi ini, Pak. Kan tadi mau ditambahkan beberapa hal dari Pak Angga," jawab Tari sedikit heran dengan pertanyaan bosnya.

"Kamu revisi di sini aja, daripada bolak-balik."

"Oh, baik, Pak. Tapi nggak apa-apa saya di sini, Pak?"

Angga mendongak dari atas dokumen yang sedang ditandatanganinya, menatap Tari lalu tersenyum kecil. "Ya, nggak apa-apa. Memangnya kenapa? Kamu takut saya makan atau gigit, ya?" 

Bingung harus menanggapi bagaimana, tari hanya mengangguk kecil dengan sungkan.

"Tenang, Tari, saya nggak suka makan orang, kok," lanjut Angga dengan senyum yang makin lebar. Merasa lucu dengan respon Tari. "Saya suruh kamu kerjain di sini karena lebih hemat waktu, biar bisa langsung saya lihat hasilnya."

"Oh, iya, Pak. Baik, saya revisi dulu," Tari bangkit dengan kikuk lalu menuju ruang duduk tamu dan mulai mengerjakan perintah atasannya itu di sana.

Sejujurnya, Tari hampir tak pernah berinteraksi lama dengan Pak Angga. Hanya dalam agenda meeting, atau beberapa kali pertemuan selintas di kantor. Jadi, berada di satu ruangan yang sama hanya berdua begini, terasa sangat canggung. Tari tahu, atasannya ini sudah beristri dan baru memiliki anak, tetapi tetap saja rasanya sungkan.

"Saya nggak tahu kalau kamu dekat dengan Cakra. Sudah lama kenal Cakra?"

Sontak Tari mengangkat kepalanya dari layar begitu mendengar pertanyaan Angga, atasannya itu masih menunduk di atas berkas-berkasnya. Untung saja Beliau tidak melihat ekspresi terkejut Tari sekarang yang kemudian kembali menundung, memikirkan jawaban atas pertanyaan itu.

"Saya belum lama mengenal Cakra, Pak."

"Oh, tapi kata Cakra kalian udah lama kenal?" kali ini Angga menghentikan kegiatannya, menangkupkan kedua tangannya dan menatap lurus pada Tari.

Tari kebingungan karena tak menduga akan ditanyai seperti itu oleh Pak Angga. Dia harus menjawab apa?

"Cakra itu anaknya belum dewasa, kadang masih banyak bersikap seperti anak-anak. Dia hanya serius untuk hal-hal yang dia senangi, dan dia akan mengejarnya sebagai tujuan," lanjut Angga. Dia bisa melihat Tari merasa gugup dan menghindari agar tak memandangnya.

"Jadi untuk semua hal yang diinginkan oleh Cakra, saya yakin itu hal yang sudah dia pikirkan dengan matang sebelumnya."

Jangan tanya bagaimana keadaan Tari sekarang. Dia sudah gugup sampai tangannya berkeringat. Padahal pembicaraan ini sama sekali di luar pemahamannya. Ia tidak mengenal Cakra sama sekali secara pribadi. Apa yang terjadi antara kakak-adik ini sehingga mereka harus melibatkannya?

"Saya tahu apa yang sudah terjadi dengan kamu beberapa waktu lalu. Saya turut prihatin. Kamu perempuan yang memiliki nilai unggul Tari, saya mengakui itu. Bodoh, lelaki yang melepasmu begitu saja." Angga menarik napasnya pelan, "Adik saya, bukan penyebab kejadian buruk di masa lalu kamu, kan?"

Pertanyaan apa itu? Bagaimana mungkin Pak Angga berpikir begitu?

"Bukan, Pak. Apa yang terjadi dengan saya tidak kaitannya dengan Cakra." Ada perasaan sesak yang datang menghampirinya namun Tari berusaha untuk menahannya. Tidak saat ia masih bersama Pak Angga.

"Saya harap, Cakra dan kamu hanya ada di masa sekarang dan masa depan. Apapun itu, saya ingin hanya ada kebaikan di sana." Kali ini suara atasannya itu terdengar lebih dalam dan lembut.

Tari memberanikan diri untuk mengangkat wajahnya sedikit demi melihat ekspresi atasannya itu. Sorot mata hangat dan lembut itu menatapnya disertai sebuah senyuman.

"Sudah selesai revisinya?" tanya atasannya itu sedetik kemudian berubah formal kembali.

"Eh, s-sebentar, Pak." Dengan gugup Tari kembali mengecek pekerjaannya sebelum kembali menyerahkannya pada Angga.

Dalam waktu kurang dari satu jam, tenaganya seolah habis tersedot ke pembicaraan mereka sebelumnya. Sebenarnya apa yang dipikirkan Pak Angga dan Cakra tentang dirinya? Kenapa rasanya ia seperti terseret dalam suatu pembahasan yang ia tak mengerti?

Apapun itu, Tari tidak ingin masuk lebih dalam. Masalah hidupnya saja sudah lebih dari cukup menyita kewarasannya. Tidak perlu ditambah hal lain.

.
.
.

Bersambung.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top