Bab 2. Sparkling Day

Boleh banget vote dan komen.

Biar authornya semangat nulisnya.
Happy reading! 💕

.
.
.

"Mau ke mana, Ta? Tumben jam segini kamu udah dandan begitu." ujar perempuan paruh baya yang sedang sibuk memindahkan tanaman hidroponiknya ke wadah baru, saat Tari keluar dari kamarnya dan melewati area terbuka di samping dapur.

"Mau pergi sama Revan, Ma."

Tari yang sedang merapikan isi tasnya, mendongak menatap sang mama lalu seperti tersadar akan sesuatu, Tari kemudian berjalan cepat mendekati sang mama, memeluk erat mamanya dari belakang.

"Eh, kenapa ini tiba-tiba?" tanya sang mama yang bingung dengan pelukan tiba-tiba putrinya itu. "Mama keringetan ini, tangan Mama juga sedang kotor karena tanah."

"Tari lupa bilang ke Mama kemarin, soalnya pas Tari pulang, Mama udah tidur."

"Ada apa? Jangan bikin Mama mikir yang aneh-aneh, ya." 

"Nggak kok, Ma. Tari seneng karena kemarin Tari naik jabatan jadi kepala divisi baru tim marketing," jelas Tari dengan senyuman lebar penuh kebanggaan. Sontak sang mama langsung berbalik menghadapnya.

"Kamu naik jabatan?" Tari mengangguk sebagai jawaban. "Astaga! Beneran, Sayang? Anak Mama!" sadar tangannya masih belepotan tanah, sang mama tersenyum bahagia dengan kabar itu.

"Mama bangga sama kamu, Nak. Mama ikutan bahagia! kamu harusnya bilang tadi pagi, biar Mama masakin semua makanan kesukaan kamu."

"Nggak apa-apa, Ma. Tari udah bahagia banget kok, tanpa dirayakan pun, Tari merasa sangat bahagia dan bersyukur karena usaha keras Tari membuahkan hasil setelah proses yang panjang." Tari memberikan sebuah ciuman hangat di pipi sang mama. "Makasih ya, Ma. Udah selalu support Tari selama ini."

"Sama-sama, Sayang."

"Dan ada satu lagi berita baiknya, Ma."

"Apa?"

"Aku sama Revan mau melangkah lebih serius. Hari ini Revan ngajak cari WO untuk nikahan kita nanti." Senyum malu-malu terlukis di bibir Tari, membuat mamanya kini tersenyum lebih lebar.

"Udah mau nyari WO sekarang? Ini kalian nggak ada alasan menunda lagi, kan? Mama akan bicara ke bunda Revan untuk persiapan. Kalian bilang aja mau gimana."

Lalu terdengar ketukan dari pintu depan yang membuat ibu dan anak itu menoleh. "Itu kayaknya Revan udah datang. Aku berangkat ya, Ma."

"Nggak diajakin sarapan dulu?"

"Nggak deh, nanti aja kita makan di luar. Doain lancar nyari WO nya ya, Ma."

"Iya, Sayang. Mama doakan yang terbaik untuk kalian."

Kemudian Tari beranjak membuka pintu depan untuk Revan. Langkahnya ringan dengan aura bahagia terpancar jelas darinya.

"Hai." Senyuman hangat Revan menyambutnya begitu pintu terbuka.

"Hai juga."

"Kenapa senyum-senyum begitu?" tanya Revan yang heran dengan mood Tari yang secerah hari itu.

"Nggak apa-apa. Lagi seneng aja mau jalan sama kamu. Aku udah bilang ke Mama tadi, soal kita mau cari WO," jawabnya masih dengan senyuman.

Tangan kanan Revan terangkat lalu mengusak kepala Tari dengan lembut. "Aku juga udah bilang ke Bunda tadi sebelum berangkat," ucapnya tenang dan hangat, membuat Tari merasakan merayapi wajahnya.

"Makasih udah melakukan hal indah buat aku, Van. Aku sayang kamu."

"Sama-sama, aku juga makasih ke kamu karena udah jadi hal terindah yang ada di hidupku."

Keduanya saling menatap dan melempar senyum. Bahagia jelas terlihat pada wajah keduanya yang merona dan malu-malu.Waktu yang mereka lalui bersama memang cukup lama, namun selalu ada rasa baru di setiap hari mereka, yang mampu membuat keduanya merasa saling jatuh cinta berulang kalinya.

"Berangkat, yuk!" Tari meraih tangan Revan mengajaknya pergi. Jika diteruskan berlama-lama, jantungnya bisa copot karena berdebar kencang.

"Aku nggak masuk dulu? Aku belum pamit Mama loh, mau ngajakin kamu pergi."

"Nggak usah, tadi aku udah pamit kok." 

***

Bagi Tari, hari ini rasanya seperti mimpi yang perlahan terwujud secara berurutan, karirnya sudah berada di titik stabil, ia hanya perlu mempertahankannya dan terus naik ke atas. Percintaannya pun demikian. Setelah sarapan di salah satu warung makan langganannya dan Revan, mereka melanjutkan untuk mendatangi tiga tempat WO yang sudah direkomendasikan oleh teman-teman dan juga hasil diskusi mereka berdua. Ketiga tempatnya cukup berjauhan, untung saja mereka berangkat pagi.

Di tempat pertama, mereka mendapatkan ide konsep outdoor wedding party yang bekerjasama dengan beberapa vendor profesional. Revan menyukai rancangan dan konsep yang ditawarkan, namun mereka harus melihat penawaran dan paket dari tempat lainnya. Lalu, di tempat kedua, mereka mendapatkan konsep indoor wedding yang elegan, Tari menyukai konsep ini tentu saja mereka harus menimbang dan memikirkannya kembali. Sampai akhirnya mereka sekarang sampai di tempat ketiga.

"Kamu suka yang mana?" Revan menoleh pada Tari saat mereka berdua selesai mendengarkan paket dan konsep yang ditawarkan oleh tempat ketiga,

"Ini aku juga suka, Rev. Jadi bingung soalnya bagus semua."

"Aku ikut apa yang kamu mau aja, Sayang. Aku tinggal iyain aja."

Pipi Tari bersemu merah mendengar ucapan Revan barusan, apalagi mereka masih bersama staff dari WO nya yang tersenyum mendengar pembicaraan mereka.

"Beruntung banget ya, Mbaknya. Ini calon suaminya iya aja sama pilihan Mbaknya. Kalau biasanya pasangan lain ada perdebatan dulu, loh," ucap si staff. Sementara Tari makin bersemu dan memilih untuk membuang tatapan agar tak menatap Revan atau mbak staff itu.

"Yang penting dia bahagia, Mbak. Pasti saya turutin, kok."

Sekali lagi, ucapan Revan berdampak tidak baik bagi kesehatan jantung Tari yang kini berdetak lebih cepat dari biasanya diikuti gelitik aneh di dadanya  yang membuat Tari tanpa sadar menarik garis senyum di sudut bibirnya.

"Aduh, Masnya manis banget, saya jadi ikutan salting, nih." Staff WO itu tersenyum sambil menutup bibirnya dengan malu-malu. "Kalau gitu silakan berdiskusi dulu, akan saya ambilkan katalognya." Kemudian staff itu pergi meninggalkan Tari dan Revan berdua.

"Revan! Ih, gombal banget di tempat umum! Aku malu..."

Revan tertawa ringan, tangan kirinya mengusak puncak kepala Tari. "Kenapa malu? Aku cuma bilang kenyataannya. Apa yang bikin kamu bahagia, aku juga bahagia."

"Kamu ada vendor lain yang mau disesuaikan nggak? Atau ikut dari WO nya aja?

"Nggak ada, sih. Aku oke aja." Tari menatap dalam mata Revan yang hangat dan menenangkannya. "Orang tua kita harus ketemu lagi abis ini, kan? Tadi Mama tanya, kalau udah nyari WO nanti Mama mau ketemu orang tua kamu."

"Aku udah bilang Bunda, kok. Kalau orangtua kamu mau ke rumah langsung kabarin aku, biar Bunda sama Bapak siap-siap juga."

Tari mengangguk sebagai tanda setuju. Bahagia yang dirasakannya tak bisa dibandingkan dengan apapun. Sangat indah dan berbunga. Dia harap semuanya akan terus seperti ini. Mereka pulang setelah sebelumnya mampir dulu untuk makan. Hari sudah sore, berlalu cepat tanpa terasa setelah agenda keliling mereka hari ini. Di dalam perjalanan pulang, Revan bahkan selalu menggenggam tangan Tari saat mereka berhenti di lampu merah. Membuat Tari semakin jatuh cinta lagi dan lagi pada kekasihnya itu.

"Besok kamu mau ke mana?"

"Nyari WO kan udah, tinggal nunggu pembahasan dan diskusi sama orang rumah. Gimana kalau besok kita nyari tempat untuk gaunnya?"

Revan menoleh, memberikan sebuah senyuman manis yang menenangkan dan selalu menyenangkan untuk dilihat. "Boleh, besok kita cari tempat gaunnya."

"Rev, makasih untuk semua yang kamu lakukan buat aku. Aku bersyukur banget punya kamu di hidup ini."

"Sama-sama, Sayang."

Semuanya lancar, harapan bahagia sudah di depan mata dan Tari siap untuk melaluinya bersama Revan. Keduanya sampai di rumah Tari, saat Revan menghentikan mobilnya, berniat keluar untuk menyapa orangtua Tari di dalam, saat ada panggilan masuk di ponselnya yang membuatnya urung masuk dan berhenti di teras.

"Sayang, kamu masuk duluan, ya. Aku ada telepon bentar."

Tari tentu saja mengangguk, "Oke, aku tunggu di dalam, ya." Lalu ia berjalan mendahului Revan masuk ke dalam. Mencari keberadaan Papa dan Mamanya untuk menceritakan hasil pencarian mereka hari ini. Baru Tari membuka mulut untuk memanggil Mamanya, Revan yang sudah menyusul dan berdiri di belakangnya, menahan lengannya.

"Sayang."

"Loh, udahan teleponnya? Aku kira bakalan lama." Tari menatap Revan yang entah kenapa terlihat tegang dan ada emosi yang terlihat di matanya, sama sekali berbeda dengan Revan yang ditinggalkan Tari beberapa menit yang lalu.

"Sayang, ini aku langsung balik, ya? Maaf, kayaknya nggak bisa ketemu Mama sama Papa kamu hari ini. Salam aja buat mereka."

Tari sadar ada perubahan dalam sikap Revan. "Kenapa, Van? There's something wrong?"

"Oh, nggak, kok. Nggak ada." Ada sesuatu yang disembunyikan Revan yang terlihat jelas dari sikap dan ekspresinya sekarang. Tari tahu itu, tapi Revan tidak mau bicara padanya sekarang. 

"Mm, Sayang. Kayaknya besok kita undur dulu ya, pergi nyari gaunnya. Ini tadi temen aku barusan telepon. Dia minta tolong kerjaan yang agak urgent. Jadi aku mau ke tempat dia sekarang."

"Ada masalah apa sama kerjaan kamu? Harus banget sekarang pergi, dan batalin acara besok?"

Revan menghela napas pendek sebelum membuang tatapannya pada arah selain Tari. "Ini penting banget, Sayang. Jadi, aku mau ngecek sekarang dan kayaknya besok harus bantuin dia juga. Takutnya ntar Senin nggak keburu selesai. Maaf, ya."

Revan mengusap kepala Tari lembut dengan sebuah senyum untuk menenangkan gadisnya itu. "Secepatnya, nanti aku cari tempat gaun yang bagus buat kamu, Sayang."

Revan berpamitan dan bergegas pergi dari kediaman Tari. Meninggalkan gadis itu dengan pertanyaan yang berkecamuk di kepalanya.

Apa yang sebenarnya terjadi?

Sepenting apa urusan dengan temannya sampai Revan membatalkan janji mereka?

Tari mengambil napas panjang, berusaha menghalau pikiran-pikiran negatif yang menyerbu pikirannya lagi. Dia harus percaya pada Revan, kan? Kekasihnya itu juga pasti sedang mengusahakan sesuatu untuk hubungan serius mereka.

.

.

.

Bersambung.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top