Bab 18. Kesepakatan

Boleh banget vote dan komen.

Biar authornya semangat nulisnya.
Happy reading! 💕

.
.
.

Sebenarnya, tak ada hal spesial yang menarik perhatian Cakra akhir-akhir ini. Ia menjalani semuanya sama seperti biasanya, pergi ke My I setiap hari, mengerjakan proyek band-nya, sampai ia tanpa sengaja menemukan hal menarik dari salah satu pelanggan My I.

Kata Jery, manajer My I, pelanggan ini selalu datang setiap malam dan memesan tempat yang sama, yaitu di ujung ruangan dekat jendela halaman belakang. Selalu seperti itu.

Cakra hanya iseng dan penasaran. Ia coba melihat ketika pelanggan itu datang. Mungkin itu wanita yang menjual kelebihan dirinya untuk mendapatkan sesuatu dari pria, itu yang Cakra pikirkan.

Namun, pikirannya itu hilang begitu saja ketika yang dilihatnya adalah perempuan sama yang ia temui di depan toilet beberapa waktu lalu. Perempuan yang marah-marah tanpa sebab padanya.

Dilihat dari perawakan dan visualnya, sepertinya ia bukan tipe perempuan yang menjual dirinya. Sikap galaknya menunjukkan hal itu. Apalagi, setelah melihatnya, perempuan itu hanya duduk termenung, sesekali menulis di buku catatan yang ia bawa.

Ada yang aneh, sikap galaknya dan sikap diamnya memberikan perasaan yang berbeda pada Cakra. Lalu, saat gadis itu pulang, ia selalu membuang catatannya di tempat sampah. Beberapa hari Cakra tak peduli, namun setelah seminggu ia tak sengaja mendengar perempuan itu menggumam sedih tentang hubungan percintaannya.

Oh, patah hati?

Ingin tahu, Cakra mengambil gumpalan kertas yang telah dibuang itu. Entah kenapa, kepalanya langsung mendapatkan inspirasi dari tulisan itu. Ia bahkan menjadikannya sebuah lagu yang ditampilkan dalam live perform band-nya di My I. Hingga hari-hari seterusnya, Cakra selalu mengambil kertas buangan di perempuan dan mengumpulkannya.

Kisah cinta patah hati itu klise, itu yang diyakini Cakra selama ini.

Namun, dalam setiap kalimat yang dituliskan oleh perempuan itu memberikan kesan yang berbeda. Seolah Cakra terlarut dalam kisahnya.

Lalu, seolah merestui idenya, semesta selalu mempertemukan mereka dalam ketidaksengajaan. Ada dua perasaan berbeda yang ia rasakan setiap kali mereka bertemu. Rasa kasihan namun kesal. Bagaimana tidak, perempuan itu selalu marah-marah padanya. Sampai adabkejutan lain yang disebut kebetulan, diketahuinya. Perempuan galak itu adalah karyawan yang bekerja di kantor Angga, kakaknya.

Cakra tak pernah tertarik pada perempuan, ia malas berurusan dengan makhluk rewel ciptaan Tuhan itu. Namun, si galak yang ia ketahui bernama Tari itu seolah secara natural menariknya untuk terus mencari tahu tentangnya.

Hingga malam itu, ia tahu Tari mencarinya di My I setelah kejadian menyebalkan di Rumah sakit. Cakra sengaja menghindar, hingga Danu salah satu kenalannya yang ternyata juga mengenal Tari, tampak mengganggu. Mau tak mau, Cakra akhirnya keluar untuk melerai keduanya.

Lucunya, ia justru menemukan kartu kepegawaian milik Tari terjatuh saat ia buru-buru pulang malam itu.

Di sinilah ia sekarang, di kantor kakaknya. Sengaja menunggu Tari sejak pagi, tetapi Tari justru tiba di siang hari. Ia tak ingin begitu saja mengembalikan kartunya, ia ingin sedikit mengganggu.

Didengarnya dari luar ruangan, Tari sedang kesal dan mengomel pada temannya. Pemarah, dasar galak.

Sengaja, Cakra mengetuk pintu ruangan. Membuat Tari terbelalak menatapnya yang berdiri di depan pintu.

"Lo masih di sini? Balikin kartu gue." Tari beranjak keluar dari kubikelnya menghampiri Cakra yang berdiri bersandar di depan pintu. Satu tangannya menadah meminta kartunya kembali.

Cakra tersenyum miring, satu tangannya terangkat lalu ia genggam tangan Tari yang lebih kecil dari miliknya itu.

"Gue belum menerima permintaan maaf dari lo. Jadi, gue nggak akan balikin kartunya."

Mendengarnya, Tari mendelik, menghela napas lalu menyentakkan tangannya yang ada dalam genggaman Cakra. "Lo belum jelasin dari mana lo  dapetin kartunya. Jadi, gue nggak akan minta maaf lagi. Nggak lo maafin pun, bukan masalah buat gue."

Tari kepalang kesal. Lelaki di hadapannya ini mengukur waktunya dengan menyebalkan.

"Jadi permintaan maaf lo tadi cuma basa basi, setelah semua yang lo lakuim ke gue?" Cakra menarik napasnya panjang, masih dengan senyum tipis di ujung bibirnya. "Oke, lo nggak butuh kartu ini, ya."

Lalu, dengan satu tangannya ia menggenggam erat kartu itu hingga nyaris nyaris patah, membuat Tari panik.

"Hei! Kartu gue!" Tari berjinjit untuk mengambil kartunya, namun Cakra menjauhkan tangannya.

"Nggak butuh, kan?"

"Lo, tuh apa-apaan, sih? Jangan mentang-mentang lo adik Pak Angga, lo bisa berbuat seenaknya sama gue! Kekanak-kanakan, lo!

Cakra berdecih, menatap Tari datar. "Kalo gue kekanak-kanakan, apa dewasa adalah menangisi masa lalu yang nggak bisa kembali?"

Tari terdiam, ucapan Cakra tidak menyinggungnya karena bagaimanapun lelaki di hadapannya ini tak tahu apapun tentangnya. Tetapi, ia tak bisa membalas ucapan lelaki ini.

"Stop, gue cuma mau lo balikin kartunya. Itu hak gue, please jangan bikin ini jadi rumit." Tari mengulang kembali, satu tangannya menadah pada Cakra.

"Take me to dinner, and I'll give it back." Kembali, Cakra menyambut tangan Tari dengan sebuah jabat tangan. Lalu, ia berbalik dan pergi begitu saja meninggalkan Tari yang ingin mengejar namun dicegah oleh Nadia.

"Tar, udah dulu, ya. Diliatin anak-anak lain," bisik Nadia yang membawa Tari kembali ke mejanya.

Mungkin suaranya tadi terlalu keras, ia menyadari yang lain menatapnya ingin tahu apa yang baru saja terjadi.

"Itu adik Pak Angga yang lo ceritakan ke gue?" tanya Nadia yang dibalas anggukan oleh Tari. "Kok beda? Maksud gue, Pak Angga kan orangnya kalem, ramah, dan berwibawa. Adiknya beda banget auranya," lanjut Nadia.

"Nggak tau, gue juga heran. Dia udah ngeselin kayak gitu sejak awal. Kayak yang gue ceritain ke lo."

"Sebaiknya, ntar lo coba omongin lagi deh, Tar. Dari pada besok lo nggak bisa masuk."

Menyadari sesuatu, Tari langsung berdiri lagi. "Dia bilang dinner, kan? Dimana? Gue nggak ada kontaknya, Nad!" Tari tergesa berlari keluar ruangan, bermaksud mengejar Cakra. Namun, lelaki itu sudah tak ada.

"Gimana?" tanya Nadia begitu Tari kembali.

"Dia udah nggak ada." Menghela panjang, Tari memijit keningnya. "Bego banget sih, gue. Ini karena gue keburu emosi tadi, jadi nggak bisa mikir jernih tadi," rutuknya kesal pada diri sendiri.

"Apa lo tanya Pak Angga aja? Beliau pasti tau, kan."

"Lo gila, Nad. Mau di taruh mana muka gue? Apa yang akan dipikirkan Pak Angga kalau tiba-tiba gue minta kontak adiknya?" bisiknya tak percaya pada saran gila Nadia, sementara temannya itu hanya meringis.

Terdengar bunyi ketukan di pintu, lalu seorang office boy datang menemui Tari. "Selamat sore, maaf Bu Tari, ini ada titipan untuk Ibu," ucapnya menyerahkan sebuah amplop kecil.

"Dari siapa?

"Katanya dari Pak Cakra, Bu."

"Oh, oke. Makasih, ya."

"Iya, Bu. Saya permisi, selamat sore," pamit OB itu kemudian pergi.

Tari buru-buru membukanya, sebuah surat kecil yang dilipat rapi.

Gue tau lo bakalan nyari gue.
Sorry, gue nggak ada waktu.
Gue tunggu di My I nanti malem.

.
.
.

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top