Bab 16. Di Waktu Yang Tepat
Boleh banget vote dan komen.
Biar authornya semangat nulisnya.
Happy reading! 💕
.
.
.
Jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi, Namun Tari terlihat masih di rumah. Duduk di teras rumahnya menunggu kedatangan Nadia yang katanya mau menjemputnya. Hari ini mereka ada meeting di luar kantor dengan tim marketing cabang. Tari senang saat ditugaskan untuk pergi bersama Nadia, hitung-hitung mencari udara segar di luar kantor. Karena lokasi yang diambil lebih jauh dari kantor, maka ia dan Nadia berangkat langsung ke sana.
Tak lama kemudian bunyi klakson dari arah jalan yang menandakan Nadia sudah tiba, membuat Tari beranjak dari duduknya.
"Ma, Tari berangkat dulu, ya!" pamitnya dari depan, dijawab oleh sang mama dari dapur. Ia berjalan menghampiri Nadia. "Hai, Nad."
"Lemes amat, pagi-pagi," sahut Nadia yang memperhatikan tampilan Tari dengan wajah tak seceria biasanya. "Kenapa lagi?" tanyanya setelah Tari duduk di kursi penumpang di sebelahnya.
Yang ditanya hanya mengembuskan napas panjang, menatap tak bersemangat ke depan sebelum memiringkan tubuhnya menghadap nadia. "Nad, lo bosen nggak sih ama gue?"
"Hah, tiba-tiba banget nanya begitu? Kenapa sih?" Nadia melirik Tari tanpa melepaskan fokusnya mengemudi.
"Kemarin gue ketemu Danu, bukan pertemuan yang menyenangkan, sih. Dia menyinggung masalah gue sama Revan."
Nadia menoleh cepat mendengar penuturan temannya itu. "Danu yang ngejar lo dan hampir berantem sama Revan dulu, kan?"
"Iya, gue nggak sengaja ketemu pas di My I semalem." Tari menunduk, perasaannya masih tak enak memikirkan arti 'kegagalan' yang disinggung oleh Danu.
"Apapun yang dia bilang, sebaiknya nggak usah lo pikirin, Tar. Jangan overthinking dan bikin lo nggak fokus.
"Gue mencoba fokus, nggak kepikiran apapun tapi sulit, Nad. Dua bulan ini gue udah berusaha banget, tapi setiap kali pembicaraan tentang Revan dan pernikahan disinggung, rasanya tetep menusuk. Gue emang udah nggak menangisi hal itu, tapi rasa sakit dan pahitnya masih terasa."
Tari tersenyum tipis sebelum melanjutkan. "Gue udah nggak bisa marah atau tersinggung, tapi kayak berat dengernya. Lo mungkin udah bosen ama sikap gue ya, Nad."
Nadia melepaskan tangan kirinya daru kemudi hanya untuk memukul dan mencubit lengan Tari dengan kesal. "Gue nggak suka ya, lo ngomong begitu! Siapa yang bosen dan muak sama lo? Gue nggak begitu, Tar. Lo kurang yakin apa lagi sih sama gue?"
"Bukannya gitu, Nad. Mendengarkan cerita orang patah hati yang berulang dalam waktu lama pasti bikin lo muak."
Mulai kesal dengan arah pembicaraan Tari yang semakin negatif, Nadia mencari tempat menepi dan menghentikan mobilnya di jalan. Membuat Tari kebingungan dengan sikap Nadia.
"Gue jelasin sekali lagi, ya, Tar. Gue eama sekali nggak bosen, nggak muak, ataupun kesel sama lo. Mau lo cerita sebanyak ratusan kalipun tetap bakal gue dengerin. Karena apa, hanya itu yang bisa gue lakukan untuk membantu lo. Kalo dengan hal itu lo bisa merasa lebih baik, gue nggak keberatan untuk dengerin lo, Tar," ucap Nadia tegas namun sorot matanya hangat dan penuh pengertian pada Tari.
Tari yang tak menyangka akan mendengar hal itu dari Nadia, merasakan panas di wajahnya dan sedetik kemudian air bening meluncur dari matanya. Nadia langsung meraihnya dalam pelukan hangat, menepuk-nepuk punggungnya.
"Gue nggak tau lagi harus berterima kasih seperti apa ke lo, Nad. Lo adalah teman terbaik yang pernah gue punya. Lo selalu ngerti dan meyakinkan gue di saat gue ragu pada diri sendiri," ucap Tari dalam isaknya, "Lo udah banyak membantu gue untuk terus kuat, makasih ya, Nad."
Nadia mengangguk, mengelus pelan rambut Tari, menenangkan temannya itu. "Gue tau banget gimana keadaan lo, Tar. Sekalipun nggak langsung, tapi gue bisa rasain situasi lo nggak mudah. Gue aja mungkin nggak akan bisa setegar lo sekarang. Lo hebat, Tari, lo wanita kuat," ucap Nadia dengan suara bergetar. Ia menahan dirinya untuk tidak ikut menangis, biarlah Tari yang meluapkan perasaannya.
Keduanya melepaskan pelukan, sebuah senyum hangat Nadia berikan pada Tari yang wajahnya sudah merah dan penuh air mata.
"Nggak ada orang yang menginginkan kegagalan, Tar. Begitupun lo. Jangan sampai kejadian ini bikin lo semakin terpuruk dan jaumtuh, Nad. Tapi apa yang udah terjadi akan bikin lo mendapatkan pelajaran paling berharga dalam hidup. Gue percaya, lo bisa lakuin ini. Pelan-pelan nggak apa-apa, karena semua orang butuh waktu untuk sembuh."
Tari mengangguk pelan, mengusap air matanya. "Thanks, Nad."
Nadia tersenyum, kemudian satu tangannya iseng mencubit pipi Tari. "Senyum lagi, ah! Ini kita mau meeting loh. Masa iya muka bengep begini," candanya membuat Tari ikut tersenyum.
"Nyari toilet umum dulu, deh. Rapiin make up bentar. Kalau kita datang dengan penampilan begini dikira abis bangun tidur." Nadia tertawa kemudian kembali melajukan mobilnya.
"Sorry, gue udah bikin make up kita berantakan," gumam Tari merasa bersalah.
Rasa berat yamg ia rasakan sejak semalam rasanya telah berkurang setelah ia mengatakan semuanya. Ia bukannya tidak jujur dengan perasaannya, namun ia tak ingin membebani orang-orang di sekitarnya dengan masalah dan deritanya. Tetapi kenyataannya memang ia tak bisa menahannya sendirian.
***
Meeting berjalan lancar sampai siang, ternyata Pak Angga ikut hadir dalam meeting tersebut. Tari dan Nadia sempat bingung karena tak mempersiapkan materi untuk bosnya itu, untungnya semua bahan yang dibahas membuahkan hasil dan rancangan baru target mereka bulan depan.
"Maaf ya, bikin kalian kaget. Saya tadi memang mampir karena kebetulan ada yang ingin saya sampaikan mengenai analisa data pasar. Besok saya ada dinas ke luar kota lagi, takutnya nggak keburu kalau saya menunda menyampaikan," tutur Pak Angga menjelaskan setelah meeting selesai.
"Iya, Pak. Nggak apa-apa," jawab Tari mengangguk dan tersenyum.
"Makasih ya, atas kerja kerasnya. Kalian berdua balik ke kantor, kan? Mau bareng saya?" tawar Pak Angga ramah.
"Terima kasih tawarannya, Pak. Tapi saya bawa mobil ke sini," jawab Nadia sungkan.
"Oh, ya sudah. Hati-hati baliknya, kalau gitu saya permisi duluan," pamit Pak Angga dengan senyum ramahnya lalu pergi lebih dulu meninggalkan tempat. Beberapa staff cabang juga sudah bersiap kembali.
"Pak Angga tuh baik banget sih, idaman banget. Sayang udah nikah," bisik Nadia sambil cekikikan kecil.
"Hush! Nad, kamu ini ngomong apa, sih? Nggak baik kalau didengar orang!" tegur Tari pada temannya itu.
"Ah, maaf! Maksudnya bukan begitu, Tar. Aku cuma mengagumi beliau kok, hehe. Lagian, Pak Angga sama Bu Amandalia itu couple goals banget!"
Tari mencebik lalu tersenyum mendengar jawaban Nadia. Kemudian keduanya bersiap kembali ke kantor.
***
"Kenapa, Tar?" tanya Nadia begitu mereka di lobi dan hendak masuk ke kantor. Tari terlihat menunduk, mengubek-ubek tasnya.
"Kok kartu akses pegawai gue nggak ada? Perasaan nggak pernah gue keluarin dari tas," jawab Tari sambil memeriksa isi tasnya.
Nadia yang sudah di depan dan mau menempelkan kartu aksesnya untuk masuk, kemudian berbalik dan menghampiri Tari.
"Ketinggalan di rumah?"
"Nggak mungkin, Nad. Gue nggak pernah keluarin dia dari tas. Ini sisa lanyardnya aja tapi kartunya gak ada."
"Coba cari yang bener, pelan-pelan, Tar. Siapa tau nyelip."
"Nggak ada, gimana dong. Gue jadi nggak bisa masuk, kan. Terus laporan meetingnya gimana? Aduh," panik Tari, kini mengeluarkan satu persatu isi tasnya.
Nadia melihat jam di tanganya. "Tar, udah jam dua lewat lima belas. Gue harus serahin laporan ke bagian keuangan, mereka keburu tutup data. Ini misal gue masuk duluan gimana?"
"Iya, lo duluan aja. Nggak apa-apa, Nad."
"Sorry, ya, Tar. Urgent banget ini, nanti gue ke sini lagi, atau lo telepon gue, ya?"
Tari mengangguk hingga kemudian Nadia buru-buru masuk, meninggalkannya masih mengubek isi tasnya. Ia tidak bisa masuk tanpa akses kartunya. Padahal ia harus menyusun hasil meeting barusan.
Tiba-tiba ia dikejutkan oleh tangan yang ada di depannya membawa kartunya.
"Nyari ini?"
"Oh! Kartu gue!" Tari mendongak dan mendapati Cakra berdiri di depannya dengan wajah malas dan satu tanganjya dimasukkan ke saku.
Lalu tanpa mengatakan apa-apa, cakra melenggang masuk membawa kartu Tari juga kartu miliknya. Yang ia tempelkan ke mesin hingga pintunya terbuka. Tentu hal ini membuat Tari bingung.
"Lo masuk atau bengong di situ?" tanya Cakra dengan suara menyebalkan, pada Tari yang kemudian berlari menyusul Cakra untuk masuk.
.
.
.
Bersambung.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top