Bab 14. Rasa Bersalah

Boleh banget vote dan komen.

Biar authornya semangat nulisnya.
Happy reading! 💕

.

.

.

"Naaaadd!" teriak Tari heboh begitu melihat Nadia masuk ke ruangan mereka pagi itu. Membuat beberapa orang menatap heran pada Tari yang langsung menarik Nadia ke kubikelnya.

"Ada apaan nih, masih pagi lo udah heboh aja," Nadia mengerutkan keningnya heran pada Tari yang tiba-tiba memeluknya histeris.

"Nad, gue kayaknya bikin kesalahan besar deh. Kalo gue kehilangan kerjaan karena ini, gimana?"

"Lo baru ngapain? Salah laporan? Apa gimana?" Nadia ikut panik ketika Tari masih memeluknya.

"Nggak, bukan itu. Ini lebih parah dari itu, Nad." Tari menggigiti bibir bawahnya sambil menatap Nadia meminta bantuan.

"Bentar, gue duduk dulu, deh. Baru dateng lo udah histeris aja. Ini kenapa?" Nadia mengambil duduk di sebelah Tari, meletakkan tasnya dan fokus siap mendengar.

"Lo inget kan, kemarin gue bilang sama lo kalau gue ketemu laki-laki yang suka flirty padahal istrinya sedang lahiran?" Nadia mengangguk sebagai jawaban.

"Nah, kemarin gue ngelabrak dan ngomelin dia karena pikiran gue yang negatif itu. Gue ngomong panjang lebar sama dia yang intinya nggak suka dengan kelakuannya itu." Tari menunduk dan memejamkan matanya, malu mengingat kejadian kemarin.

"Terus, setelah gue ngomel, tiba-tiba ada Pak Angga datang."

"Hah? Pak Angga bos kita?"

Tari mengangguk, "Iya, Nad. Parahnya dia datang nyamperin itu laki-laki, agak ngomel dikit sih, abis itu baru Beliau nyadar ada gue di situ. Sama-sama kaget dong kita, nggak menyangka ketemu." Tari mengangkat tangannya untuk mengusap wajahnya yang memerah malu.

"Parahnya, ternyata laki-laki yang gue omelin itu adiknya Pak Angga."

"Hah, beneran?"

"Iya. Duh, gue malu banget, Nad. Apalagi perempuan yang gue kira istrinya itu ternyata adalah istrinya Pak Angga."

"Bu Amandalia?"

"Iya, Nad. Gue kan nggak tau, karena selama kecurigaan gue itu, dia manggilnya Manda, gue kira orang yang berbeda, kan. Ternyata istri Pak Angga yang lahiran."

Nadia menghela napasnya panjang, geleng kepala setelah mendengar cerita Tari yang memang tak disangka-sangka. "Orangnya nggak ngomong apa-apa abis lo omelin?"

"Nggak sempet, Nad. Kan ada Pak Angga, abis itu juga mereka langsung pergi. Asli gue malu banget. Takut kalau dia ngadu ke Pak Angga tentang omelan gue, dan bikin gue dipecat dari sini."

"Hush! Kejauhan lo mikirnya! Nggak mungkin deh, dia kayak gitu. Kalu emang gitu harusnya dia ngadu saat itu juga."

"Iya, sih. Gue takut dia dendam sama gue,  karena dia pasti tersinggung kan udah gue tuduh macem-macem. Gimana, Nad.?" Tari memelas pada Nadia.

"Tenang dulu, jangan mikir yang aneh-aneh. Kebiasaan negatif thinking mulu lo. Udah gue bilang kan, jangan biarin pikiran jelek lo itu sembarangan berprasangka. Kalo gini kan lo sendiri yang susah," omel Nadai tak habis pikir tentang sikap Tari yang kadang terlalu ekspresif dan negatif."

"Iya, gue bersalah udah bersikap gitu. Makasih selalu ngingetin gue meski gue keras kepala."

Nadia menahan tawanya melihat Tari menunduk penuh penyesalan seperti anak kecil yangmerajuk setelah ketahuan nakal. Satu tangannya tidak tahan untuk mencubit pipi Tari dengan gemas.

"Terus, sekarang lo mau gimana? Lagian ya Tar, kenapa lo tiba-tiba kepikiran langsung ngomelin dia, sih?"

Tari mendongak, kali ini tatapannya berubah menjadi sedikit sendu sebelum menjawab. "Gue kamerin ketemu Revan di Rumah sakit bersama wanita itu. Gue pikir, rasanya nggak akan terlalu sakit. Ternyata justru sakit banget, Nad." Senyum di bibirnya terasa pahit dan menyedihkan.

Melihat itu, Nadia langsung memeluk Tari dan mengusap-usap punggungnya pelan. "Dari semua tempat, kenapa lo harus ketemu Revan di sana, sih, Tar?"

"Gue juga nggak tahu, Nad. Saat liat Revan, gue refleks manggil dia meski gue jelas liat dia sama wanita itu." Tari menghela napasnya panjang, menunduk memainkan jari jemarinya.

"Ada rasa bahagia dan rindu yang gue rasakan saat liat dia, Nad. Tapi sakit itu juga ada saat gue mikir seharusnya gue yang ada di sampingnya, harusnya gue yang dia genggam tangannya." Suara Tari semakin lirih di ujung kalimatnya, Revan selalu berhasil memporak porandakan perasaannya.

"Sabar, Tar. Lo kuat dan gue yakin itu."

"Gue mencoba untuk kuat, Nad. Meski gue rasanya rapuh dan jatuh." Tari lagi-lagi tersenyum tipis yang mengiris.

"Tapi jadinya gue malah melampiaskan emosi gue ke dia kemarin. Gue beneran menyesal dan malu, Nad."

"Terus gimana, lo mau minta maaf?"

Tari menimbang sesaat, mungkin lebih baik jika ia meminta maaf. "Tapi gue nggak tau gimana caranya ketemu dia. Nggak mungkin gue tanya ke Pak Angga."

"Lo pernah bilang ketemu dia dia My I, kan? Coba lo ke sana, siapa tau dia di sana."

Benar juga, ia bisa mencoba peruntungan mencari adik bosnya itu di My I. Setidaknya, ia harus meminta maaf atas kesalahpahaman kemarin.

***

Sudah satu jam Tari duduk ditemani dua gelas fruit punch dan beberapa camilan di depannya.

Sebulan lalu, ia mengobati sakit hatinya dengan diam di sini menuliskan kekecewaan dan sakit hatinya. Namun, hari ini berbeda. Perasaannya masih sama sakitnya, masih sama sendunya karena mengingat Revan. Bedanya, kali ini ada tujuan lain yang ia inginkan dengan datang ke sini.

Tetapi, rasanya sosok yang ia cari itu tidak ada. Ia sudah mengamati setiap tamu yang datang, berharap melihat laki-laki itu. Namun, ia tak menjumpai siapapun.

Apa dia sudah tidak datang ke sini, ya?
Atau kemarin hanya ketidak sengajaan karena kami bertemu dua kali di sini?

Rasanya, ia sudah puluhan kali mengerling ke arah pintu masuk, dan melelahkan menunggu sesuatu yang tidak pasti.

Apa jalan satu-satunya memang harus bertanya ke Pak Angga?

Tetapi alasan apa yang akan ia katakan untuk menemui adik bosnya itu?

Merasa kacau, Tari kembali meraih bolpennya lalu menuliskan isi hatinya pada buku catatan yang selalu ia bawa.

Begitu nyamannya ia menulis, sampai lupa bahwa ada tamu yang harusnya ia perhatikan kedatangannya.

"Permisi..."

Tari mendongak dari atas bukunya ketika seorang pelayan memanggilnya.

"Iya, ada apa?"

"Maaf mengganggu waktunya, Mbak. Saya mau mengantarkan Lemon Cake Special, yang menjadi menu baru kami di sini," ucap si pelayan sambil meletakkan sepotong cake di mejanya.

"Eh, tapi saya nggak pesan. Salah meja kayaknya, Mas."

"Ini menu spesial, Mbak. Memang diberikan secara free untuk customer langganan kami."

"O-oh, gitu ya." Lagi-lagi ia merasa kebingungan namun tetap menerima cake itu. "Makasih, Mas."

Setelah pelayan itu pergi, Tari mencoba cake Lemonnya.

***

"Gimana, udah dikasih?"

"Sudah, Mas. Mbaknya bingung, Mas. Lagian kenapa nggak diberikan langsung aja, Mas?" tanya si pelayan pada sosok laki-laki berpakaian kasual yang duduk tenang dibalik meja kerjanya.

"Nggak usah, dia makin bingung nangi kalo saya yang ngasih," jawabnya tersenyum. "Makasih, ya."

"Sama-sama, Mas."

Senyuman miring tersungging di bibirnya, matanya fokus melihat gerak-gerik perempuan yang sejak tadi mencuri perhatiannys itu.

.
.
.

Bersambung.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top