Bab 13. Kesalahpahaman
Boleh banget vote dan komen.
Biar authornya semangat nulisnya.
Happy reading! 💕
.
.
.
Cakra baru saja masuk ke alam mimpi ketika dering ponselnya membangunkannya karena Angga sang kakak terus menerus meneleponnya. Menatap malas pada layar ponselnya, Cakra menjawab juga. Namun, hal itu berujung penyesalan karena ternyata Angga menyuruhnya untuk segera kembali ke Rumah sakit karena dia harus segera pergi karena pekerjaan mendadak. Marah, tetapi Cakra tetap menurut.
Wajahnya kesal dan merengut di sepanjang menuju Rumah sakit. Mengutuk Angga dalam hatinya dan berjanji akan mengomeli kakaknya itu nanti. Belakang kepalanya terasa pusing karena tak jadi tidur, oh ingatkan dia untuk meminta ganti rugi pada Angga nanti.
Baru saja ia memarkirkan mobilnya dan berjalan masuk ke lobi, dilihatnya sosok perempuan tak asing yang sudah dihapalnya. Tentu saja itu Tari.
Dia bersama siapa?
Cakra bisa saja memilih lewat begitu saja tanpa ikut campur, tetapi nyatanya ia justru berjalan minggir dan berdiri dibalik tembok yang ditutupi tanaman hias. Kenapa gue sembunyi sih? Kok bego, rutuknya dalam hati.
Otak dan tubuhnya sedang tidak sejalan. Meski dia memilih untuk segera masuk, kakinya enggan melangkah sampai ia melihat dua orang yang lain pergi meninggalkan Tari sendirian.
Oke, gue bisa pergi sekarang.
Namun, lagi-lagi kakinya menolak untuk melangkah. Dilihatnya Tari berdiri mematung dengan tatapan kosong yang membuatnya merasa sedih, lalu wajahnya memerah hingga akhirnya merunduk dan menangis terisak.
Barulah saat itu kakinya kembali berfungsi. Langkahnya cepat menghampiri Tari yang kini menjadi pusat tatapan aneh orang-orang yang ada di situ.
"Hei, lo kenapa? Nggak apa-apa, kan? Ada yang sakit?"
Suara bernada panik dan kecepatannya meraih bahu Tari untuk memeriksa keadaannya, membuat Cakra tercengang. Kenapa dia melakukan hal ini?
Tidak mau menjadi pusat perhatian, Cakra membawa Tari menepi ke salah satu bangku di depan lobi.
"Lo kenapa? Perlu gue panggilkan suster?"
Perlahan, Tari membuka tangan yang ia gunakan untuk menutupi wajahnya dan mendongak, menatapnya nanar.
"Lo sakit?" Hanya gelengan pelan yang ia dapatkan sebagai jawaban.
"Bentar, lo tunggu di sini." Cakra berjalan cepat ke parkiran depan dan menyeberangi jalan untuk membeli sesuatur di warung depan.
"Nih, minun." Satu tangannya mengulurkan sebotol air.
Tari yang masih menatap kosong ke bawah itu seolah kehilangan kemampuan meresponnya. Tak sabar, Cakra mengambil kembali botol itu, membukanya dan menyerahkannya kembali.
"Ini lo beneran nggak kenapa-kenapa kan? Jangan tiba-tiba kesurupan di tempat umum. Ngeri liatnya," ucapnya asal seperti biasa, ia merasa lega ketika ekspresi kesal tak percaya terpancar dari mata Tari, menggantikan tatapan kosong yang beberapa saat lalu ada di sana.
"Lo bisa lebih sopan? Kenapa lo selalu bikin gue kesal tiap ketemu? Apa maksud lo?"
"Lo aja kali yang ngerasa kesel, gue nggak tuh, biasa aja." Cakra tentu tidak mau kalah jika urusan berdebat. "Lo udah waras lagi, kan, gue pergi kalo gitu. Bye." Ia tersenyum miring sekilas sebelum berbalik untuk masuk.
"Tunggu."
Ia menoleh dan melihat Tari bangkit dari duduknya, menghampirinya. "Gue sama lo nggak saling kenal, tapi gue cuma mau ngingetin aja. Sebagai cowok, lo nggak boleh bersikap kayak gini tau nggak? Lo harusnya sadar ada istri lo yang baru aja bertaruh nyawa buat melahirkan, tapi lo malah flirty sana-sini sama wanita lain. Harusnya lo menghargai pengorbanan istri lo."
Kedua alis Cakra bertaut bingung. Istri? Dia ngomong apa sih? Beneran kesurupan kali, ya?
"Untung gue bukan tipe perempuan yang mudah tergoda sama modus pria kayak lo. Gue akui semua yang lo lakukan itu baik, tapi lo harus bisa membatasi diri ketika lo udah beristri. Bukan justru keliatan seolah lo menawarkan harapan."
Tunggu. Cakra benar-benar kebingungan. Kenapa perempuan ini justru mengomelinya?
"Kayaknya lo salah orang , deh. Atau lo beneran kesurupan?" protesnya ikut kesal padaa Tari.
"Gue nggak salah, gue liat sendiri gimana sikap lo sama gue kemarin, juga sama wanita lain tadi pagi."
"Hah?" Cakra makin bingung. "Lo nggak waras kayaknya."
Tari mendengus tak percaya, menatap Cakra. "Jadi, modus lo selanjutnya adalah pura-pura nggak ngerti setelah tertangkap basah?"
"Gue kayaknya buang-buang waktu ladenin lo, harusnya gue biarin aja lo tadi."
"Beneran cowok brengsek ya lo tuh!"
"Cakra! Kamu sedang apa di sini, ditungguin dari tadi." Sebuah suara menginterupsi perdebatan keduanya, membuat Cakra semakin kesal.
"Tau, nih! Ketemu cewek gila gue." Cakra menatap Angga yang datang dengan tiba-tiba.
"Loh, Tari?"
"Pak Angga?"
Dua orang yang sama-sama terkejut melihat keberadaan satu sama lain. Tak terkecuali Cakra yang bergantian melirik antara Tari dan Angga. "Kalian saling kenal?"
"Kamu kenal Tari juga? Dia ini karyawan senior di kantor, dan jadi manajer marketing kita yang baru," jelas Angga yang kemudian tersenyum bangga memperkenalkan Tari.
"Pak Angga, kenal dia?" tuding Tari pada Cakra yang menatapnya seolah menilai.
"Oh, dia ini adik saya satu-satunya, Tari. Memang dia nggak pernah datang ke kantor, harusnya dia bantuin saya tapi malah keluyuran kemana-mana."
Tari nyaris membuka mulut saking terkejutnya. Pria menyebalkan ini adik Pak Angga? Atasannya di kantor? Kebetulan macam apa ini?
"Kok saya nggak tau kalau kalian udah saling kenal."
"Siap bilang gue kenal dia? Kebetulan tau aja tadi," jawab Cakra tak acuh.
Jangan tanya bagaimana ekspresi Tari sekarang, tentu ia tak menyangka pria yang dia omeli barusan adalah adik bosnya. Ia menunduk dan tak berani meantap pada Cakra ataupun Angga.
"Kamu sedang apa di sini, Tari? Siapa yang sakit?" tanya Angga yang menyadari adanya kecanggungan di antara dua orang di hadapannya itu.
"Oh, Nenek saya yang sakit, Pak. Ini sedang nunggu gantian jaga sama Mama."
"Semoga lekas sembuh, Nenek kamu, Tar. Salam sama keluarga juga. Maaf, tapi saya buru-buru jadi tidak bisa mampir jenguk," ucap Angga meminta maaf merasa tak enak pada Tari.
"Nggak apa-apa kok, Pak. Terima kasih doanya, nanti saya sampaikan salamnya." Tari mengangguk sambil tersenyum menghormati Angga. Meski di luar kantor, tetapi orang inilah yang memberinya gaji setiap bulan.
Angga tersenyum lalu beralih menatap Cakra. "Kamu cepetan naik dan temenin Manda. Kalau ada apa-apa, cepetan kabarin aku. Bayinya masih di ruang bayi, nanti kamu bawa ke ruangan Manda kalo udah jam menyusui."
"Lo yang punya istri dan anak, kenapa gue yang repot sih, Angga?" protes Cakra sudah kembali dengan sikap menyebalkannya.
"Ya karena kamu adik paling berbakti, kan? Siapa lagi yang bisa ngurus Manda kalo bukan kamu? Nggak mungkin kan aku nyuruh Ibu?" jawab Angga tersenyum namun terasa menyeramkan dan mengintimidasi.
"Lo kakak sialan emang."
Mendengar pembicaran kakak beradik ini membuat Tari merasakan sesuatu yang janggal. "Maaf, Pak Angga istrinya melahirkan?"
Angga kembali menatap Tari masih dengan senyumnya yang lebih ramah. "Iya, Tar. Kemarin istri saya lahiran pas saya meeting di Bandung. Untung Cakra sigap bawa Manda ke Rumah sakit, jadi istri saya lahiran dengan selamat meski tanpa saya," jelasnya kali ini sambil merangkul Cakra sementara yang dirangkul mendengus bosan.
"O-oh! Yang melahirkan istri Pak Angga?"
"Iya, Bukannya kamu pernah ketemu istri saya, ya?"
"Bu Amandalia?"
"Iya, kalau di rumah dipanggil Manda. Dan kamu tau sendiri saya sering lembur karena banyaknya kerjaan di kantor. Jadi, selama saya nggak ada, biasanya saya minta Cakra yang jagain Manda."
Sekali lagi, Tari menutup mulutnya mendengar penjelasan Angga. Hal yang sama sekali tak terduga seperti halnya hubungan saudara dua pria di hadapannya ini. Parahnya, baru beberapa saat lalu ia mengomeli adik bosnya tentang perselingkuhan yang ternyata adalah kesalahan terbesarnya. Karena wanita yang ia pikir istri pria bernama Cakra itu ternyata adalah istri bosnya.
Mati lo, Tar! Mulut sama pikiran lo sembarangan banget nuduh orang!
.
.
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top