Bab 1. Perayaan
Boleh banget vote dan komen.
Biar authornya semangat nulisnya.
Happy reading! 💕
.
.
.
Riuh sorak dan tepuk tangan terdengar dari lantai atas restoran yang berada di tengah kota tepatnya di wilayah gedung perkantoran itu. Kejutan yang berhasil, begitulah suasana yang terasa malam itu. Tampak delapan orang yang tengah tertawa dan bicara dengan suara menggebu senang merayakan hal baik yang terjadi di antara mereka.
"Sekali lagi, selamat ya, Tari! Akhirnya, lo naik juga jadi kepala divisi!"
"Kita semua bangga sama lo!"
"Bener! Gue saking senengnya sampe bingung mau ngomong apa, yang jelas lo lebih baik dari Pak Jonathan!"
"Welcome, era Bu Tari yang baru!"
Teriakan penuh semangat itu terus terdengar, sesekali diiringi dentingan gelas juga tawa canda. Sementara sosok yang menjadi tokoh utama dalam perayaan itu hanya tersenyum lebar, tidak membiarkan dirinya larut dalam euforia yang diciptakan oleh teman-temannya. Fokusnya terbagi sejak siang tadi, namun ia tidak ingin merusak perayaan yang dibuat untuknya itu.
"Tari, diem aja dari tadi. Kenapa, sih? Ini perayaan buat kamu loh."
"Sejak kapan Tari bisa jingkrak-jingkrak heboh kayak lo semua? Harus kalem dong, iya kan, Bu Kepala?" goda Ardan, salah satu temannya.
"Iya juga, sih. Tari kalem, makanya cocok jadi ibu kepala kita yang baru. Tapi, lo minimal ikutan heboh dikit gitu loh, Tari." Nadia yang duduk di sebelah Tari menatap temannya itu lalu mencubit pipi Tari sampai si empunya mengaduh.
"Gue seneng kok, gue juga bahagia bisa merayakan ini sama kalian semua," Tari meringis sambil menggosok pipinya yang nyeri akibat ulah Nadia. "Mungkin energi gue agak menyusut nih," kilahnya sambil meraih sepotong cake dan menggigitnya agar tampak mengisi energi kembali
"Tenang Tari, nggak usah pusing dengan tanggung jawab baru lo. Kita semua pasti akan bantuin lo, kok. Iya, kan?" ucap Dion yang diangguki dan disetujui oleh yang lain dengan teriakan semangat. Membuat tari mau tak mau tersenyum lebar. Sungguh, dia begitu beruntung memiliki teman dan tim yang solid seperti mereka.
Tetapi ada satu hal yang membuatnya tak bisa sepenuhnya menikmati acara ini. Sejak siang tadi, Revan, kekasihnya, tidak bisa dihubungi. Pesannya bahkan tidak dibaca, begitupun panggilannya yang tidak tersambung.
"Gue ke toilet dulu, ya," pamitnya pada teman-temannya. Ia merasa tidak tenang, ia harus memastikan sekali lagi keberadaan Revan.
Mengambil ponsel dalam sakunya, Tari langsung menghubungi kontak Revan. Satu deringan, dua deringan, hingga dering kelima, kekasihnya itu tidak menjawab panggilannya. Tampak jelas raut khawatirnya pada pantulan kaca dinding toilet di hadapannya. Revan tidak pernah seperti ini sebelumnya.
"Tari, lo nggak apa-apa, kan?" suara nadia yang baru masuk dengan khawatir.
"Gue nggak apa-apa Nad, cuma, gue agak kepikiran karena seharian ini Revan nggak bisa dihubungi. Nggak biasanya dia begini," ucapnya putus asa menatap Nadia, yang kemudian mendekat dan mengusap lengannya.
"Dia nggak pamit atau bilang sesuatu sebelumnya?"
"Nggak, tadi pagi cuma bilang nggak bisa nganter ke kantor kayak biasanya, karena dia mau ada acara di luar sama temen kantornya."
"Nggak ada temennya yang bisa lo hubungi buat tanya?"
Tari menggeleng pelan. Ya, ia tidak banyak mengenal teman kantor Revan. Lebih banyak Revan yang kenal teman-temannya.
"Tungguin aja, jangan negatif thinking. Pacar lo pasti baik-baik aja." Nadia menepuk-nepuk pelan bahu Tari untuk menenangkannya.
"Thanks, ya, Nad. Sorry, gue bikin suasana perayaannya jadi nggak enak. Padahal kalian udah nyiapin semuanya buat gue."
"It's okay, gue ngerti kok. Kita seneng bisa merayakan lo seperti ini."
Keduanya memutuskan segera kembali ke tempat teman-teman mereka tadi. Tidak enak jika pergi terlalu lama, Tari pun berusaha menyisihkan rasa khawatirnya dan menikmati momen yang dibuat untuknya itu. Teman-temannya terlalu berharga untuk diabaikan begitu saja.
***
"Kamu dari mana aja seharian? Nggak ada ngabarin aku sama sekali." Tari langsung memberondong pertanyaan saat Revan menghubunginya begitu ia sampai di rumah.
'Maaf, Sayang. Tadi aku sama anak-anak langsung ke lokasi klien yang ternyata jauh dari kota. Sinyal di sana nggak bagus.' Terdengar suara kalem Revan yang berusaha menjelaskan situasinya pada Tari.
Tari mengambil earphone nirkabelnya dan memasangnya agar tersambung dengan panggilannya. Ia mengganti pakaiannya lalu membersihkan make up nya masih dengan wajah cemberut, padahal Revan tak bisa melihatnya.
"Aku khawatir tau nggak? Seharian kamu ngilang, takut kamu kenapa-kenapa, Van."
'Iya, maaf. Aku salah tadi, maaf udah bikin kamu khawatir. Jangan marah, ya?'
"Udah marah dari tadi."
'Apa yang harus aku lakuin biar kamu udahan marahnya, hm?'
Tari menghela pendek, meletakkan kapas kotornya, lalu menatap pantulan dirinya di cermin.
"Hari ini harusnya aku dirayain sama kamu. Tapi kamunya nggak ada."
'Dirayain? Ada apa?'
"Aku naik jabatan jadi kepala divisi marketing, gantiin pak Jonathan."
'Eh? Beneran, Sayang?'
"Iya, ngapain bohong sama kamu? Nggak ada untungnya."
Terdengar tawa pelan dari seberang telepon. Membuat Tari semakin mengerucutkan bibirnya karena kesal.
'Galaknya, yang baru naik jabatan. Selamat ya, Sayang. Salah satu impian kamu udah terpenuhi. Aku bangga sama kamu.'
Bukan gombalan meski rasanya terdengar manis di telinga Tari. Revan selalu bisa menenangkan dirinya dengan kalimat lembutnya. Suara tenang yang selalu berhasil meluluhkan Tari.
"Iya, makasih, Van. Tuh, kan, aku nggak bisa lama-lama marah ke kamu."
Suara tawa Revan kembali terdengar di ujung sana. 'Jadi, mau dirayain apa sebagai gantinya?'
"Spend your day with me, besok weekend. Kita jalan, yuk!" ajak Tari yang sudah membayangkan ingin mengajak Revan pergi seharian.
'Mau keliling nyari WO nggak? Aku buat anggap ini sebagai hadiah dariku buat kamu.'
"Kamu serius?"
'Iya, kalau kamu mau. Kita juga udah pernah bicarakan ini sama orang rumah, kan?' Senyuman bahagia tentu langsung mengembang di bibir Tari mendengar ajakan Revan.
Bagaimana tidak, sudah tiga tahun ini mereka menjalin hubungan dan baru enam bulan lalu Revan melamarnya secara resmi. "Van, aku nggak bisa ngomong apa-apa lagi selain makasih dan I love you." Terdapat getar dalam suara Tari, rasa haru menyeruak dalam dadanya.
'Iya, aku juga sayang kamu, lebih dari yang kamu tahu.'
Tari mengangguk, rasanya tak ada hal yang lebih membahagiakan dari hari ini. Karirnya diakui dan naik satu tingkat lebih tinggi. Begitupun hubungannya dengan Revan yang menuju ke arah yang lebih serius. Bagi Tari, ini adalah hal impiannya sejak dulu. Mencapai target tinggi dalam karir dan cintanya.
'Ya udah, kamu istirahat deh. Besok aku jemput jam 9, ya.'
Memutuskan sambungan teleponnya, Tari kemudian merebahkan dirinya ke tempat tidur. Harinya melelahkan, mengkhawatirkan Revan seharian namun berujung mendapatkan hal yang luar biasa membahagiakan. Ya, hari ini bisa disebut perayaan, untuk dirinya.
Seperti tersadar akan sesuatu, dia kembali meraih ponselnya lalu mencari kontak Nadia di sana. Sahabatnya itu sejak tadi mengiriminya pesan dan menanyakan keadaannya. Paling tidak, ia harus membagi kabar bahagia ini dengan Nadia juga.
'Tari, lo nggak balas pesan gue, ya.'
'Gimana sama Revan? Udah dapet kabar?'
'Jangan panik dan tungguin aja seperti yang gue bilang tadi ya. Kalau ada apa-apa lo bisa langsung ngomong sama gue.'
itulah pesan-pesan Nadia yang masuk ke ponsel Tari. Mengulum senyum, Tari mulai mengetikkan balasan untuk Nadia.
Gue nggak apa-apa, Nad. Thanks udah khawatir.
Revan juga udah ngasih kabar. Sinyal jelek di lokasi kliennya.
Nad, kayaknya abis ini lo bakal jadi bridemaid, deh.
Senyuman tak luput dari bibir Tari setelah dia mengirim balasan pada shabatnya itu. Jika mereka sedang bersama sekarang, Nadia pasti sudah heboh sendiri, dan itu terlihat begitu di detik selanjutnya, rentetan pesan kembali masuk ponsel tari dari Nadia
.
.
.
Bersambung.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top