Library of My Mind

Bukankah kalian memiliki kesempatan dengan 
keluarga kalian sendiri?

🎼🎼🎼

 “Coba lo nyanyi sekarang!” kata Rhiana masih menatapku.

Tatapan Rhiana justru membuatku merasa perlu membuktikan diri. Bukan tatapan yang menuntut, tapi seperti memberikan sebuah kesempatan.

Aku menarik napas panjang. Lalu melangkah mendekati mereka. Randhi terlihat bersemangat sambil terus tersenyum lebar. Kupejamkan mata.

Aku teringat satu lagu. Sebuah lagu yang yang entah bagaimana itu menunjukkan diriku sekarang.

Perlahan suara mengalun dari bibirku. Dengan mata terpejam, aku terus melantunkan lagu dari Stars and Rabbit yang berjudul Library of My Mind.  Salah satu lagu favoritku.

Aku terus bernyanyi tanpa membuka mata. Setiap suara yang keluar seakan membawa semua emosiku. Sampai akhirnya aku sampai di lirik akhir lagu.

Begitu aku membuka mata, baru kusadari mereka berdua mengiringi nyanyianku. Randhi dan Rhiana tersenyum bangga melihatku yang menatap mereka sambil kebingungan.

“Lihat! Insting gue nggak mungkin salah!” seru Randhi. Awalnya kupikir dia berseru padaku, tapi ternyata pada Rhiana yang duduk di depan keyboard.

“Iya, deh. Gue ngaku lo emang hebat.”

Randhi berkacak pinggang dengan bangga mendengar pujian dari saudarinya itu. Laki-laki itu menghampiriku dan langsung meraih tangan kananku. Dia menjabat tanganku dan berujar, “Selamat. Lo resmi diterima jadi vokalis band kami.”

Aku sontak melepas tangan Randhi dan mundur satu langkah. Randhi yang tidak siap dengan reaksiku langsung terkejut. Dia ikutan mundur satu langkah.

“Eh, gue salah omong?” laki-laki celingukan. Dia bolak-balik menatapku dan saudarinya.

Aku menggeleng. “Bukan. Bukan. Saya cuma kaget dengar kamu bilang saya jadi vokalis.”

“Emang kenapa? Gue serius.”

“Masalahnya saya nggak berminat jadi vokalis.”

“Kenapa?” tanya Rhiana mendekati kami. Dia menatapku lekat.

“Ya, nggak kenapa-kenapa. Saya bernyanyi hanya untuk mengisi waktu luang.”

“Seberapa sering lo nyanyi?” tanya Rhiana tiba-tiba.

Aku diam. Merasa aneh dengan pertanyaan si peringkat satu itu. “Tidak setiap hari. Hanya ketika waktu luang.”

“Nggak usah bohong. Gue udah jadi penghuni ruang musik ini selama satu tahun. Lo tiap hari datang ke sini. Selalu di jam istirahat kedua.” Randhi menyanggah penyataanku. Dia ikut-ikutan menatapku.

Aku menyilangkan kedua tanganku dan menatap kedua saudara itu. “Sayangnya karena Sabtu dan Minggu libur, itu tidak bisa dihitung setiap hari.”

Randhi berusaha menyanggah, tapi mulutnya hanya bisa menganga. Tidak ada suara yang keluar dari mulutnya. Aku hanya bisa tertawa kecil melihatnya.

Rhiana yang melihatnya hanya menundukkan kepala. Dia memijit pelipisnya. Aku yakin dia malu dengan tingkah kakaknya ini.

“Biar gue aja yang ngomong ya, Kakak!” Rhiana menepuk pundak Randhi. Dia menghampiriku yang masih bersedekap. 

“Kenapa lo nggak mau jadi vokalis?”

Aku mengembuskan napas pendek. “Buat apa jadi vokalis dari sebuah band?”

“Supaya lo bisa bebas nyanyi tanpa harus sembunyi-sembunyi lagi.”

“Saya nggak sembunyi-sembunyi,” elakku cepat. Entah kenapa pernyataan itu sedikit menohokku. Kuakui itu memang berbohong.

Rhiana tersenyum menyeringai. “Tapi lo cuma nyanyi di sini. Di ruang musik ini. Dan hanya di jam istirahat kedua. Itu bukan sembunyi-sembunyi?”

“Saya udah bilang, itu cuma untuk menghabiskan waktu,” tegasku sambil menatap mata Rhiana tanpa ragu. Meski hatiku sejujurnya mengakui pernyataan perempuan ini.

“Lo tahu, kan, kalo suara lo itu bagus?”

Aku mengalihkan pandanganku. Pertanyaannya justru mengingatkanku pada salah satu kakak sepupuku. Mbak Zana. Dia adalah pengecualian di antara seluruh keluarga Tranggana yang tidak mengetahui masalah menyanyiku.

Saat itu Mbak Zana berkomentar, “Suara kamu bagus, Dek. Sayang banget kalau nggak disalurkan.”

“Suara saya biasa aja.Lagipula saya sama semakil tidak memiliki dasar-dasar ilmu bernyanyi.” Kembali kulontarkan alasan untuk menolak tawaran dari mereka berdua.

It’s bullshit. Gue nggak percaya soal ilmu dasar nyanyi. Suara yang gue cari adalah suara yang memang dari hati.” Rhandi menjawab sanggahanku.

“Lo nggak percaya diri.”

Aku mendengkus. Apa yang diucapkan Rhiana adalah pernyataan. Bukan pertanyaan. “Keluargaku cukup untuk membuatku percaya diri.”

“Tapi pernah nggak, lo coba untuk tampil tanpa membawa nama keluarga?”

Aku membuka mulutku, tapi tidak ada suara yang keluar. Ekspresiku saat ini tidak jauh berbeda dengan Randhi. Laki-laki itu bahkan menaik-naikkan alisnya. Dan itu terlihat menjengkelkan. Mereka menanti jawabanku. Tapi aku tidak mau harus kalah berdebat dari duo Anggara.

“Bagaimana dengan kalian sendiri?”

“Apa maksud lo?” tanya Randhi setelah saling pandang degna Rhiana.

“Kalian berdua adalah anak dari pasangan komposer dan diva. Darius Anggara dan Vivian Minerva. Kenapa kalian harus bikin band segala. Kalian bahkan bisa jadi selebritis yang sesungguhnya.”

Kali ini gantian Randhi yang mendengkus. “Gue sama adek gue yang pintar ini, mau bikin band untuk ikutan kompetisi Yamara. Lo tahu?”

Mendengar nama Yamara membuatku langsung teringat dengan pengumuman pertama di pagi hari. Aku menatap si kembar heran.

“Kalian? Ikut kompetisi?”

Keduanya mengagguk bersamaan.

“Tapi, bukankah kalian seharusnya ….” Aku tidak bisa melanjutkan kalimatku.

Baik Randhi mapun Rhiana masih menatapku. Mereka menungguku selesai berbicara.

“Apakah kedua orangtua kalian tahu, hal ini?”

“Apa hubungannya pertanyaan lo sama kondisi kita sekarang?”

“Dengar. Orang tua kalian adalah mereka yang … bisa dibilang menguasai industri musik. Kenapa kalian harus ikut kompetisi itu?”

Sekali lagi aku menatap kedua kembar itu. “Bukankah kalian bisa tinggal membuat album sendiri, tanpa harus ikut kompetisi segala?”

🎶14.10.21🎶

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top