Bungsu Tranggana
Kasta terbaik adalah mereka yang akan selalu menjadi santapan dari kasta di bawahnya
🎼🎼🎼
Satya Bangsa School. Merupakan sebuah sekolah swasta yang berdiri di atas tanah dengan luas lima hektar. Memiliki dua gedung utama, lima gedung pendamping, dengan lapangan olahraga berstandar olimpiade. Para siswa selalu menyingkatnya menjadi SBS.
Tidak seperti kebanyakan sekolah swasta lainnya yang terkadang menampung beberapa tingkatan sekolah dalam satu area, SBS hanya memiliki Sekolah Menengah Atas.
Itulah salah satu alasan Mami memasukkanku ke sekolah ini. Sebuah nilai eksklusivitas. Ditambah siswa-siswa di sekolah ini juga memiliki privilage tersendiri. Ada empat kasta tidak tertulis tentang status para siswa di SBS.
Kasta pertama adalah mereka yang orangtuanya memiliki kerajaan bisnis. Contoh nyatanya adalah keluargaku, Keluarga Tranggana.
Kasta kedua adalah para siswa yang orangtuanya bekerja sebagai pejabat tinggi. Gubernur, menteri, dan presiden.
Kasta ketiga adalah mereka yang merupakan keturunan para publik figur entertainment.
Kasta keempat adalah kasta tak terlihat. Mereka yang masuk ke golongan ini adalah yang masuk SBS melalui jalur beasiswa dari para donatur, anak dari pekerja SBS, dan anak para simpanan.
“Sudah sampai, Non.”
Perkataan Pak Ahmad menyadarkan lamunanku. Aku melihat keluar jendela mobil, gedung Satya Bangsa School menjulang megah di kejauhan.
“Terima kasih, Pak Ahmad,” ujarku sambil membuka pintu dan melangkah keluar dari mobil.
Rolls Royce yang dikendarai Pak Ahmad segera menjauh begitu pintu kututup. Segera kulangkahkan kaki karena mobil berikutnya yang mengantre di belakang mobilku tadi pasti akan segera menurunkan siswa lainnya. Entah dari kasta keberapa.
Berbicara soal kasta. Sudah tentu aku masuk dalam kategori kasta pertama. Seorang Gistara Aida Tranggana tidak mungkin masuk kasta di bawah pertama.
Sementara Mami memilih sekolah ini karena eksklusivitasnya. Aku menyukai sekolah ini karena … tidak akan ada yang berani menggangguku.
Sudah cukup selama sekolah menengah pertama, aku merasakan ketidaknyamanan bersekolah. Aku terpaksa harus menjalani pendidikan menengah pertamaku di sekolah negeri. Demi citra merakyat yang diusung oleh Papi. Setidaknya keturunan Tranggana harus tahu seperti apa sekolah negeri itu.
Dan itu menyiksaku.
Entah berapa banyak orang yang awalnya sangat manis di depanku lalu menjadi sampah memuakkan yang membicarakan diriku di belakang.
Yap. Benar-benar di belakang. Mereka tidak bisa mengejarku yang putri dari seorang Utama Tranggana dan Sekar Wijaya.
🎶🎵🎶
“Hei, bukannya itu kakaknya?”
“Loh, bukannya sepupunya?”
“Itu kakaknya!”
“Kakaknya Gistara kayak gitu?”
“….”
Aku masih berdiri di depan pintu ketika semua obrolan itu terdengar. Pintu kelas padahal tertutup, tapi suara mereka yang membicarakan keluargaku pasti akan selalu sampai ke telingaku.
Segera kusumpal telinga dengan penyuara telinga. Aku tetap harus bisa bersikap santai tanpa memperlihatkan emosi. Seperti yang kuduga, begitu kubuka pintu dengan menggesernya semua suara itu menghilang. Yang ada mereka yang berkerumun di barisan kursi belakang kini menatapku dengan ngeri.
Kuabaikan semua tatapan itu. Satu semester bersama semua orang ini membuatku hapal bahwa para pemilik suara sebelumnya masuk dalam kategori kasta kedua dan ketiga.
Kasta pertama tidak memiliki waktu untuk sekedar duduk menghabiskan waktu dengan bergosip. Sementara kasta keempat tidak memiliki kesempatan untuk melakukannya.
“Gis,” panggil salah seorang di antara mereka. Kuabaikan panggilan itu. Aku tetap berlagak mendengarkan sesuatu dari penyuara telinga.
“Tuh, kan! Dia nggak nengok loh!”
“Lo yakin, dia nggak denger?”
“Itu kan di telinganya ada earphone.”
“Siapa tau itu nggak ada suaranya.”
Senyum tersungging di wajahku. Posisi tempat dudukku yang ada di barisan depan justru memudahkanku untuk bisa menilai mereka semua.
Sebuah tepukan di bahu membuatku mendongak dan menoleh. Ketua kelas tersenyum jahil.
“Gue mau lihat catatan Matematika lo, dong.”
Suara itu terdengar jelas, tapi demi sandiwara akhirnya aku melepas penyuara telinga dan bertanya, “Apa?”
“Gue mau lihat catatan Matematika lo.”
“Oh.” Aku membuka tas sebentar lalu kembali mendongak. “Sorry, kayaknya gue nggak bawa.”
Aku kembali bersandar dan menyumpalkan penyuara telinga. Kali ini bukan sekedar pura-pura. Kuputar salah satu lagu di playlist-ku.
Pertanyaan basa-basi itu hanya sekedar untuk mengetesku. Apakah aku benar-benar tidak mendengar bagaimana mereka menggosipkan kakak keduaku.
Kejadian di malam ulang tahun Eyang Putri akan jadi malam yang tidak terlupakan buat Mami dan Papi. Ralat. Kutambahkan akan menjadi malam yang tidak terlupakan untukku juga.
Berita soal Mbak Rara dengan si selebgram nggak jelas itu jadi satu hal yang membuat keseharianku di sekolah jadi hal yang paling memuakkan. Sekarang semua orang menatapku dengan sorot mata kasihan. Seolah-olah kejadian Mbak Rara itu aib yang sangat memalukan.
Usahaku untuk menjadi siswi yang tidak tersentuh jadi sia-sia. Mereka semua menjadikan viralnya berita Mbak Rara sebagai sarana untuk mendekatiku.
Si Ketua Kelas yang juga anak dari aktor layar perak itu kuyakin sedang menghampiri para penghuni bangku belakang dan memastikan bahwa aku tidak mendengar apa yang sudah mereka bicarakan tepat sebelum aku masuk tadi.
Belum sempat kutekan tombol play, tanganku tertahan.
“Bagus deh kalau dia nggak denger. Kita jadi bisa lanjut gosip.”
“Ganti topiklah!”
“Ngapain ganti topik. Berita soal keluarga Tranggana ini kan jarang banget. Pinter banget tuh selebgram, bisa pansos gratis.”
Aku menarik napas panjang dan kubatalkan untuk memutar lagu. Aku bangkit dan beranjak meninggalkan kelas. Hanya ada satu tujuanku sekarang. Ruang Musik di gedung kesenian.
🎼03-10-21🎼
Baiklah, Gistara memulai kisahnya.
Sebagai bungsu yang masih sekolah, gimana keseharian Gistara?
Kira-kira ada apa di ruang musik?
Oh, iya mengingatkan. Gistara bakal menemani kalian di tanggal genap. Jangan lupa, ya...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top