M E L A T I 9
Aku sudah menceritakan soal jadwal trainingku ke Banjarmasin pada Saras. Aku memintanya menginap di rumah Mama saja besok malam bersama Adrian. Saras pun setuju saja. Katanya dia juga kangen mertua.
"Agak jauh sih kamu berangkat kerja kalau dari rumah Mama, Yang," kataku saat Saras menyiapkan pakaianku ke ransel serta pakaiannya sendiri dan Adrian ke tas selempang besar.
"Enggak apa, cuma sehari ini kok. Nanti pagi-pagi sebelum berangkat kerja aku siapin lagi tas-tas yang bisa kamu bawa pulang lagi ke sini deh." Tangan Saras tampak cekatan menyiapkan segala sesuatunya.
"Oke, besok semua itu kubawa sekalian nganter Adrian ke rumah Mama," ucapku seraya tiarap di ujung kasur menatap wajah serius Saras yang lesehan di lantai depan lemari pakaian.
"Gimana harimu hari ini, Yang?" tanyaku seraya menggawil dagu Saras.
"Biasa aja, aku cuma jaga jarak sama Bu Jumi." Saras mengetuk-ngetukkan jemarinya di lantai sambil menggigit bibir bawahnya. "Salah enggak sikapku, Yang?"
"Udah bener kok. Aku lebih suka kamu menjaga jarak dari orang-orang bermulut toxic macam beliau itu. Ingat, kamu cukup datang, kerja, dan pulang. Enggak usah mikirin omongan orang, cukup pikirin aku saja pasti bakal menuhin kepalamu, Yang." Aku mulai sok bijak.
"Pede banget sih," sindir Saras, ia menyentil ujung hidungku.
"Bukannya wajar ya seorang istri mikirin suaminya?"
"Iya, Sayang. Aku selalu mikirin kamu kok. Cuman enggak harus kuutarakan tiap saat juga kan? Aku punya malu lah."
Malu? Saras bilang malu? Tapi, kok si Melati enggak ada malunya blak-blakan banget malah. Apa rasa malu Saras ini yang membuatku merasa nyaman dan aman berada di dekatnya. Sementara sama Melati yang enggak ada malunya itu jadi ngerasa mau pindah ke belahan dunia lain saja. Ah, kenapa aku membandingkan mereka?
"Kok senyum-senyum sendiri?" tanya Saras.
"Besok malam kan aku tidur sendiri nih, Yang. Kamu enggak mau minta apa gitu?"
"Minta duit? Mau dong!" Saras justru menadahkan tangannya padaku. Matanya mengedip-ngedip, mirip orang cacingan.
"Astaga!" Kubenamkan wajahku ke bantal. Sungguh aku ingin istriku sedikit nakal. Masa aku terus yang minta? Masa aku terus yang memulai?
Saras mencolek-colek punggungku. "Yang, mana duitnya?"
"Tuh di dompet, ambil sendiri aja," ujarku menunjuk ransel yang kugantungkan di hanger.
"Yeee ... minta dua lembar ya, Yang," ujar Saras. "Masih ada selembar kusisain."
Ya ampun, benar-benar istriku ini. Apa dia enggak paham aku minta jatah buat si dedek dalam celana? Rasa kecewa yang terbit membuatku memutuskan untuk tidur saja.
Paginya, aku terbangun karena mencium aroma sedap dari dapur. Rupanya Saras sedang menciptakan karyanya. Kulirik jam di nakas masih menunjukkan pukul lima pagi. Lantunan ayat suci Al-Qur'an mulai terdengar dari surau terdekat. Sementara Adrian masih tidur dengan pulas di tempatnya.
Aku pun beranjak ke dapur walau hanya mengenakan boxer. Denting peralatan dapur saling beradu menciptakan nada harmoni khas seorang Saras. Dari pintu dapur kulihat Saras yang masih menggunakan dress tidur selutut bertali satu warna hijau dengan rambut dicepol ke atas sibuk dengan wajan dan sutil.
Kudekati Saras sambil terus memerhatikan tubuhnya yang mulai gemoy dan masih seksi. Leher jenjang berkalung emas itu kukecup pelan.
Saras sedikit berjengit dan melirik sekilas ke arahku. "Ayang udah bangun? Apa aku terlalu berisik sampai kamu kebangun? Maaf ya."
Aku diam saja, hanya tanganku yang bergerak nakal di pinggang Saras. Kecupan demi kecupan kuberikan pada area pundak dan lehernya agar dia merasakan libido suaminya.
"Ah!" Sudah ada erangan dari Saras. "Kok ada yang menonjol, Yang?"
"Hemmm ...." Aku menunduk untuk melancarkan aksiku lebih turun ke bagian gunungnya.
Saras mematikan kompornya. Cukup sampai di situ saja kalian tahu, Kawan. Adegan dewasa berikutnya cukup aku dan Tuhan yang tahu. Jangan berharap aku akan menulis yang lebih ya, nanti kecewa. Hehe.
Pagi ini terasa menyenangkan bagiku, aku mendapatkan segala yang kubutuhkan. Walau si Adrian sedikit protes karena harus berpisah dua hari dan semalaman denganku, drama pengen ikut Papa, enggak mau ditinggal di rumah nenek, dan lain-lain, sampai akhirnya kujanjikan mainan baru deh anak itu mau tinggal di rumah Nenek.
"Janji ya, Pa." Adrian mengeluarkan kelingking kanannya.
Kusambut kelingking kecil itu dengan menautkannya pada kelingkingku. "Iya, Papa janji."
"Yaudah, Papa di jalan hati-hati ya, ingat anak Istli," pesan Adrian. Entah dari mana lagi dia belajar kalimat itu.
Aku pun berangkat kerja dengan ransel penuh pakaian dan laptop yang sudah disediakan Saras semalam. Meninggalkan Adrian dengan Mamaku yang sudah sejak tadi bersiap mengantar bocah itu sekolah.
"Cium dulu," pintaku pada Adrian.
Bocah itu mengecup kedua pipiku, memelukku, dan berkata, "Sayang banget, dua ribu dua ribu."
"Hah? Apanya yang dua ribu?"
"Sayang Adlian ke Papa, banyak kan?"
"Oh iya ya, Papa kira tukang parkir minta duit dua ribu," lirihku. "Ma, titip Adrian ya." Kucium tangan wanita yang telah melahirkanku itu.
"Iya, kamu hati-hati ya nanti, jaga hati juga." Si Mama ini udah kayak cenayang saja.
Aku pun pergi kerja meninggalkan lambaian pada Adrian dan Mama. Sebenarnya agak berat juga pisah sama zuriatku itu.
Pekerjaan hari ini pun terasa ringan, tanpa chat dari Melati. Kuharap dia enggak menggangguku lagi. Berpikir ia sedikit malu dengan kelakuannya kemarin.
Jam menunjukkan pukul empat sore. Rahman mendekatiku dan berkata, "Bos bilang, lu boleh pulang duluan mau ke Banjarmasin hari ini kan? Biar gue yang gantiin. O iya, ambil sendiri gih uang sakunya, kata Bos lu udah tau nominalnya."
Aku pun mengetikkan angka delapan ratus ribu di jurnal harian untuk ongkos trainingku satu hari. Mengambil uangnya dan berkata, "Lanjutin ya, Man. Udah gue hitung tadi enggak ada selisih hari ini."
"Siap! Hati-hati lu." Rahman sudah tenggelam dalam pekerjaanku.
Begitu aku melewati meja Cila, tangan janda itu menangkap jemariku. "Hati-hati, Bang." Ia sedikit meremas jemariku.
"Iya, makasih." Aku segera berlalu daripada nanti bukan hanya jemari yang diremasnya.
Di motor, aku sudah meletakkan ransel di depan agar bahuku aman. Merapatkan jaket. Memastikan helm aman. Sarung tangan aman. Tali sepatu sempurna. Maka, kutarik tuas gas perlahan membelah jalan Jenderal Sudirman.
Namun, yang seharian ini tiada justru mencegat motorku di depan pengadilan agama. Ya, Melati.
Kutekan tuas rem dan membuka kaca helm. "Ada apa, Mel?"
"Belok ke rumah sakit Hasan Basry itu, Bang." Tunjuk Melati ke rumah sakit yang hanya berjarak dua puluh meteran dari tempatku saat ini.
"Ada apa? Siapa yang sakit?" Aku masih kebingungan.
"Abang parkirin motor di sana, nanti aku nyusul." Ia pun membuka pintu kemudi mobil putih yang terparkir di pinggir jalan.
"Siapa yang sakit sih, Mel?" Aku masih terpaku di motorku.
"Nanti kita bicara, Abang parkir dulu motornya."
Akhirnya aku menurut saja, semoga bukan keluargaku yang sakit itu. Lagian, ini bukan rumah sakit tempat Saras bekerja, jadi enggak mungkin Saras yang sakit deh kayaknya. Lagian sebelum berangkat tadi aku video call dengannya, Saras masih baik-baik saja tuh. Apa mungkin keluarga jauh?
Daripada segala tanya memenuhi pikiranku. Maka kusegerakan mendekati mobil Melati yang menungguku di depan parkir motor, setelah sebelumnya meletakkan motor di parkiran itu dan memikul ranselku.
Melati membukakan pintu penumpang dari dalam. "Masuk, Bang!"
Aku menurut saja.
"Taruh tasnya di jok belakang aja, Bang," pinta Melati.
"Hah?"
"Kok bengong?" Melati mulai melajukan mobilnya. Berputar ke arah jalan Provinsi.
"Bukannya mau jenguk yang sakit?"
"Yang sakit itu hatiku, Bang," tuturnya tanpa dosa. Mobil pun sudah melaju cepat ke arah Banjarmasin.
"Maksudnya?"
"Aku cuma suruh Abang parkir motornya di rumah sakit, kuantar Abang ke Banjarmasin. Kalau naik mobil kan Abang bisa istirahat, tapi perjalanan masih lanjut," jelas Melati.
Astaga, Tuhan. Apa aku sebego itu?[]
Evans, 19/8/24
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top