M E L A T I 7
Sejak malam itu, ada saja alasan Melati untuk bicara denganku via Whatsapp. Aku pun mencuri-curi waktu untuk membalasnya. Bahkan gilanya lagi, aku memintanya untuk enggak menghubungiku di luar jam kerja, dan dia pun menurut saja. Sampai aku memintanya untuk enggak perlu menjajani Adrian lagi, karena bocah itu sudah mulai pandai membuat laporan pada mamanya pun, Melati enggak keberatan.
Dari obrolan-obrolan yang terjadi setiap hari, aku tahu bahwa Melati dan suaminya sudah lama berpisah lantaran Melati enggak kunjung memberi keturunan. Dan herannya aku, mereka berdua enggak pernah memeriksakan kesuburan. Mertua Melati pun ikut andil dalam perpisahan mereka. Soal foto pengantin yang masih ada di rumah Melati, itu karena Melati merasa enggak perlu melepasnya, toh mereka berpisah secara baik-baik. Dan ... rumah beserta klinik itu pun sebenarnya pemberian dari mantan suaminya.
Ternyata Melati orang yang asyik juga. Aku suka semua tingkahnya. Bagiku Melati bukan sosok wanita yang hanya mengandalkan kecantikan, tapi ia juga wanita yang cerdas. Salahnya tuh di aku. Aku sudah terlanjur terpincut dan terikat oleh seorang Saras. Dulu, aku berpikir enggak akan ada wanita lain sesempurna Saras, tapi sekarang? Nyatanya aku mengenal Melati lebih dalam juga.
Oh Tuhan, aku salah banyak. Bagaimana caranya bertaubat dari godaan yang terasa sungguh enak? Enak di mata dan di hati.
Sampai suatu hari, aku enggak menerima satu pun chat dari Melati. Ada rasa resah, gelisah, rindu, bercampur jadi satu. Membuat semangatku luntur untuk bekerja pagi ini. Namun, sekitar jam sepuluh pagi, bidadari yang meresahkan hatiku sejak tadi pun duduk di sofa ruang tunggu Dealer, tepat di hadapan counter kasir yang tersekat kaca bening.
Kondisi ini membuat jantungku ingin berlompatan dari tempatnya. Senyum manis itu terkembang ke arahku. Melati bahkan menangkupkan pipi ke telapak tangannya dengan siku bertopang di kaki yang disilangkan untuk memberi tatapan menggoda padaku.
Ya ampun, sepertinya aku harus ke dokter dan minta resep obat diabetes deh. Kurasa manisnya pemandangan ini membuat kadar gula dalam tubuhku meningkat.
Namun, sesuatu yang membagongkan terjadi. Lewatlah Yati di antara kami, sales sialan itu melongo di depan pintu kaca ruanganku menenteng sejumlah berkas. Ia menatapku dan Melati secara bergantian.
"Eh, Kak Melati," sapa Yati.
"Eh, Yati," balas Melati.
Yati pun duduk di samping Melati. Mereka cipika-cipiki. Oh Tuhan, kenapa mereka saling kenal? Sesempit inikah dunia?
Mereka pun terlibat obrolan yang terdengar seperti jenis-jenis produk kecantikan di telingaku. Sampai akhirnya Yati bertanya, "Kak Mel tadi ngapain pandang-pandangan sama Bang Fir'aun?"
Pengen kujitak kepala si Yati ini, seenak udel dia ganti namaku di depan Melati pula.
"Enggak apa, kok. Enak aja dipandangin, ganteng," jawab Melati dengan polosnya.
"Ah, Kak Mel enggak tau aja, casing doang oke, tuh orang kan nyebelin."
Melati terkekeh. "Nyebelin gimana?"
"Yeti, aku bisa mendengarmu!" seruku.
Yati menjulurkan lidahnya ke arahku. "Tuh kan ganti nama orang seenaknya."
"Kamu juga tadi sebut dia Fir'aun loh," bela Melati.
Yati memanyunkan bibirnya, karena kalah telak ucapan lembut Melati. "Ish, kok belain dia sih, Kak Mel. Jangan bilang Kak Mel suka sama Bang Fir?"
Beruntungnya aku, konsumen Yati segera menghampiriku untuk melakukan pembayaran. Jadi, mau enggak mau Yati harus menghampiriku untuk memberikan berkas penjualannya agar aku bisa menerima pembayaran konsumen dengan benar.
Saat aku mulai menghitung uang konsumen, Yati berkata lirih, "Jaga pandangan, Bang. Kalau enggak mau kulaporin pada Kak Saras."
"Maksudnya?" balasku masih fokus pada lembaran berwarna merah dan biru.
"Kak Melati itu owner Klinik Kecantikan dan udah janda, Abang jangan macam-macam deh. Ingat istri, anda tergoda sama janda, istri anda akan menjadi janda." Seenak itu mulutnya bicara di belakang punggungku.
Aku sengaja enggak menanggapi ocehan Yati. Enggak penting juga Yati tahu seberapa jauh aku mengenal Melati. Justru itu akan membahayakan Saras.
Kulirik Melati yang masih saja seenaknya memandangiku. Membuat fokusku sedikit ambyar. Kucoba terus melanjutkan hitunganku, tanpa mencoba melihat janda bohai itu.
"Siapa sih itu, Bang?" tanya Cila saat aku sudah selesai dengan konsumen Yati tadi.
"Kepo!" seru Rahman dari balik komputernya.
"Enggak ngajakin lu ngobrol ya, Man. Gue nanyain Bang Firdhan," ketus Cila.
"Yang mana?" tanyaku.
"Itu yang dari tadi mandangin kamu."
"Konsumen servis."
"Siapanya Abang?"
"Astaga, Cila!" celetuk Rahman. "Lu tuh udah ditolak ama Firdhan, jangan kepo dah mendingan. Julid amat."
"Gue sumpel mulut lu ya, Man!" ancam Cila.
"Auk ah, dah diingetin juga." Rahman berjalan ke mejaku karena emang sudah jamnya kami bertukar shift.
Kusimpan dulu uang di brankas sebelum mengetik pesan ke Melati.
Firdhan: [Abng mau makan siang ke warung Lamongan di sebelah Dealer, kalau mau ikut susul aja.]
Setelah itu kusimpan HP di kantong depan. Kubawa kotak bekalku ke pantry. Di sana sudah ada Hakim yang sibuk main HP. "Ini buat lu aja. Abisin!"
"Wah! Makasih, Fir. Kebetulan dah laper."
Kemudian aku segera ke luar Dealer dan menuju warung lamongan. Kupilih meja lesehan paling pojok.
"Tumben Masnya sendirian," sapa pemilik warung. "Biasanya sama yang kayak Cina tuh."
"Hakim ya, Bund?"
"Iya itu." Bunda menjentikkan jarinya. "Mau makan apa, Masnya?"
"Soto aja." Aku menatap lurus ke depan tatkala Melati memasuki warung. "Minumnya sirup, tapi jangan manis."
Melati dengan senyumnya duduk di sampingku, dekat dengan tembok warung. Tubuh mungilnya begitu pas di pojokan itu setelah sebelumnya melewati punggungku.
"Sirup kok enggak manis toh, Mas," protes Bunda.
"Karena udah ada yang manis di sini, Bund." Mataku enggak bisa lepas dari Melati.
Seketika Bunda warung mendorong pundakku. "Heleh! Gombalin anak orang toh? Mbaknya mau makan apa?"
"Samain aja," jawab Melati.
"Soto sama sirup tawar?" tegas Bunda.
Melati terkekeh. "Kalau aku minumnya jangan yang tawar deh, manis aja. Suka banget yang manis soalnya."
Setelah bunda warung berlalu, aku bertanya pada Melati, "Kok kamu bisa di sini?"
"Aku servis motor, Bang."
"Oh." Akhirnya aku bisa melepaskan pandangan dengan menatap lurus ke depan.
"Kok cuma 'oh'?"
"Ilang inspirasi."
Melati terbahak sambil menutup mulutnya dengan satu tangan. Sementara tangan satunya seenaknya menempel di pahaku. Tentu saja membuat darahku berdesir di area itu.
"Abang lucu, ih. Mana enggak bosan dipandang." Melati kini menopang pipinya dengan tangan yang sikunya bertumpu pada meja. Sementara tangan satunya mencolek daguku.
"Hati-hati, Mbaknya. Udah punya istri tuh." Bunda warung yang sibuk menyiapkan pesanan kami menimpali.
"Udah tau kok."
Bunda warung mengernyit. "Kok mau?"
"Terlanjur cinta." Ucapan Melati membuatku membelalak.
Aku harus apa?
Sepertinya ini salah, tapi kok nyaman?
"Hati-hati, Mbak nanti disambelin loh sama istrinya," Bunda warung mengingatkan.
"Mau dimutilasi juga aku rela kok, asal bisa sama dia walau sebentar saja."
Bunda warung hanya bisa geleng-geleng. "Mbak, kapan hari tuh ada satu wanita yang kerja di sini juga tuh malem-malem makan malam di sini sambil nangis-nangis, Bunda tanyain kenapa nangis? Katanya ditolak mentah-mentah sama Mas Firdhan ini setelah diberi harapan." Bunda meletakkan dua mangkok soto dan dua sirup merah.
"Terus aja jelekin, Bund. Mana tahu abis itu dia mau ngejauhin aku." Aku menyesap sirup yang benar-benar tawar. Sialan si Bunda, tapi aku enggak mungkin komplain.
"Aku sih enggak perlu dikasih harapan sama dia, Papa Comel ini diam aja aku udah pengen menyerahkan diri kok." Melati ngomong kayak gitu enggak ada filternya sama sekali kayaknya.[]
Evans, 17/8/24
Ini peringatan ketujuh tahun bokap masuk kubur. Sakit itu masih sama, Yah.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top