M E L A T I 5
Hati paling sensitif tuh ya hati wanita. Mereka kayak punya radar yang bisa menangkap signal tentang pasangannya. Lebih hebat dari jaringan signal telk***el. Tanpa buffering, tanpa pulsa, dan tanpa kuota. Oleh karena itu, aku takut banget kalau sampai Saras menggunakan radarnya untuk mendeteksi keberadaan Melati di hatiku.
Jadi, saat Saras menatapku penuh selidik. Aku pun enggak memalingkan pandangan darinya. Kubiarkan ia mencari informasinya sendiri lewat mataku, tapi kukosongkan pikiranku terlebih dahulu dari hal-hal yang ingin kututupi. Kuucapkan saja berkali-kali dua kata ajaib dalam hati, "Saras cantik, Saras cantik, Saras cantik!" Sambil mengembangkan senyum termanis, kuturun-naikkan alis, dan mata masih menatap ke arahnya.
Sepertinya usahaku enggak berkhianat pada hasil, buktinya Saras berdiri, mengecup pipiku, menyerahkan remot TV dan berkata, "Carikan kartun buat Adrian." Tangannya pun dengan cekatan membereskan tasku dan Adrian yang sejak tadi kuletakkan di lantai. Ia pun pergi ke kamar, mungkin meletakkan dua tas itu.
Untuk saat ini aku bisa bernafas lega. Ingat kawan, wanita itu makhluk pengungkit. Sekarang dia tampak percaya, belum tentu di lubuk hatinya. Lubuk hati wanita itu lebih dalam dari palung laut Cina Selatan. Enggak terukur.
"Eh, Bocil," panggilku pada Adrian yang sudah sibuk dengan papan tulis ajaibnya di depan TV.
"Jangan panggil Adlian Bocil, Pa." Bocah itu berkata datar tanpa mengalihkan fokusnya dari papan.
"Terus?"
"Boteng aja."
"Boteng?"
"Bocah Ganteng."
Sontak saja aku ngakak dibuatnya. "Bisa aja neh bocah." Semenjak masuk TK anakku ini makin pandai bicara, ada saja kosa kata baru yang dikuasainya tanpa kuajarkan. "Yaudah, Boteng suka enggak ini kartun?"
"Tlasfolmel ada, Pa?"
"Kayaknya di saluran ini, masih iklan nih. Mau nungguin kan?"
"Oke." Adrian serius banget sama papan tulis putih berbingkai jingga itu. Kalau di rumah neneknya pasti sibuk sama lego, di rumah sama papan tulis. Seru banget sih jadi Adrian, enggak ada beban. Main dan berkarya sesukanya.
"Papa mau temani Mama di dapur dulu ya," bisikku pada Adrian yang dijawabnya dengan anggukan.
Kudekati Saras yang sibuk di dapur. "Mau kopi, teh, atau susu, Yang?"
"Susu aja deh." Aku berdiri di samping Saras dengan menempelkan pantatku pada meja dapur.
"Tumben, biasanya kopi terus."
"Susu anti tumpah maksudnya." Lagi-lagi kunaik-turunkan alis untuk menggodanya.
Tiba-tiba Saras meletakkan punggung tangannya di dahiku. "Enggak demam," gumamnya.
Kukalungkan lengan kiri pada pinggang Saras. Lalu, kuletakkan dagu pada bahu kanannya. "Wangi banget." Kusapu lehernya dengan nafasku.
"Yang, apaan sih? Entar Adrian lihat loh." Saras berusaha menjauhkanku.
Kupasang tampang kecewa dengan memajukan bibir bawah beberapa senti. Kulangkahkan kaki gontai ke kursi di balik meja makan, agar ekspresi kecewaku lebih natural.
Segelas susu diletakkan Saras di hadapanku. "Ini susunya, Yang. Tahan dulu ya sampai Adrian tidur," bisiknya. Sebuah kecupan mendarat di sudut bibirku. Sebelum ia kembali disibukkan dengan sesi membereskan dapur.
Kulihat di gantungan baju ruang loundry sudah tersampir pakaian-pakaian baru di cuci. "Loh, kamu udah nyuci, Yang?"
"Udah, tadi aku pulang cepat. Coba buka deh lemari saji yang paling atas, aku udah bikinin cemilan buat kamu."
"Kok pulang cepat? Kamu sakit?" Kubuka lemari saji di bagian atas, benar saja ada sepiring kue cucur berwarna hijau.
"Iya, tadi pusing banget. Pas sudah pulang malah seger." Suara alat dapur berirama dengan gerakan tangan Saras yang lincah di wastafel.
"Sekarang apa yang sakit, Yang?" Aku mendekati Saras lagi, mau melihat ekspresinya sambil menjejalkan kue ke mulutku.
"Enggak ada, kayak tiba-tiba sehat kalau udah di rumah," jawabnya tanpa menoleh.
"Syukurlah, mungkin kamu hanya butuh pulang," balasku. "Kue bikinan kamu enak banget," pujiku lagi.
Saras melirik ke arahku. "Kan aku bikinnya pakai cinta."
"Ulululu ... kukira pakai tepung."
Kontan saja Saras memercikkan air keran ke arahku. Membuatku harus melipir lagi ke kursiku. "Kamu tuh ya, Yang enggak bisa banget aku berpuitis ria," gerutunya.
Aku terbahak puas.
Adrian masuk ke dapur menunjukkan hasil karyanya di papan tulis. "Liat deh, Pa."
"Makhluk apaan ini?" Aku menerima papan tulis Adrian seraya membimbingnya duduk ke pangkuanku.
"Titan speakel man."
"Speaker?" Aku mempertegas pendengaranku.
"Iya, speakel man." Adrian begitu bersemangat. "Lihat nih speakel di bahunya, Pa."
"Iya ya, punya kekuatan apa dia, Nak?" Saras duduk di sampingku sembari menyuapi Adrian agar-agar berwarna cokelat.
"Khekhuathan suala, Ma!" Adrian tampak sulit bicara gara-gara agar-agar yang memenuhi mulutnya.
"Transformernya udah mulai tuh, Nak," ujarku menunjuk ke arah TV yang ada di ruang keluarga.
"Adlian nonton dulu, aaah ...!" Turun dari pangkuanku.
"Eh, tunggu!" seru Saras. "Ini bawa agar-agarnya biar makan sambil nonton."
Adrian berbalik dan mengambil sepiring kecil agar-agar. "Makasih, Ma."
"Sama-sama, Boteng," balas Saras.
"Kamu nguping obrolan para lelaki ya?" selidikku sesaat setelah Adrian berlalu.
"Iya dong." Saras terkekeh. "Biar enggak ketinggalan info. Udah fisiknya ketiplek Papanya, masa hatinya milik Papa juga."
Aku enggak bisa berhenti nyemilin kue cucur karya Saras. "Kamu mau?" Kusodorkan satu kue padanya.
"Enggak."
"Kenapa?"
"Aku maunya HP kamu." Saras menadahkan tangannya.
Tuh kan, sudah kubilang wanita itu lebih dalam dari palung laut Cina selatan. Dia masih menaruh curiga ini. Maka, kusodorkan saja HP-ku yang sejak tadi menjadi penghuni kantong depan celanaku.
Saras menerimanya. "O iya, aku enggak suka kamu keluar rumah dengan celana ini, Yang."
"Kenapa?"
"Onoh!" Saras menunjuk ke arah selangkanganku dengan bibirnya. "Terlalu menonjol gara-gara celana ini."
"Ini cuma karena dekat kamu aja, makanya menonjol."
"Masa?" Tangan Saras tanpa ijin sudah mencengkram benda pusakaku. "Masih tidur tuh, emang bahan celananya bikin menonjol."
Aku meringis menahan ngilu di bijiku. Mau marah, ya dia istriku, benda ini kan memang miliknya.
"Aku enggak suka wanita lain membayangkan ukurannya saat bangun ya, Yang." Saras mulai mengutak-atik HP-ku.
"Mau transfer buat jajan, Yang?" tanyaku.
Saras menggeleng, wajahnya tampak serius melihat gawaiku.
"Transfer aja kalau uang yang kemarin enggak cukup, pin-nya 087799."
Saras masih menggeleng, lalu menyodorkan HP padaku. "Aku cuma cek komunikasi kamu aja."
"Lantas?" Aku masih asyik dengan kue cucur hijau.
"Enggak ada apa-apa sih, biasa aja."
"Oooh."
"Kamu enggak marah HP-nya diperiksa terus?" selidik Saras, alisnya bertaut.
"Enggak tuh," jawabku santai. Dalam hati aku sangat bersyukur sudah menghapus semua chat Melati. "Artinya aku disayang, dicintai, buktinya kamu takut kan aku dicolong orang?" Kusentil dagu Saras.
"Kamu enggak pernah cek HP aku loh."
"Males ah, aku enggak suka kalau kamu ngerasa aku membatasi kamu. Lagian, aku percaya sepenuhnya sama kamu."
"Jadi, kamu merasa kubatasi?"
Tuhan, kenapa istriku sesensitif ini?
"Enggak juga tuh. Kamu mau periksa apa juga aku enggak masalah apalagi cuma HP. Mau periksa yang lain enggak, Yang?" Kuletakkan HP di meja tepat di belakang punggung Saras sambil mendekat dan menatapnya lekat.
"Kamu tuh ya!" Saras mendorongku pelan.
Ting!
Sebuah notifikasi muncul di layar HP-ku:
Melati: [Anak comelku udah habisin susunya belum, Papa Comel?]
Aku segera membalik layar HP dan terus menggoda Saras dengan tangan satunya. "Kamu masih pusing?"
Saras menggeleng.
"Mana senyum penuh gulanya?" godaku.
Akhirnya Saras tersenyum. "Ayang, ih!" Dan dia pun bersandar di dadaku.[]
Evans, 15/8/24
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top