M E L A T I 4
"Papa pulang!!!" seruku mengagetkan Adrian yang sedang sibuk bermain lego di rumah Mamaku.
"Assalamualaikum, Pa!" tegur Adrian.
"Eh iya, Assalamualaikum, Anak Papa." Nyes banget rasanya ditegur anak sendiri perkara etika. Mama tersenyum miring ke arahku, tampak puas dengan ocehan Adrian.
"Waalaikum salam!" balas Adrian, ia pun berdiri dan memelukku. "Papa bau cewek." Bocah itu menutup hidungnya.
Mama mendekatiku seraya menyerahkan tas Adrian. "Sebaiknya kamu mandi dulu, baru pulang daripada nanti Saras yang mencium aroma parfum menyengat itu atau mau makan sekalian? Mama udah masak sayur asem kesukaanmu."
"Firdhan mandi aja, Ma." Aku berjongkok untuk menyejajarkan posisiku dengan Adrian. "Eh, anak ganteng, kamu main lego lagi aja ya, Papa mau mandi dulu."
"Oke! Banyakin sabunnya, Pa." Dengan wajah tanpa dosa anak itu kembali duduk di lantai membuat entah apa dari legonya.
Aku pun beranjak ke kamar mandi mama. Kunyalakan keran air secara penuh, berharap aroma parfum Cila segera hilang. Sepertinya si Cila kebanyakin nyemprot parfum deh kok ya bisa nular ke badanku, padahal tadi cuma sedikit bersentuhan dengannya.
Begitu keluar kamar mandi dengan handuk menutup bagian bawahku, kulihat mama sudah memasukkan seragam kerjaku ke mesin cuci.
"Loh, kalau itu dicuci Firdhan pulang pakai apa, Ma?"
"Kan ada pakaian kamu dalam lemari."
"Oh iya, tapi entar kan Saras jadi nanyain kok pulang pakaiannya beda."
"Bilang aja bajumu ketumpahan saos dan Mama yang cuci. Daripada mantu Mama mencium aroma parfum lonte," sindir Mama. Aku baru terpikirkan, aroma yang dihidu Adrian tadi berasal dari bajuku.
"Bukan ngelonte Firdhan ini, Ma," balasku sembari berlalu ke kamarku semasa lajang.
"Lalu?"
"Cuma teman kerja yang enggak sengaja kesentuh."
"Kesentuh apanya?"
"Anu ... emmmhhh ...." Aku bingung sendiri.
"Kesentuh doang masa nempel gini aromanya." Mama mulai curiga. "Jangan main-main lagi deh, Dhan. Mama capek sama cewek-cewek enggak jelas yang nyamperin Mama, apalagi sekarang kamu sudah punya Adrian."
"Firdhan enggak ada main lagi, Ma. Itu si janda gatel aja emang agak sengaja kayaknya nempel di punggungku tadi." Kuambil baju kaos oblong berwarna putih, celana cino pendek warna krem, dan daleman dari lemari.
Mama mengikutiku sampai kamar. "Tapi, perasaan Mama enggak enak loh. Kalau macam-macam lagi, Mama orang pertama yang akan mengebirimu, Dhan."
Astaga, mamaku emang agak psykopat. Dan si paling tahu anaknya takut kehilangan masa depan.
"Iya, Ma." Aku segera menyelesaikan sesi berpakaian biar mama enggak lagi merepet. Terkadang feeling seorang ibu emang lebih tokcer dari peramal.
"Papa, liat deh." Adrian menyambangiku ke kamar sambil membawa rangkaian legonya. "Adlian bikin Titan."
"Mana?" Aku berjongkok di hadapannya sembari mengeringkan rambut dengan handuk. "Wah ini Titan yang kepalanya TV ya?"
"Iya, Pa! Kekuatan lasel!!!" Adrian mengarahkan lego yang katanya Titan itu ke arahku.
"Aaakkkhhh ...!!!" Aku pura-pura jatuh ke lantai sembari memejamkan mata. "Papa mati."
"Ahahaha! Monstelnya tumbang!" seru Adrian. "Ayo monstel bangun! Nanti Mama nyaliin kita loh!" Ia menggoyang-goyangkan bahuku.
"Nek! Monstelnya benelan mati kah?" Suara anak itu tampak cemas.
"Kasih nyawa aja," jawab Mama.
"Calanya?"
"Cium pipinya."
Kurasakan Adrian berjongkok di dekat kepalaku dan sebuah ciuman kecilnya mendarat di pipiku. "Ayo monstel kita pulang."
Aku segera membuka mata. "Eh, Papa tadi kenapa?"
"Papa ditembak Titan, ayo pulang, Pa!"
Aku pun beranjak ke luar kamar, memanggul ranselku dan menyampirkan selempang tas Adrian di bahu sekaligus. Mengajak Adrian berpamitan dengan cara mencium tangan Mama.
"Hati-hati di jalan ya, dan kamu Firdhan, jangan macam-macam!" ancam mama.
"Iya, Ma." Aku manut saja. "Assalamualaikum!" aku dan Adrian mengucap salam sesaat sebelum kuputar tuas gas motor matic-ku.
"Waalaikumsalam."
Sepanjang perjalanan aku hanya mendengarkan ocehan Adrian tentang sekolahnya. Tentang temannya yang bernama Lutfi dan anak perempuan yang bernama Ina yang katanya suka merebut perhatian neneknya. Kecil-kecil anak ini sudah pandai mencemburu.
Karena mulai lelah menimpali obrolan Adrian, maka kusuruh saja dia menyanyi lagu-lagu anak yang diajarkan guru di TK. Anak itu pun menurut saja. Ia bernyanyi dari lagu balonku sampai kebunku. Herannya aku, yang paling fasih dinyanyikan Adrian justru lagu cicak-cicak di dinding dan itu versi metal.
"Pa, Adlian haus!"
"Oke, nanti kita beli susu di toko."
Sialnya, toko yang kumaksud enggak jauh dari klinik kecantikan Melati. Aku berharap enggak ada Melati saat ini. Rasanya mungkin agak canggung.
Namun, harapanku kali ini enggak jadi kenyataan. Begitu motorku parkir di depan toko dan Adrian turun dari motor sembari terus berjingkrak-jingkrak menyanyikan lagu cicak menuju kulkas toko, sebuah tepukan mendarat di pundak kiriku. Aku pun menoleh.
Melati dengan senyum memabukkannya berdiri hanya beberapa senti dariku. "Ngajakin bocah jajan, Bang?"
"Eh ... emmmhhh ... iya, mau susu katanya." Aku berusaha mengalihkan pandangan ke arah Adrian agar enggak fokus ke Melati yang seharian ini menari-nari di benakku.
Melati mendekati Adrian yang kesulitan membuka pintu kulkas. "Sini Tante bantuin."
"Makasih, Tante," balas Adrian sembari mengambil dua kotak susu. "Pa! Susunya dua ya."
"Boleh."
"Biar Tante yang traktir," timpal Melati.
"Eh, enggak usah," tolakku. "Berapa susunya dua, Dek?" tanyaku pada penjual toko.
Namun, terlambat. Penjual toko itu sudah menerima lembar dua puluhan dari tangan Melati. "Delapan ribu aja, Kakak."
Melati berjongkok di depan Adrian untuk membantunya membuka sedotan susu kotak itu. "Mau jajan apa lagi, Anak Comel?"
"Enggak ada," jawab Adrian. "Tante cantik, makasih ya." Ia pun berjalan ke motor. Sementara aku masih terpaku di atas jok motor sejak tadi. Sungguh pemandangan ini enggak ramah jantung, pemirsa.
"Sama-sama, dadah Anak comel dan Papa comel." Melati melambai sembari memamerkan senyum sarat gula.
"Makasih ya, Melmel," ujarku seraya berlalu.
Samar kudengar Melati menjawab, "Sama-sama, Bang comel."
Adrian sibuk dengan dua susu di tangannya. Satu susu disedot dan satunya digoyang-goyangkan. Sementara aku sibuk menenangkan jantung yang masih berdebar lebih berisik dari knalpot motor.
Sesampainya di rumah, Saras sudah mandi dan berdandan cantik untuk menyambut kedatangan kami.
"Assalamualaikum, Ma," aku dan Adrian menyapanya secara bersamaan.
"Waalaikumsalam, orang-orang gantengku," jawab istriku yang teramat manis. Ia membantu Adrian turun dari motor, lalu mencium punggung tangan kananku. "Tumben kamu enggak pakai seragam lagi, Yang. Udah wangi lagi."
"Tadi disuruh Mama mandi dulu, seragamku Mama yang cuci, soalnya tadi ketumpahan saos."
"Emang kamu makan apaan?" Saras terkekeh.
"Nyemilin kentaki bikinan Mama," alibiku. Tanganku menggandeng pinggang Saras agar melangkah bersama ke dalam rumah menyusul Adrian.
"Adrian jajan sama Papa ya?" tanya Saras sembari membantu Adrian membuka sedotan susunya yang sisa satu.
"Iya, tadi dijajanin sama Tante cantik." Anak ini memang terlalu polos.
Seketika Saras mendelik ke arahku yang pura-pura kerepotan melepas tas-tas yang membelit tubuhku.
"Tadi ada orang enggak kenal demen banget sama Adrian, eh ditraktir tuh dia. Katanya Adrian comel," jelasku.
Tuhan, tolong buat istriku percaya.[]
Evans, 14/8/24
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top