M E L A T I 3
Soal Cila, dia hanya rekan kerja yang kebetulan pernah sedikit menggodaku. Mungkin aku yang suka mendengarkan keluh kesah teman sempat disalah artikan olehnya. Begitulah wanita. Terkadang kita bermaksud jadi pendengar dianggap ada hati, kalau kita tidak bersedia mendengar dianggap enggak punya hati. Sudahlah, yang penting Cila sudah pernah menguji kesetiaanku yang belum pernah goyah. Namun, bagaimana ya dengan Melati?
Kupandangi lagi gawai yang menampilkan room chat Melati. Aku harus jawab apa? Enggak dijawab bisa bikin salah paham lagi ini, aku enggak mau dianggap gagal move on dari seorang Fatimah.
Firdhan: [Maaf yah, Melmel aku lupa kenal kamu di mana sebelumnya. Mungkin dulu kamu belum secantik saat ini atau masih kecil, jadi terlupakan.]
Melati: [Melmel? Lucu juga panggilannya, Bang aku suka. Abang enggak akan pernah inget aku yang dulu, karena emang Abang enggak pernah lihat aku sebelumnya.]
Aku mengernyit. Rahman yang dari tadi melayani pembayaran konsumen masih sempat melirikku dan berkata, "Curiga gue ama lu." Yang hanya kubalas dengan memutar bola mata.
Cila pun datang dengan segelas kopi hangat untukku. "Ini, Bang."
"Makasih ya, Cila." Aku menyambut kopi dan meletakkannya di meja Rahman.
"Sama-sama, jangan galau lagi ya."
Aku hanya menanggapinya dengan cengiran kuda. Jangan sampai salah ngomong sama Cila lagi, bahaya. Cila pun kembali ke mejanya.
"Buat gue?" bisik Rahman.
"Boleh," balasku lirih.
Rahman pun menyesap kopi itu di sela kesibukannya dan aku kembali ke HP.
Firdhan: [Kok bisa?]
Melati: [Karena aku malu tiap lihat Abang, kemarin aja aku kaget saat Abang datang ke klinik kecilku.]
Firdhan: [Malu?]
Melati: [Deg-degan, Bang.]
Firdhan: [Salahku apa?]
Melati: [Salahmu terlahir terlalu cakep. Ish ... jangan tanya lagi, aku malu mengakui ini.]
Firdhan: [Lah? Emakku saja enggak pernah ngaku malu loh udah brojolin aku.]
Melati: [Ish ... Abang!!! Bukan gitu juga.]
Firdhan: [Terus?]
Melati: [Aku pengagum rahasiamu.]
Ya Tuhan, godaan kali ini terlalu indah. Kalau boleh jujur, aku masih belum bisa melupakan kemolekan Melati. Apalagi ekspresi malu-malunya, derai tawanya, wanginya ... astaga!!!
Firdhan: [Aw!!!]
Melati: [Loh kenapa, Bang?]
Firdhan: [Sakit.]
Melati: [Sakit apa?]
Firdhan: [Berasa enggak nginjak bumi lagi ini Abang, Melmel.]
Melati: [Kok bisa, Bang?]
Firdhan: [Abis dikagumi Bidadari.]
Melati: [Abang ... aku malu, ish.]
"Dhan, udah hampir satu jam. Absen, gih!" Rahman memperingatkanku.
"Astaga, iya deh. Thanks, Man." Aku segera beranjak ke meja absen. HP sengaja kutinggal di meja yang masih dikuasai Rahman.
"Temen chat lu cantik," bisik Rahman saat kami berpapasan untuk bertukar tempat.
"Sssttt ... dilarang julid!" balasku.
Cila melongokkan kepalanya di balik komputer. "Kopinya udah abis, Bang?"
"Emmmh ...." Aku menatap cangkir kopi yang udah kayak dijilat kucing. Tapi, ini sih kucing garong. "Iya, udah abis kok."
Cila pun beranjak menghampiriku. Aku menatap lurus ke lubang kaca counter kasir saat belahan dada rendah Cila lewat di depanku ketika tangannya meraih gelas kopi. Gede sih, tapi enggak menarik bagiku. Ingat, moto buaya: Perawan memang menawan, janda sangat menggoda, tapi istri orang lebih menantang. Nantangin suaminya. Huhuhu ... justru itulah yang kualami saat ini. Heh. Menyebalkan. Kalau masih melajang sih nantangin suamiya doang, lah ini? Nantangin istri sendiri juga.
Melati: [Bang eggak mau nanyain Kak Fatimah?]
Firdhan: [Enggak ah, mau nanyain Adiknya aja boleh?]
Demi setan yang terkutuk, kok lincah banget jariku ini?
Melati: [Abang jangan bikin baper, ah. Abang diem aja aku udah deg-degan loh.]
Firdhan: [-_-]
Melati: [Enggak gitu juga konsepnya.]
Firdhan: [Yaudah, Abang mau kerja lagi ya, bye, Melmel.]
Melati: [Semangat kerja, Bang.]
Melati: [foto]
Wah, rejeki nomplok banget aku dikirimin foto selfie Melati yang sungguh menggetarkan jiwa kelelakianku. Rambut pirangnya tergerai panjang, mata besar yang sedikit menyipit karena senyum lebar memamerkan gigi kelincinya, bibir tebal berwarna merah muda, alis tebal, dan yang menjadi fokus utamaku adalah ... tanktop motif bunga dengan belahan dada rendah itu menampilkan sebingkai kalung emas berliontin putih, dan yang bikin tercekat tuh sesuatu agak ke bawah dari liontin. Oke, guys aku lelaki normal loh.
Segera kuhapus semua pesan di room chat Melati, sebelum fantasiku semakin liar dan masalah yang diakibatkannya semakin lebar.
Sepanjang sisa hari kerja ini aku merasa enggak fokus kerja gara-gara ingat Melati. Kenapa dia semenggoda itu? Kalau dia adiknya Fatimah, harusnya dia tahu dong kenakalanku di masa lalu, lantas apa foto dan chat-chat itu memang dimaksudkan untuk menerbitkan jiwa nakalku?
Aku kembali mengingat-ingat momentum di klinik. Apakah ada sikap ganjen yang kutunjukkan padanya?
Sepertinya hari itu aku irit bicara dan sangat menjaga sikap. O iya, di klinik itu pun aku tahu Melati sudah bersuami juga lantaran melihat foto pernikahan yang terpajang di salah satu dinding dan enggak melihat keberadaan pria itu.
Salahku cuma saat Melati meminta nomerku. Ya, benar. Itulah salahku. Aku enggak berpikir chat-chat intens seperti tadi akan terjadi. Saat itu kupikir nomerku hanya digunakan untuk media promosi, mungkin. Bisa juga untuk alternatif komplain kan?
Ya Tuhan, kalau saja yang menggoda iman ini sekelas Cila saja, aku enggak perlu risau. Ini sekelas Melati loh. Kecantikannya di atas rata-rata. Mana terlihat begitu terawat, pantas untuk jadi brand ambassador kliniknya sendiri.
Setelah diingat-ingat, agak berbeda jauh antara Melati dan Fatimah. Fatimah memiliki tubuh yang tinggi semampai, sementara Melati kecil molek. Kulit mereka sama putihnya sih. Dari kountur wajah juga jauh berbeda. Fatimah berwajah lonjong mungkin orang menyebutnya oval, sedangkan Melati bulat sempurna dengan dagu lancip. Sama-sama cantik, tapi benar-benar enggak ada kemiripan.
Hal menarik dari Fatimah bagiku hanya godaannya di ruang ganti waktu itu. Okelah, keperjakaanku direnggutnya di situ, wanita yang menjerumuskanku ke dalam kenistaan dunia. Akibat perbuatan Fatimah, banyak wanita lain yang kemudian jadi korban suka rela gara-gara ulahku.
Sedangkan hal menarik dari Melati, kok dipikir-pikir banyak ya. Aku suka fisiknya, aku suka tawanya, aku suka godaan nakalnya, dan ... enggak bener ini! Otakku harus diruqyah.
Tanpa sadar, aku menyugar rambutku hingga terlihat acak-acakan.
"Eh, Abang kenapa?" Lenny yang mau memberikan laporan penjualan unit miliknya sedikit terkejut melihat kerandoomanku.
"Enggak kok, sedikit pusing aja." Kusisir rambutku dengan jari, sebelum konsumen Lenny menghampiri counter kasir.
"Mau bodrex?"
"Kamu punya?"
"Ada di tas."
"Boleh deh."
"Ini datanya, bentar kuambilin bodrexnya, Bang." Lenny meletakkan berkas konsumen di mejaku dan berlalu ke luar ruangan.
Aku pun melayani konsumen di hadapanku. Berusaha menunjukkan ketulusan hati. Meski sebenarnya sedang enggak enak hati.[]
Evans, 13/8/24
Nah kan ada part 3 nya
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top