M E L A T I 2
0853 47** ****: [Gimana giginya, Bang? Aman?"
Group CS Honda: Hakim honda: [Zulkarnain ok]
Lenny honda: [Rina Rupaidah Ok]
Sayang: [Jangan lupa bekalnya dimakan ya, luv u]
Nyokap: [Besok bayar SPP Adrian ya, jangan lupa]
Itulah notifikasi yang muncul di HP-ku. Aku terlalu sibuk saat ini untuk membuka satu persatu chat di Whatsapp. Lagian enggak ada hal yang urgent juga. Melayani konsumen harus dengan segenap perhatian kan? Makanya, mari abaikan semua notifikasi.
Hingga jam istirahat pun tiba. Tugasku digantikan oleh temanku, namanya Rahman. Aku pun membawa bekalku ke pantry sambil mengutak-atik HP. Lumayan banyak juga notifikasi pekerjaan yang penting enggak penting. Belum lagi ocehan si Bos di grup soal target marketing.
Kubuka chat dari wanita yang sudah memberiku seorang anak lelaki ganteng. Emoticon penuh cinta darinya menerbitkan senyumku.
Firdhan: [Ya, ini aku mau makan bekal dari kamu, yang. Makasih ya luv u too.]
Sayang: [Baru buka HP?]
Firdhan: [Kok tau?]
Sayang: [Udah sana, makan yang banyak.]
Firdhan: [Enggak bisa.]
Sayang: [Kenapa?]
Firdhan: [Paling cuma habis satu rantang ini, enggak banyak kan?]
Sayang: [Yaudah, besok aku kasih 5 rantang.]
Firdan: [Sip!!! Biar aku bagi-bagi temen-temen sales cantik nanti.]
Sayang: [Ish!!! Enggak sudi!!!]
Aku pun terbahak, karena sukses menggoda istriku sendiri. Tahu sendiri hati wanita kan? Selalu risih kalau tau suaminya dekat dengan wanita lain, sekalipun itu rekan kerja yang terbatas profesionalitas.
Aku pun beralih ke chat mama.
Firdhan: [Siap, Ma.]
Nyokap: [Tadi Adrian jatuh di prosotan TK, tapi udah mama pijit kok. Enggak apa-apa cuma lebam sedikit di lututnya.]
Firdhan: [Astaga si bocil.]
Dua centang biru dan enggak ada balasan lagi dari mama. Sejak Adrian berumur satu tahun emang kutitipkan anakku itu pada mama. Karena istriku juga wanita karier, ia admin di sebuah rumah sakit swasta di kotaku.
Mulutku mulai menikmati bekal hasil karya istriku di pagi buta. Masakannya memang enggak pernah gagal menambah lemak di perutku. Tapi, tangan kiriku masih bergerilya di Whatsapp.
Ada satu nomer yang belum kuberi nama. Kubuka chat itu. Dia menanyakan tentang gigi dan di atas chat itu tepatnya tiga hari yang lalu dia pernah mengetik: [Ini Melati, simpan nomorku ya, Bang.]
Aku pun segera memberi nama kontak itu dengan nama MELATI TAMBAL GIGI.
Firdhan: [Aman kok, ini lagi dipakai buat makan siang.]
Melati: [Hati-hati menggigit, Bang nanti patah lagi loh.]
Firdhan: [Iya, kalau patah lagi ya ke kamu lagi.]
Astaga!!! Kenapa aku mengetik kalimat itu? Terlambat!!! Sudah terlanjur centang dua dan berwarna biru. Bagaimana kalau Melati berpikir yang iya-iya?
Melati: [Kalau gitu, semoga cepat patah, hihi.]
Firdhan: [Kok gitu? Emang ada garansinya?]
Melati: [Enggak sih, cuman ... Abang ngangenin.]
Mampus!!!
Aku segera membersihkan semua chat di room chat Melati. Daripada nanti pulang HP-ku dibanting istri.
Sepertinya aku harus menjaga jarak. Ini jari mulai enggak bener nih. Jangan sampai jiwa buaya yang lama kupendam dalam-dalam muncul lagi gara-gara kalimat-kalimat Melati. Tuhan, jauhkanlah aku dari menggoda wanita cantik, walaupun parasnya sulit kulupa, tapi aku harus sadar akan status bapack-bapack hot yang sudah enggak six pack lagi ini.
Aku berusaha fokus dengan makananku. Sampai si Hakim sales masuk ke pantry dan duduk di depanku dengan sekaleng kopi nescafe rasa mocachino.
"Enak ya lu, Fir dibekalin bini terus tiap hari." Hakim menyesap kopinya sedikit berisik.
"Emang bini lu enggak bekalin?"
"Boro-boro, bangun aja kesiangan. Padahal di rumah mulu enggak ada karier kayak bini lu."
Aku menenggak air putih milikku. "Beli aja di warung sebelah noh, buka kok."
"Males, mending makan mie." Hakim beranjak ke laci pantry tempatnya menyimpan mie instan.
"Usus buntu lu entar, mie tiap hari."
"Daripada makan ke warung, dompet gue yang boncos."
"Ah elu mah dibilangin."
"Lu enggak pernah ngerasain jadi gue sih," keluh Hakim.
Dan ... setelahnya aku pun jadi psykolog dadakan. Mendengarkan keluh kesah Hakim. Lumayan sih ada obrolan demi menghabiskan waktu istirahat kami yang cuma satu jam.
Notifikasi Whatsapp-ku kembali berbunyi di tengah obrolanku dengan Hakim. Kulihat notifikasi dari Melati lagi.
Melati: [Maaf ya, Bang bukan bermaksud lancang. Tapi ... aku memang sudah tau Abang dari lama.]
Aku pun terbelalak melihat deretan kalimat Melati. Ada rasa ingin mengabaikan, tapi rasa penasaranku pun sama besarnya.
"Kenapa muka lu, Fir?" tanya Hakim.
"Eng ... emmm ... anu ... ah, entahlah." Aku bingung, bahkan menjawab pertanyaan Hakim saja aku hilang inspirasi.
"Ditalak ama bini lu?"
Aku menggeleng.
"Dihujar netizen?"
Lagi, aku menggeleng.
"Ditagih utang?"
Lagi-lagi, kujawab dengan gelengan.
"Lalu?"
"Dichat istri orang."
"Mampus!!!" Hakim pun tertawa.
"Emang ada yang lucu?"
"Muka lu, lebih lucu dari Sule."
"Sialan! Gue lebih cakep daripada Sule ya." Kujelingkan mata ke arah Hakim.
"Abis lu mah, Fir selalu kayak keselek biji salak kalo digodain cewek," ejek Hakim. "Sini biar gue yang balesin." Hakim merebut HP dari tanganku.
"Eh, Julidin!!! Balikin HP gue!" Aku berusaha merebut benda pipih itu lagi, tapi meja pantry menghalangi pergerakanku.
Sialnya lagi, Hakim sudah membuka notifikasi yang menggetarkan imanku itu.
"Cantik banget, kayak artis Korea gini. Jangan diabaikan dong." Celetukan Hakim berhasil menarik perhatian Yati yang baru saja melangkah masuk ke ruang pantry.
"Bang Firdhan selingkuh?" Yati membelalak melihat aku yang rebutan HP dengan Hakim.
Sontak saja perhatian Hakim teralihkan pada Yati dan itu menjadi kesempatanku memenangkan perebutan HP.
"Makasih, Yati!" seruku. "Tapi, Abang enggak selingkuh kok. Hakim tuh! Julid!"
"Terus siapa yang cantik kayak artis Korea?" cecar Yati. "Aku bilangin Kak Saras nih!"
"Itu ... heemmm ... kamu," jawabku asal sembari menunjukkan senyum termanis, berharap Yati percaya begitu saja.
Hakim tersedak kopi. Aku berharap kopi itu bisa membunuhnya.
Namun, nampaknya salah satu harapanku jadi kenyataan. Wajah Yati merona dan ia tampak tersipu, lalu duduk di samping Hakim dan membuka nasi kotak miliknya. Aku masih memerhatikan raut wajah Yati dengan seksama, mengingat ia berteman dengan istriku--Saraswati, bisa-bisa aku diintrogasi nanti di rumah.
"Apaan sih, Bang. Ngeliatin segitunya." Yati melemparkan bungkus kecil kerupuk ke arahku.
"Enggak kok, cuma sedikit khilaf liat yang manis-manis," alibiku.
"Bahaya juga ini si Abang-abangan," goda Hakim lagi.
"Berisik!!!" desisku sembari berjalan pergi meninggalkan pantry dengan menenteng rantang kosong dan bermain gawai.
Firdhan: [Tau dari mana? Undian sabun colek?]
Melati: [Emang Abang pernah jadi bintang iklan sabun?]
Firdhan: [Belum sih ... jadi?"
Melati: [Harus dijawab kah?]
Firdhan: [Yes! Karena aku udah penasaran.]
Melati: [Tau dari mana ya? Hemmm ... aku adiknya Kak Fatimah. Tau Abang itu saat Abang pacaran sama Kak Fatimah.]
Ya Tuhan, kenapa dunia ini sesempit itu? Apakah duniaku selebar daun kelor?
Fatimah bukanlah pacarku. Tapi, ia hanya teman. Teman yang saling menikmati. Btw, Fatimahlah yang merenggut keperjakaanku.
Melati: [Abang masih di situ?]
Aku duduk di bangku yang ada di sebelah Rahman, dengan pikiran yang mengawang ke masa lalu.
Firdhan: [Iya, masih.]
Melati: [Apa Abang ingat Kak Fatimah?]
Firdhan: [Iya, masih.]
Melati: [Maaf ya, Bang.]
Firdhan: [Eh, ngapain minta maaf?]
Melati: [Mungkin bikin Abang ingat luka.]
Rahman yang menggantikan tugasku mendelik. "Tumben cepet dari pantry, biasanya lu tidur di pojokan pantry."
Aku tersentak. "Eh, anu ... enggak enak jadi orang ketiga."
"Hah?"
"Ada Hakim lagi modusin Yati," Alibiku.
"Lu kayaknya lagi enggak baik-baik aja deh, Dhan."
"Sok tau lu."
"Kayak gue kenal lu sehari-dua aja."
"Iya juga sih, belum ngopi gue."
Tiba-tiba Cila yang sejak tadi duduk di balik komputernya berdiri. "Abang belum ngopi? Mau sekalian kubikinin? Aku mau ke pantry nih."
"Aku dari tadi di sini sama kamu, enggak ditawarin nih, Cila?" sindir Rahman.
"Ogah, sama laki orang."
"Lah emang si Firdhan jomblo kah?"
"Kan bininya enggak di mari."
"Iya dah iya, bikinin Abang kopi dah, Cila."
Cila mengedipkan matanya sebelah kiri. "Siap, Bang ganteng." Dan ... berlalu keluar ruangan.
"Astaga, Tuhan!!! Masih ganjen ama lu si Janda itu?" celetuk Rahman.[]
Evans, 12/8/24
Niatnya mau cerpen aja. Tapiii ... kalo jadi novel enggak apa kali ya?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top