M E L A T I
Hari itu adalah bencana. Gigi depanku patah, sementara aku seorang yang selalu melayani pembayaran motor maupun servis konsumen di dealer Honda. Selain pelayanan dan etika, penampilan merupakan modal utama. Dan ... enggak mungkin banget untukku melayani konsumen dengan kondisi gigi depan yg patah. Bagaimana senyum paripurna yang harus kutunjukkan setiap saat? Sementara gigiku hilang satu.
Dengan keputusan cepat, aku pergi ke klinik kecantikan yang menyediakan jasa tambal gigi. Di sanalah aku mengenalnya. Seorang perempuan yang mampu mengalihkan duniaku dan menggetarkan kesetiaan yang selama ini kupegang erat.
Namanya Melati. Seindah namanya, seindah itu pula orangnya. Dia putih, berbadan molek, wajah bulat sempurna, mata besar, alis tebal, suara lembut, dan senyumnya ... membuatku lupa akan statusku sebagai ayah dan suami. Dan ... Melati merupakan owner klinik kecantikan itu.
Melati memintaku berbaring di klinik kecilnya yang hanya menyediakan sebuah kasur bulu berwarna hijau dan tumpukan bantal. Jantungku mulai kacau. Mataku nanar melihat ke seluruh ruangan yang tertata apik dengan hiasan dinding tanaman merambat. Deru kipas angin menyapu sekujur tubuhku yang mulai menegang tatkala Melati duduk di belakang tumpukan bantal tempatku berbaring.
"Buka kacamatanya ya, Bang." Suara semerdu buluh perindu itu diiringi dengan gerakan tangan lentik melepas kacamataku.
Bodohnya aku hanya bisa diam. Apalagi aroma parfum Melati memenuhi rongga dadaku tatkala dia memasangkan mouthgate. Ia merunduk memerhatikan gigiku yang patah dan aku melihat wajahnya dari bawah. MasyaAllah, semoga si Joni di dalam celana tetap terlelap. Kucoba memikirkan hal-hal positif atas kondisi saat ini, bahwasanya Melati hanya melakukan tugasnya.
"Mau dikikir dulu giginya atau Abang enggak kuat dikikir?"
Entah efek mouthgate yang mencengkram bibirku atau memang suaraku tiba-tiba hilang, hingga aku hanya bisa menanggapinya dengan isyarat tangan untuk menolak dikikir gigi. Ya Tuhan mataku tidak bisa lepas dari senyumnya.
"Oke, aku veneer dulu ya," jelas Melati sambil memberikan gigiku sejenis cairan yang terasa agak sepet di lidah. "Tunggu sepuluh menit ya, Bang. Aku tinggal ke dapur dulu, sambil goreng ikan soalnya."
FYI, kliniknya Melati ini sekaligus rumahnya. Anganku melayang selama sepuluh menit menunggu kembalinya Melati. Ternyata ia ibu rumah tangga yang buka usaha sendiri begini. Rumah tangga terurus, cuan jalan terus. Idaman banget.
Melati kembali ke belakang bantalku. Dengan senyum yang meningkatkan kadar diabetes itu, dia membuka mouthgate-ku. "Abang kumur-kumur dulu gih, ke keran samping rumah."
Aku hanya menurut saja, walaupun veneernya sepet tapi yang nganuin semanis itu, mau di-veneer sepanjang hari juga enggak nolak. Setelah aku kembali ke pembaringan, Melati lagi-lagi memasangkan mouthgate. Aku hanya memandangnya dari bawah sembari membayangkan hal yang iya-iya.
Bagaimana rasanya leher jenjang itu?
Bagaimana aromanya parfum itu kalau dihidu dari kulitnya langsung?
Jari-jari lentik Melati dengan lincah menari di atas gigiku. Entah melakukan apa, aku tidak tahu. Aku hanya bisa menikmati pemandangan dan sentuhan hangat telapak tangannya. Tau-tau gigiku sudah diberi sinar laser berwarna ungu oleh Melati.
"Kalau sudah terasa hangat, bilang aja ya, Bang," ujar Melati yang kujawab dengan kedipan mata berulang-ulang.
Lagi-lagi Melati memamerkan senyumnya. "Aku sering lihat Abang lewat bawa anak comel."
Aku memberi reaksi dengan ekspresi terkejut. Ya Tuhan, sehebat inikah mouthgate? Sulis sekali kuucapkan barang satu kata.
"Itu anak Abang?"
Aku mengangguk.
"Comel banget, cakep, kayak Bapaknya."
Aku tercekat. Apa itu pujian? "Hehe." Cuma itu suara yang keluar dari tenggorokanku.
"Seru kayaknya punya anak. Aku udah sepuluh tahun nikah, belum dikaruniai anak."
Astaga!!! Setan di kepalaku berkata, "Mau Abang bantu bikin anak comel?"
Untungnya aku sedang kesulitan bicara. Jadi, aku masihlah terlihat bersikap cool.
Entah dapat dorongan dari apa, tiba-tiba Melati menyodorkan HP-nya yang sudah tersedia papan bar. "Ketik nomer HP Abang, mana tahu nanti ada masalah dengan tambalan giginya."
Dengan sigap, aku mengetikkan dua belas digit nomer HP-ku. Dengan pikiran dan harapan positif.
"Namanya?" tanya Melati.
Aku kembali mengambil HP-nya dan mengetik di papan bar: Papa Comel.
Sontak Melati tertawa sembari menutup mulutnya, matanya terlihat menyipit. Indah nian pemandangan ini walau tanpa kacamata, jarak sedekat ini tidak mungkin untuk tidak kurekam dalam memoriku.
"Abang lucu juga," katanya. "Gimana giginya udah terasa hangat?"
Aku kembali mengedip-ngedipkan mataku, untuk mengatakan 'iya'. Melati pun mematikan sinar lasernya dan melepas mouthgate dari bibirku.
Aku hanya diam dengan mulut tertutup dan lidah meraba dari dalam, bahwa ternyata gigiku sudah ada lagi. Agak aneh rasanya.
"Kalau enggak nyaman, kumur-kumur lagi aja, Bang," saran Melati.
Aku pun bangkit dan kembali ke keran di samping rumahnya. Pahit cuy! Kok gini ya rasanya tambal gigi?
Kata orang-orang akan terasa sakit. Tapi, yang kurasakan justru, sepat, pahit, dan deg-degan. Kuraba jantungku, masih ada detaknya, walau udah enggak beraturan.
Aku kembali ke hadapan Melati. Ia menyodorkan sebingkai cermin kecil persegi empat. "Coba dilihat dulu, mana tau kurang suka."
Bodohnya aku, hanya menerima cermin itu tanpa mengalihkan pandangan dari wajah Melati. "Suka kok."
Lagi-lagi Melati terbahak sambil menutup mulutnya. "Ditengok dulu cerminnya, Bang."
Barulah aku menyadari kegoblokanku. Sambil nyengir kuda, kulihat di cermin gigiku yang patah tadi sudah kembali seperti sediakala. Warnanya pun serupa aslinya.
"Wow!!!" Hanya itu reaksiku.
"Gimana?" Mata Melati membulat memperhatikanku.
"Aku punya gigi lagi."
Melati tersenyum dengan pipi merona, dan lagi-lagi tertawa, "Iya kan sudah ditambal, Bang. Lucu si Abang ih."
Aku nyengir lagi, bingung mau bereaksi bagaimana. Kalau mau jujur sih pengen kutowel-towel itu pipi.
"Oh ya, berapa?"
"Seratus, Bang."
Aku pun menyodorkan selembar uang berwarna merah. "Makasih ya, aku suka banget."
"Alhamdulillah kalau Abang suka, o iya nanti di cek HP-nya dan simpan nomor aku ya, Bang." Melati menunjukkan sebuah chat Whatsapp padaku. "Kalau ada masalah lagi dengan tambalannya, chat aja."
Aku hanya mengangguk, sembari melihat-lihat letak kacamataku.
"Cari apa, Bang?"
"Cari masa depan."
"Hah?"
"Eh ... anu, kacamata."
Lagi-lagi tawa Melati berderai. "Maaf kelupaan, ini kacamatanya."
"Makasih, tanpa ini sulit lihat masa depan," ujarku.
Dan ... tawa Melati lagi-lagi memanjakan indera dengarku. "Minus berapa sih?"
"2,75," jawabku.
"Oooh ... tetep cakep kok."
"Hah?"
Melati menunduk sembari memainkan ponselnya. Kulihat semburat merah merona di pipi bundarnya itu.
"Makasih ya." Aku beranjak pergi, tanpa menunggu jawabannya segera naik ke luar rumah dan naik ke motor sebelum setan-setan berdatangan membisikkan seribu godaan iman untukku.[]
Evans, 11/8/24
Tetiba bisa nulis 1000 kata tanpa jeda 😅
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top