M E L A T I 14
"Aku enggak suka orang ingkar janji loh, yang namanya janji meski sakit harus ditepati," tuturku. Sejujurnya, aku pun merasa sedih harus berpisah dengannya hari ini. Namun, aku bukanlah lelaki egois yang ingin memiliki semuanya.
"Iya, Bang. Mau nangis rasanya, boleh enggak?"
"Jangan, simpan aja buat nanti pas sudah sampai rumah. Aku mau lihat kamu terus senyum di menit-menit terakhir kita."
Akhirnya Melati menahan air matanya. Ia membuang wajah ke arah jendela, aku tahu ia mengusap bulir bening itu. Kemudian berbalik padaku hanya untuk menunjukkan senyumnya.
"Bagus!" Kuberi Melati satu jempol. "Aku laper nih, boleh enggak aku traktir kamu?"
"Boleh," balas Melati dengan ekspresi berbinar.
"Kamu paling suka makan apa?"
"Bakso sih, Bang."
"Oke, aku inget lapak bakso enak di daerah Banjarbaru. Bentaran lagi sampai kok."
"Kalau Abang sebenarnya paling suka makan apa?"
"Makan kamu."
Melati pun tertawa. "Giliran dikasih aku malah keok," cibir Melati.
"Gimana enggak keok, lima kali loh semalaman. Coba hitung, satu malam ada dua belas jam dan makan kamu lima kali. Satu kali makan durasi tiga puluh menitan bahkan lebih, Apa enggak OD?"
Tawa Melati pun mengisi petang hari di jalanan yang lumayan ramai lancar. Sesampainya di Banjarbaru, aku membelokkan mobil ke halaman warung bakso Artomoyo.
"Kok Abang tau aku suka makan baksonya di sini?"
"Bakat kan aku jadi cenayang?" Kulepaskan seatbeltku terlebih dahulu sebelum melepas seatbelt Melati.
"Unch, Abang bikin baper." Eh, Melati malah mencium bibirku.
"Nyuri kesempitan kamu ya," ejekku. Aku pun keluar untuk membukakannya pintu. Biarlah kuratukan Melati hari ini agar sakitnya agak terbantu dengan kenangan manis.
Eh, dia malah menunjukkan wajah sok imut yang nyaris membuatku hampir hilang kendali. Randoom abis cewek satu ini, tapi asyik.
"Kamu pesan aja, punyaku samain sama kamu. Aku mau ke toilet," pamitku beranjak dari kursi panjang warung bakso.
"Siap!" Melati melemparkan senyumnya. "Mau ditemani, enggak?"
Sontak mataku menjeling ke arahnya. Dasar enggak tau tempat, ini kan lagi rame. Astaga, Melati!
Melati yang tampak baru sadar kondisi pun menutup mulutnya dengan dua tangan, pipinya bersemu merah. Kalau enggak ada orang, sudah kuacak-acak rambutnya itu.
Kembali dari toilet, mataku melebar melihat empat mangkuk bakso tersaji di meja kami. Apalagi ada bakso besar terhidang di setiap mangkuknya. Tapi, hanya ada dua gelas besar es jeruk.
"Abang bilang samain kan?" tanya Melati seolah membaca pikiranku.
"Kamu pesan dua mangkuk?"
Melati mengangguk. "Duanya lagi buat Abang, udah dingin sih itu. Yuk, makan!"
"Kalau aku enggak habis, kamu yang habisin ya," bisikku.
Melati memberiku senyum jahil. "Pasti habis kok, ganti energi yang semalam."
Ternyata tampilannya saja yang imut-imut padat berisi, ternyata Melati benar-benar menghabiskan dua mangkuk bakso seorang diri. "Ayo, Bang habisin!"
Aku baru menghabiskan semangkuk milikku. "Bantuin makan," bisikku seraya menyuapinya potongan bakso besar yang kuiris dengan sendok.
"Sesuap aja, sisanya buat Abang." Ia pun merebut sendok dariku dan memberiku suapan demi suapan dengan cara sedikit memaksa. "Tu kan, habis. Enak kan, Bang?"
"Iya enak, tapi perutku mau meledak," keluhku yang disambut tawa tanpa dosa Melati.
Enggak ada perpisahan yang manis. Enggak akan pernah ada hati yang baik-baik saja setelah memutuskan berpisah. Mungkin hanya waktulah yang akan menyembuhkan. Itulah yang kurasakan kini. Memang kemarin aku dibawa Melati ke luar kota dalam keadaan syok, rupanya waktu bersama selama dua puluh empat jam merubah segalanya. Jujur, aku enggak bisa mendefinisikan apa yang kurasa saat ini. Ada sedih juga ada senang.
Aku mengajak Melati ke sebuah surau, karena aku kurang nyaman dengan pakaianku. Aku berniat numpang mandi di WC surau. Namun, dering HP membuatku berhenti di depan barisan WC surau. Mentari sudah sejak tadi berada di peraduannya, waktu maghrib pun baru saja berlalu.
"Halo, Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam, kamu di mana, Yang?" Suara Saras terdengar khawatir.
"Aku di surau, Yang. Mau mandi deh kayaknya, enggak enak banget badanku lengket."
"Aku loh dari tadi chat kamu."
"Astaga, maaf ya, Yang. Tadi di jalan, enggak pegang HP."
"Iya, aku cuma khawatir kok, sampai jam tujuh malam kayak gini kamu enggak ada kabar." Saras terdengar gelisah. "Kamu di surau daerah mana?"
"Di mana ya, bentar aku lihat tulisannya. Hemmm ... daerah Sungkai, Yang."
"Kayaknya bakal kemalaman banget kamu pulang, apa aku aja ya yang ke rumah Mama? Adrian masih di rumah Mama soalnya."
Ya ampun, aku sampai benar-benar melupakan anak istriku sejak tadi. Betapa bodohnya aku.
"Jangan deh, Yang. Biar aku aja yang bawa Adrian ke rumah." Aku khawatir kalau Saras berkendara malam-malam begini.
"Adrian pasti sebentar lagi ketiduran loh, Yang."
"Kamu tunggu aja di sana, ya. Jangan ke mana-mana. Aku bisa kok secepatnya pulang bawa anak kita, ada pengaman motor, Adrian biar kuikat di badanku saja nanti jadi dia bisa tidur di motor."
"Kamu yakin?"
"Iya, tunggu saja ya."
"Hati-hati loh, Yang."
"Iya, Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Kubatalkan rencana untuk mandi di WC surau dan kembali ke mobil Melati. Membuat Melati yang sedang menikmati lagu sendu di mobil tercengang.
"Loh, enggak jadi mandi, Bang?"
Aku duduk di belakang setir, kembali meletakkan ransel ke belakang, dan mulai melajukan mobil. "Enggak."
"Kenapa?" Melati tampak khawatir.
"Karena aku harus jemput Adrian dan membawanya pulang."
"Emang Adrian di mana?"
"Di rumah Mama, aku enggak mungkin biarin Ibunya Adrian ke rumah Mama jam segini kan?"
Melati mengusap pundakku, mungkin bermaksud menenangkan. "Iya, Bang. Abang udah ambil keputusan yang benar kok, hati-hati ya."
Seketika aku larut dalam pikiranku sendiri. Seandainya aku enggak berlama-lama di jalan dengan Melati, mungkin sekarang aku sudah di rumah menikmati makan malam dengan anak dan istriku.
Pekatnya malam kuterobos dengan cahaya mobil Melati, sesekali ada pengendara lain yang berpapasan denganku cahaya dari lampu mereka sedikit mengganggu mata minusku. Namun, aku terus saja melaju dengan kecepatan lebih dari tadi karena memang jalan provinsi dari Sungkai menuju Kandangan relatif lebar dengan arus lancar.
Melati tampak tegang melihat caraku berkendara. Ia beberapa kali mengusap paha atau bahuku. Menurutku kecepatanku masih normal, dulu sewaktu aku kerja di pertambangan bukan mobil sekecil ini yang kuajak kebut-kebutan.
"Kamu tenang aja, aku udah biasa nyetir kayak gini kok. InsyaAllah aman." Kuberi Melati senyum semanis yang aku bisa.
Kurang dari satu jam aku sudah memasuki wilayang Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Perlahan kuturunkan kecepatan, kutepikan mobil di depan Alfamart Hamalau.
"Tunggu sebentar," ujarku seraya turun. Tanpa menunggu jawaban Melati, aku melangkah ke Alfamart sekadar untuk membeli minuman berbotol kaca dengan logo dua banteng merah.
Aku butuh lebih dari kafein untuk saat ini. Sungguh aku enggak bisa lagi mendefinisikan perasaanku. Sangat kacau.
Setelah menenggak sebotol minuman dengan rasa tajam itu, kudekati mobil Melati. Kubuka pintu di samping Melati dari luar. Entah ide dari mana, tiba-tiba kuberikan ciuman panas dengan durasi kilat pada Melati. Kunikmati setiap inci bibir kenyal itu.
"Tolong antar aku ke parkiran Rumah Sakit." Suaraku terdengar serak sambil melepaskan seat belt Melati.
Melati mengangguk, tanpa suara ia keluar untuk duduk di balik setir. Aku pun duduk di bangku penumpang bekas Melati.
Selagi Melati menyetir, kuusap pipi mulusnya. "Jangan nangis ya," pintaku.
Melati terlihat meneguk ludahnya sebelum mengangguk, kulihat ada genangan air mata yang nyaris tumpah di pelupuk matanya. Namun, kulihat Melati berusaha tegar. "Aku akan menepati janji, Bang."
Mobil menepi di dekat parkir roda dua Rumah Sakit Haji Hasan Basery. Melati mengeluarkan HP-nya dari dashboard, ia memblokir nomerku, menghapusnya dari kontak, dan menghapus chat yang selama ini kami lakukan.
"Mana HP Abang?" pintanya.
Kuberikan saja HP yang sejak tadi di kantong depan celanaku. Melati pun melakukan hal yang sama pada HP-ku.
"Setelah ini kita boleh saling sapa layaknya teman biasa, anggap saja dua puluh empat jam terakhir enggak pernah ada ya, Bang." Melati menggenggam jemariku.
Aku mengangguk. "Kamu boleh nangis, tapi nanti. Setelah enggak ada aku. Makasih, Mel." Kubiarkan Melati memelukku untuk yang terakhir, kuhidu aromanya. "Selamat tinggal."
"Makasih kembali, Bang. Hati-hati di jalan."
Aku pun keluar dari mobil Melati. Kutenteng ransel menuju parkiran.[]
Evans, 24/8/24
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top