M E L A T I 13

Aku keluar dari mobil Melati tepat di depan gedung Trio Perintis. Prosesi keluar dari mobil sebenarnya agak alot. Karena Melati makin-makin nakalnya.

Selama menjalani training selama empat jam, aku beberapa kali nyaris hilang fokus karena kantuk. Untungnya  materi hari ini tentang aplikasi sistem manajemen dealer, jadi enggak perlu praktek presentasi yang mengharuskanku banyak berbicara.

Jam istirahat tiba, aku menghubungi Saras. Sembari mengambil kopi hitam di dispenser yang sudah disediakan pelaksana.

"Assalamualaikum," sapa Saras di layar HP-ku.

"Waalaikumsalam," balasku.

"Ayang lagi di mana?"

"Di pantry lantai atas, lagi mau makan siang," jawabku seraya memutar kamera ke sekitar agar Saras melihat lingkunganku. "Kamu belum istirahat?"

"Belum," jawab Saras. "Masih ada sedikit kerjaan. Jam berapa pulang, Yang?"

"Kalau udah kelar dari sini kayaknya," jawabku asal.

"Matamu kenapa, Yang?"

"Hah?" Aku memeriksa pantulan wajahku di layar. "Kenapa mataku?"

"Ada kantungnya."

"Oh ini? Kurang tidur semalam enggak bisa lelap, capek banget di jalan. Jadi badannya sakit semua."

"Nanti pulang ke rumah kupanggilin Mamanya Maria buat mijitin kamu," ujarnya. Pengen berkata 'kenapa enggak kamu aja yang mijit, Yang?' tapi, enggak enakan sama teman yang lain, yang mungkin juga mendengar obrolan kami.

"Yaudah, Yang nanti kukabari lagi ya," kuakhiri saja obrolan dengan Saras. Entah kenapa aku merasa hambar. "Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Kulihat aplikasi Whatsapp penuh dengan chat soal kerjaan di grup. Sepertinya ada sedikit kendala di Dealer. Ada chat Melati juga.

Melati: [Jam berapa pulang dari sana, Bang?]

Firdhan: [Jam empat.]

Melati: [Oke deh, aku shooping dulu. Banyakin makan ya, habisin tuh jatah nasi kotakan, hehe.]

Firdhan: [-_-]

"Dhan, ke sini sama siapa?" tanya Kak Yayan kasir dari Dealer Barabai. Saat aku duduk di sampingnya.

"Sama teman," jawabku seraya memakan kue lapis legit.

"Pulangnya?"

"Nebeng teman lagi."

"Heeemmm ... boleh Kakak nebeng, Dhan?"

Aku tercekat. "Maaf, Kak. Aku aja nebeng, enggak enakan nambah penumpang."

"Bohong." Kak Yayan mendelik.

"Hah?"

"Tadi Kakak lihat loh siapa yang nganter kamu." Kak Yayan mengintimidasi.

"Siapa?"

"Cewek secantik itu masa cuma teman?"

Dasar wanita, kepo aja ke mana-mana. Untungnya Kak Yayan bukanlah orang yang dikenal istriku.

"Itu istrinya teman, Kak. Temanku lagi ngurusin belanjaannya di Pasar Lima." Aku terpaksa sedikit berbohong, berharap si ratu kepo percaya begitu saja.

"Oh, istri teman ya." Kak Ayu ikutan nimbrung. Wah matilah aku diapit dua wanita kepo ini. Kami memang sering ketemu saat ada acara bersama di Main Dealer kayak gini. Jadi, aku cukup kenal beberapa kasir dealer lain yang bertahan cukup lama.

"Trainer hari ini juga udah jadi istri orang tuh," ujar Kak Yayan menunjuk Riska yang sedang menuang kopi dengan bibirnya.

Riska memang Trainer yang menjadi mantanku, tapi itu dulu waktu aku belum jadi suami Saras. Aku juga pernah mencicipinya, dan sialnya itu diketahui dua wanita kepo di sampingku lantaran Riska memilih kamar hotel melati yang sama dengan mereka.

"Riska," sapa Kak Ayu. "Gabung sini yuk."

Riska melempar senyum lebarnya. Ia pun duduk di hadapanku. "Boleh nih," ujarnya tanpa dosa.

"Udah berapa bulan, Ris?" Kak Yayan menunjuk perut Riska yang membuncit.

"Jalan enam bulan, Kak," jawabnya. "Firdhan mau nambah?" Riska menyodorkan satu lagi nasi kotak padaku, ia memang sengaja membawa dua kotak.

Aku mengulum senyum. "Makasih."

"Ekhemmm ...." Kak Ayu menyenggol lenganku.

Namun, aku lebih memilih fokus menghabiskan nasi kotak. Mengabaikan tiga pasang mata yang memerhatikan tingkahku.

"Heran, makannya banyak tapi badannya gini-gini aja," celetuk Kak Yayan.

"Banyak piaraan cacing, Kak," jawabku asal.

Tentu saja ketiganya terbahak.

"Suamimu kerja di mana, Ris?" Kak Ayu tampak masih penasaran dengan Riska.

"Di Lapas Teluk Dalam, Kak. Sipir dia." Riska menjawab dengan mulut penuh makanan juga.

"Cepat juga kamu dapat jodoh," kata Kak Yayan.

"Kalau bisa cariin satu Sipir juga buat Kak Yayan, Ris," timpalku. Aku sengaja sarkastis pada si ratu kepo, karena di usianya yang udah kepala empat masih jomblo saja.

Sebuah cubitan mendarat di paha kiriku. "Aduh!" pekikku.

"Asem kamu ya, bocah!" Gemas Kak Yayan enggan melepas cubitannya.

"Ampun, Kak!" Aku mengangkat paha ayam padanya. "Sakit! Entar enggak kukasih darahku lagi loh." Baru deh cubitannya lepas, setelah dapat ancaman.

"Darah?" ulang Riska.

"Kak Yayan kapan hari tuh operasi, Firdhan yang donor," jelas Kak Ayu.

"Oooh."

Obrolan receh pun berlangsung selama sisa waktu istirahat. Aku pamit ke mushola dengan alasan mau sholat. Iya aku sholat, tapi setelahnya aku tidur dengan menyalakan alarm lima menit sebelum sesi kedua training dilaksanakan. Lumayan lah untuk mengisi energi.

Usai training, kepalaku penuh dengan teori. Aku berjalan pelan ke arah parkiran luas milik Trio Perintis karena tadi Melati mengatakan menunggu di sana. Aku sengaja melangkah sepelan mungkin agar teman-teman yang lain keluar terlebih dahulu sebelum aku.

Rupanya Melati sedang asyik ngobrol dengan satpam depan. Aku mendekatinya, kebetulan aku kenal dengan satpam itu.

"Hola, Firdhan!" sapa si satpam.

"Hola, Om!"

"Sama siapa kamu ke sini?"

"Sama ... dia!" tunjukku pada Melati yang disambutnya dengan senyuman.

"Owalah ... jadi, yang ditungguin Neng ini tadi kamu toh, Dhan." Si satpam mengedip penuh makna.

"Hehe, yok pulang, Mel," ajakku pada Melati. Untuk menghindari pertanyaan lain dari si satpam.

Melati menurut saja padaku. Eh, dia malah menggandeng lenganku menuju mobil. Sialnya lagi Melati memarkir mobil tepat di samping mobil si ratu kepo. Habislah aku.

"Istri orang ya, Dhan," sindir Kak Yayan sesaat sebelum kutenggelamkan diriku di belakang setir. Kuletakkan ransel di jok belakang di tengah-tengah tas belanjaan Melati.

Tanpa kuduga, Melati yang akan masuk di pintu yang lebih dekat dengan mobil Kak Yayan justru menimpali, "Iya, aku emang istri orang dan aku sepupu Firdhan."

"Oh, kirain korban Firdhan berikutnya," lirih Kak Yayan. Aku yakin wanita jomblo itu malu setengah mampus, walau nyatanya dibohongi Melati.

Melati pun dengan anggunnya duduk di sampingku. Memasang seat belt dan melambai ke arah Kak Yayan.

Aku baru bisa bernapas lega saat mobil mulai melaju membelah jalan provinsi. Bias cahaya sore cukup menyilaukan mata minusku. Kurasa leherku begitu penat, sesekali kuusap bagian tengkuk. Tampaknya menghadapi komputer seharian dengan ilmu baru membuat kepalaku terasa berat. Kulirik wajah sendu Melati.

"Apa kamu baik-baik aja?" tanyaku.

"Aku sedih, Bang," lirihnya. Jemari lentiknya saling bertaut.

"Apa yang membuatmu sedih?" Refleks tangan kiriku menggenggam jemari lentik yang hampir dua puluh empat jam terakhir mengurusiku.

Senyum Melati pun terbit, ia mengecup punggung tanganku. "Aku sedih bakal berpisah dari Abang."

"Kan itu janji kamu kemarin, Mel."

"Sedih untuk ditepati, Bang."[]



Evans, 23/8/24

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top