M E L A T I 12
Pagi pun menjelang. Tubuhku yang dikuras habis oleh Melati terasa lemas. Kupaksa membuka mata tatkala dering HP yang ada di nakas cukup nyaring. Aku memicing melihat Saras yang telepon.
"Halo." Suaraku serak
"Assalamualaikum, Yang," sapa Saras.
"Waalaikumsalam." Sepertinya tenggorokanku setandus gurun Sahara.
"Kamu baru bangun tidur?"
"I-iya, capek, Yang," balasku.
"Ini udah jam enam, Yang. Ayo bangun, mandi, siap-siap, terus cari makan. Ingat, kamu di sana enggak ada yang ngurusin loh, nanti ke Trio Perintisnya kesiangan," cecar Saras.
"Iya, ini aku bangun. Kiss dulu," ujarku manja.
"Dih, kayak pacaran aja," protes Saras.
"Heeemmm."
"Eemmmuach!" Saras entah mencium apa, padahal enggak berasa tapi kena di hati.
"Hehe, Assalamualaikum," kuakhiri obrolan pagi dengan istriku.
"Waalaikumsalam," balasnya. Sambungan telepon pun terputus.
Barulah aku menyadari ketiadaan Melati di kasur. Kepalaku berdenyut, sepertinya aku benar-benar kurang tidur. Kucoba untuk menetralkan rasa sakit yang menyerang dengan memijat pelipisku. Namun, kilasan kejadian tadi malam membuatku ngilu. Kuraba ke bawah selimut, rupanya aku masih bugil. Ternyata bukan mimpi, lalu ke mana Melati?
Beberapa saat kemudian, kudengar kunci pintu dibuka dari luar. Melati masuk dengan nampan kecil berisi dua gelas kaca dengan cairan kecokelatan di dalamnya. Pakaiannya pun cukup tertutup. Ia mengenakan kaos oblong milikku yang tentu saja kedodoran di badannya dan celana pendek selutut.
Melati duduk di samping tubuhku. Aroma jamu memenuhi rongga napasku. "Abang udah bangun? Aku tadi dari dapur hotel, bikinin ini buat Abang."
Aku melirik nampan berisi jamu itu. Sungguh aku enggak suka aromanya, tapi tampaknya tubuhku membutuhkan itu. Terpaksa kutenggak jamu dari Melati, sambil berharap ini bukan douping yang diberikannya padaku agar aku bisa diperkosa lagi. Perkosaan yang kunikmati.
"Sini aku pijat kepalanya, Bang," bisik Melati. Membuatku menatap curiga. "Aku enggak akan minta lagi kok." Sepertinya ia membaca pikiranku.
Akhirnya kurebahkan kepala di pangkuan melati yang duduk bersandar di sandaran kasur. Pijatan lembutnya nyaris membuatku kembali terlelap, tapi aku ingat pesan Saras. Aku pun segera duduk.
"Aku mau siap-siap ke Perintis." Aku segera berlari ke kamar mandi walau dengan lutut yang agak sedikit kurang sinkron mungkin kering kerontang.
"Pelan-pelan, Bang," pesan Melati. "Mau aku bantu mandi?"
"Enggak, aku bisa sendiri."
Kudengar Melati terbahak mendengar jawabku. Kupastikan pintu kamar mandi terkunci rapat sebelum mengatur air shower agar terasa hangat. Guyuran air terasa menenangkan. Aku senyum-senyum sendiri mengingat kejadian di bawah guyuran air ini tadi malam.
Selesai dengan sesi mandi, aku pun keluar dengan handuk membelit tubuh bagian bawahku. Kulihat di kamar enggak ada Melati, tapi pakaianku sudah siap di ujung kasur.
"Dor!!!"
Sontak aku berjengit. Menoleh ke arah Melati yang rupanya sejak tadi bersembunyi di balik pintu lemari. Ia sudah berdandan rapi dengan rok selutut dan kemeja lengan pendek.
"Mel, kaget." Kuelus dada guna menenangkan debar jantungku.
"Jangan pakai baju dulu," protes Melati saat aku mau meraih pakaian dalam.
"Kenapa?" Aku sudah memakai segitiga pengaman dengan cepat.
"Makan dulu, aku udah siapin nasi goreng tuh," ujar Melati dengan santainya menarik lenganku.
"Pakai celana dulu akunya," protesku.
"Ngapain sih? Aku kan udah tau isinya bahkan rasanya."
"Biar aman!" Kutarik kembali lenganku. Bukan hanya celana beserta ikat pinggang yang kukenakan, tapi juga kaos dalaman tanpa lengan.
"Aku enggak akan menggagahi kamu lagi kok, Bang. Walau pengen, hihi." Melati nakal itu justru menggigit bibir bawahnya sembari memerhatikanku dari atas hingga bawah.
Kusentil hidungnya. "Udah ya, cukup entar aku pingsan."
Sarapan pun berlangsung hangat, karena aku bisa bersikap lunak pada Melati. Entahlah, kurasa aku mulai menyukainya. Melati menambahkan nasi goreng miliknya ke piringku.
"Aku enggak biasa sarapan sepagi ini, Abang aja makan yang banyak ya, ganti tenaga yang semalam."
Kuhabiskan saja semuanya, karena memang lapar yang teramat sangat. Benar-benar habis aku oleh Melati. Kalau begini tiap hari aku bisa keok.
"Makasih ya," ujarku seraya menyapu mulutku dengan tissu setelah cacing di perutku mendapatkan haknya.
"Untuk?"
Aku tersenyum. "Semuanya."
"Mau lagi, Bang?"
Aku segera menggeleng. Kulirik jam di arloji sudah menunjukkan pukul enam lewat empat puluh lima menit. Aku pun berniat membereskan barang-barangku di lemari. Namun, rupanya Melati sudah memasukkan semuanya di ransel.
"Maksudku, mau lagi nasi gorengnya, Bang?" Melati terkekeh melihat tingkahku.
"Enggak." Kuangkat ransel ke ujung kasur.
Kupakai seragam honda berkerah putih. Melati mendekatiku, tangannya tampak dipenuhi jel rambut. Ia pun mengusapkannya di rambutku. Jemarinya lincah menyisir helai rambut hitamku.
"Sini aku yang kancingkan." Saat Melati mengambil alih kancing bajuku, barulah aku sadar telah mengancingnya asal-asalan tadi. Fokusku hilang. "Gini kan cakep."
Kuraih pinggang Melati membuatnya tersenyum. Kupeluk tubuh sintal itu, membenamkan wajahku di ceruk lehernya hingga Melati sedikit bereaksi erotis. Kuciumi leher, pipi, dahi, hidung, dan terakhir bibirnya dengan sedikit agresif. Ia pun membalas ciuman panasku. Kulakukan semua ini sebagai perpisahan, Melati kan semalam mengatakan enggak akan menggangguku lagi setelah ini. Jadi, biarkan dia merasakan apa yang ia inginkan.
Kemudian kuakhiri semuanya dengan menarik diri dari Melati yang sudah tampak terbakar libido. Namun, Melati memelukku erat. Kubalas saja pelukannya dengan mengusap punggung, pinggang, hingga ke panggulnya yang sintal.
"Sudah ya, aku harus ada di tempat jam delapan loh," ujarku mengurai peluk Melati.
"Basah aku, Bang." Wajahnya memerah menahan gejolak.
Kali ini aku yang terbahak. "Udah, Mel. Cukup enggak ada habisnya kalau mau terus. Mau bikin aku lumpuh?"
Melati menggeleng. Sebelah tangannya memegang si tembem di balik rok. "Aku ke kamar mandi dulu. Tungguin, aku yang anter Abang."
Aku pun berangkat dengan Melati naik mobilnya, tapi kali ini aku yang pegang setir. Enggak enak juga dari semalam disopirin cewek cantik, ditraktir hotel beserta makannya pula, dan self service yang luar biasa walau agak diperkosa.
"Mampir di Alfamart sebentar ya, Bang."
Kutepikan mobil di halaman Alfamart sesuai keinginan Melati. "Mau beli tes kehamilan?" sindirku.
Melati menjentikkan jarinya di depan hidungku. "Ide bagus." Ia pun keluar dengan langkah lincah. Namun, kembali lagi ke pintu di sampingku.
Kuturunkan kaca mobil. "Apa?"
Eh, Melati justru mengecup bibirku sebelum berlalu. Astaga! Memang penuh kejutan cewek satu ini.
Begitu kembali, rupanya Melati membelikanku tiga botol minuman pengganti ion. Membuatku terbahak lagi.
"Ini buat ganti cairanmu, Bang." Delik Melati.
Aku hanya bisa geleng-geleng dan kembali melajukan mobil dengan lalu lintas yang mulai padat. Terpaksa perjalanan berlangsung agak lambat. Di sela fokusku akan jalan, Melati menunjukkan barang lain yang ia beli tadi dari tas kecilnya.
"Aku beli lima nih," ujar Melati.
"Banyak amat tes kehamilannya."
"Mana tahu satu saja kurang akurat, ngomong-ngomong ini jumlah hubungan kita semalam," jelas Melati.
"Lima kali?"
Melati menggangguk.
"Pantesan."
"Mau lagi, Bang," rengek Melati, tangannya mulai nakal ke pangkal pahaku.
"Udah ah, jangan lagi," tolakku. "Aku enggak bisa training kalau main terus."
Melati pun meremas milikku.
"Aw! Sakit!" protesku.
"Gemes."[]
Evans, 22/8/24
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top