Tiga: Penyelamatan
"Bunuh pelanggar hukum itu!"
"Musnahlah pengkhianat!"
"Pergilah ke neraka!"
Teriakan bersahutan saat pasangan pelanggar hukum itu diseret menuju tiang gantung. Kayu tuanya yang bergerigi cukup memberi kesan mengerikan kepada yang melihat.
Wajah Nara pucat pias. Hari yang mereka takutkan sudah di depan mata. Saat diseret ke tiang, tak jarang mereka mendapatkan tendangan atau ludahan. Hatinya diiris mentah-mentah. Karena cintakah mereka harus menerima perilaku ini? Mengapa cinta dilarang ketika kejahatan yang sebenarnya justru merajalela?
"Lelaki atau perempuan terlebih dahulu?" tanya Prajurit kepada penduduk yang menonton. Nyaris seluruh penduduk meneriakkan lelaki. Nara langsung menatap Deo dengan waswas tetapi suaminya itu berusaha tenang.
"Semua akan baik-baik saja," bisikannya dihantar hembusan angin hingga sampai di pendengaran Nara. Nara hanya bisa terisak sambil menggeleng. Dirinya tahu tidak ada yang baik sekarang.
"Lelaki terlebih dahulu!" teriakan itu membuat Nara panik. Ia terus menggapai-gapai, berusaha memeluk suaminya untuk terakhir kali, sayang tangannya sedang dirantai kuat.
Deo juga tidak mau diam. Ia berusaha membebaskan diri, bahkan menendang kemaluan salah satu prajurit, demi memeluk istrinya untuk terakhir kali. Alhasil, pedang berlambang angin ditancap ke kaki kanannya.
"AKH!" teriaknya bersamaan dengan rintihan Nara yang mengeras. Bahkan, ketika tubuhnya dipaksa berdiri di kursi hingga kepalanya bertaut dengan tali, Deo masih bisa tersenyum pahit. Penduduk melongo dibuatnya.
Tepat ketika kursi untuk Deo berdiri digeser paksa oleh prajurit, air mata Nara menderas. Ia merasa sebagian nyawanya menghilang bagaikan debu.
Nara meraung. Rasa duka dan patah hati meledak-ledak. Hingga detik-detik terakhirnya, Ia masih terisak. Sadar tak sadar, beberapa penonton menahan air mata. Sebagian malah sudah pergi agar tidak ketahuan bersimpati oleh sang raja yang tersenyum menikmati.
"Good night my love, may we find ourselves in peace and may our girl be safe," bisik Nara sebelum tiang gantung ikut merebut nyawanya. Saat itu pula, jubah Raja Arlux menyapu tanah pergi tanpa semangat.
Suami istri itu tergantung sempurna di tiang gantung ditonton oleh Sang Raja Venteu, dua prajurit dan kurang lebih dua ratus penduduk Venteu.
***
DEG!
Mata Eira terbuka cepat. Namun, tubuhnya terdiam tegang. Dirinya berusaha keras bergerak tetapi ujung jarinya pun tetap membatu. Tempat tidurnya berderit tanpa henti. Tirai jendela berkibar keras. Meja cokelatnya yang mengeropos berguncang sampai vas di atasnya jatuh dan pecah. Ruangan itu seakan diliputi kemarahan angin yang tak bisa dikendalikan—atau tidak sengaja dibuat?
Ia memejamkan kembali matanya, berusaha merebut oksigen dan mencari ketenangan. Di tengah peluhnya yang mereda, bisa Ia rasakan kasur menghentikan deritnya, tirai-tirai kembali menjuntai lemah, dan perabotan lain ikut tenang.
Tubuhnya langsung berguling jatuh dan sigap mendarat dengan tangan dan kaki tertumpu. Eira mengerjapkan matanya sebelum mendesah lega. Apa yang baru saja terjadi?
Ketika serpihan vas yang tersebar di lantai Ia amati, beberapa desisan di luar mengundang perhatiannya.
"Tirai rumahnya tadi terbuka. Anak itu pasti menutupnya dan bersembunyi di dalam!"
"Eira, yang disebut-sebut, segera panik menghampiri jendela. Sayangnya, Ia terlambat beberapa langkah. Tepat sebelum Eira membuka seluruh tirai kamar, hendak meluncur turun lagi, terlihat sekelebat pasukan berjaga. HAP! Eira berjengit dari jendela sebelum posisinya diketahui.
BRAK! Pintu utama didobrak mudah tanpa halangan.
Di tengah kepanikan, sebuah ide terbesit. Eira berlari cepat ke kamar orang tuanya yang terbuka lebar. Tujuannya lagi-lagi jendela. Ia menyingkirkan tirai dan melepas kunci jendela. BINGO! Danau yang terletak tepat di bawah jendela itu kosong dari penjagaan.
Cengiran bangganya luntur segera setelah derap pasukan Venteu berhasil menderitkan anak-anak tangga. Tanpa mempersiapkan mental, dan sedikit rencana, Ia melompat keluar.
PLUP!
Letupan itu terlalu kecil untuk didengar pasukan yang kini marah-marah karena tak menemukan Eira. Tetapi bukankah seharusnya pendaratannya menimbulkan deburan yang hebat?
Ia melayang dalam air dengan tubuh yang tertekuk dan cengiran kemenangan yang sama. Eira tak tahu cara persisnya, tetapi tepat ketika air akan menyambut tubuhnya, mereka terangkat sesuai acungan tangannya, membentuk gelembung yang menelannya masuk.
Lima menit berlalu dan cengiran Eira belum pudar. Bagaimana pun ini adalah perkembangan pesat untuk pengendaliannya. Cengiran itu bahkan berubah menjadi kikikan ketika menyadari tidak sedikit pun paru-parunya terasa sesak. Air berdesir masuk seperti oksigen yang dihirup.
Tetapi mendadak, jaring lebar menjerat tubuhnya. Sontak tubuhnya melawan liar. Kepanikan melanda bersama dengan jaring yang semakin kuat melilitnya. Konsentrasi Eira yang pecah membuat air sekonyong-konyong terasa sesak. Hanya dua pilihannya, bertahan dan mati karena tidak bisa bernafas atau terseret ke permukaan.
Pilihan pertama tentu walau menyeramkan, tetapi lebih menantang dan bermartabat baginya (Ia tidak rela menyerahkan diri). Namun tenaga yang menipis membuatnya harus tunduk pada jaring semakin kuat menarik.
"Wahaha, tangkapan yang besar!" sorak mereka mendapati si gadis dengan tubuhnya yang lunglai. Eira menggeliat marah ketika tubuhnya dibanting paksa di tanah seperti ikan tangkapan.
"Harus kuakui idemu memanfaatkan pengendalian kreatif, Nak, tetapi banyak kejanggalannya." Jari gempal itu mengarah ke kusen jendela kamar Ayah dan Ibu. "Jendela yang menjeblak terbuka dengan danau di bawahnya. Ke mana lagi memangnya? Tentu saja kamu tidak terbang dengan pengendalian yang buruk kan?"
Bahu Eira hanya bergetar sebagai balasan. Energinya cukup terkuras. Permukaan tanah yang menyambutnya kokoh sama sekali tak membantu. Memperburuk malah. Ibu akan marah jika melihat tubuhku dipenuhi memar.
Tangannya menggapai tali-temali jaring, berusaha menyelidiki apakah ada serat yang rapuh dan sejenisnya. Sementara itu, kesadarannya jatuh timbul bersamaan dengan obrolan ringan para pasukan.
"Ayo kita pulang. Pangkat baru menunggu kita!" ujar salah satu pasukan tadi. "Margon, angkat si bocah!"
Margon, si prajurit bertangan lebar sudah mengangkat Eira ketika sekawanan burung menyerangnya. Tubuh Eira pun kembali berdebam ke tanah. "Ouch!" pekiknya.
Tubuh ceking yang tidak cocok dengan tangan si prajurit itu melenting-lenting mengusir Birdy dan saudara-saudarinya. Jeritan marahnya melengking ketika Ibu Birdy menjepit hidungnya sampai memerah. Si prajurit yang tadi kini memarahinya karena berlambat-lambat. Tubuh lemas Eira kembali diangkat cepat melewati pepohonan yang anehnya mengeluarkan asap dingin.
Mereka baru beberapa langkah dari rumah ketika jeritan lagi-lagi terdengar. Ketika menemukan bahwa salah satu prajurit tewas dengan satu panah menancap di kepala, "PENYERGAPAN!" pasukan itu sigap membentuk formasi segi lima dengan Margon yang menjinjing Eira di tengah.
Suhu sekitar menurun drastis. Andai jaring sedikit lebih longgar, Eira ingin menyerap keluar air danau yang memberati jubahnya agar tidak terlalu dingin. Rerumputan di tanah mulai diselimuti embun beku, begitu pula dengan dedaunan pohon. Sebagian dari mereka baru saja mengangkat tangan ketika dua prajurit jatuh diembat panah.
Mendadak dari atas pohon meluncur sesosok berjubah abu-abu. Wajah yang ditutupi masker membuat tatapan tajamnya mencolok. Prajurit yang memegang senapan tidak sempat menembak, apalagi melemparkan pengendaliannya. Sosok itu telah mengayunkan tinjunya. Jatuh satu, Ia kembali bergelayut menghindari serangan dari prajurit yang tersisa. Mereka jauh lebih siap. Perlawanan satu lawan tiga pun tak dapat dihindari.
Eira mengerjap-ngerjap. Tubuh Margon yang berdiri gemetar membuatnya sulit fokus melihat. Yang pasti, sosok misterius itu telah mendapat jotosan dua kali.
Salah satu prajurit menerbangkan sosok itu mundur. Sayangnya, langkah itu justru memberikan jalan bebas bagi si panah untuk menembus jantungnya. Satu jatuh, dua tersisa. Sosok itu melompat ke salah satu prajurit yang langsung melayang salto. Tanpa main-main, dia langsung ikut bergelayut dan mematahkan leher prajurit itu. Si sosok mendarat dengan sempurna sementara Si Leher Pengkor terjatuh dengan erangan.
Sang sosok berjubah abu sudah siap beraksi kembali. Namun ternyata, prajurit yang ini tidak enggan memberi perlawanan ekstra. Ia menjauhkan kakinya beberapa jengkal sebelum memutarnya cepat. Bersamaan dengan itu, tangannya mendorong keras ke depan menciptakan tornado yang menangkap sosok itu. Tanpa ampun sang tornado terus membesar dan berputar.
Eira merintih pelan, berharap agar sosok itu selamat, meski Ia tidak tahu apakah niatnya jahat atau baik. Tetapi keyakinanya meluruh seiring dengan Margon yang semakin kencang berteriak memberikan semangat.
Prajurit itu jelas sengaja berlama-lama memamerkan tornadonya sebelum melengkungkannya menjadi bola. Sontak kesempatan muncul dan tangan si sosok yang berhasil menembus itu melancarkan pengendaliannya.
Ketiga orang—termasuk Eira menatap kaget ketika sebuah percikan putih muncul dan mengkristalkan bola udara itu menjadi embun beku. Sosok itu mendarat mulus di atas tanah dan langsung membuat perlindungan ketika sang lawan melempar teknik Pisau Angin.
Tatapan mereka semakin kaget ketika menyadari perlindungan itu terbuat dari es. Orang itu mendengus, mengusap darah di pipinya. Ternyata satu angin berhasil lolos mengenainya.
"Teknik Couventeau? Beraninya!" suara khas lelaki yang baru akil balig terdengar. Kini tangannya terangkat marah. Embun beku yang seketika mengelilingi mereka telah membuat suhu semakin menusuk indera. Margon kembali gemetar, bahkan lebih keras.
Mendadak tanah merekah membentuk jarum lebar yang menusuk si prajurit yang tersisa dan Margon. Tubuh Eira langsung terlepas dan untungnya kali ini disambut setumpukan salju yang empuk.
Gadis itu terpana. Setengah takut melihat Margon yang kini bergelantungan tanpa nyawa, setengah takjub terhadap es dan salju di sekitarnya yang berbahaya tetapi mengagumkan.
Seorang lagi turun dari pohon yang berbeda dengan jubah yang sama. Ia mendarat berkacak pinggang. "Usahakan agar tidak ada pengendalian, kata Ibu. Apa kamu sudah lupa?" omelnya sembari menyandangkan panah ke punggungnya.
Si sosok yang ternyata lelaki itu membuka tudung dan maskernya. "Ya, usahakan Sha. Tetapi panah terlalu lambat. Kau pikir sekali dihempas angin, tidak terlempar?"
Sembari bergumam kesal membenarkan, si pemanah mendekat dan mengacungkan pisau. Raut Eira tegang sebelum Ia menyadari pisau itu memutuskan jaring-jaring sampai badannya terbebas. Sehelai dua helai rambut hitam kebiruan melenggang keluar dari tudungnya. Pantas saja suaranya lebih halus, ternyata pemanah itu perempuan, pikirnya.
"Hai," sapanya saat menyadari raut waspada Eira. Wajah gadis itu tidak ditutupi masker sehingga senyumnya jelas terlihat.
Si lelaki yang berambut hitam keabuan mendekat. "Tidak perlu takut. Kami datang dengan tujuan baik." Jika diamati dari postur tubuhnya, dirinya dua atau tiga tahun lebih tua dari Eira.
Tak kunjung mendapat respons, lelaki itu lanjut berbicara dengan raut yang lebih hangat. "Uh, oke, namaku Alan. Dia adalah Sasha, temanku. Salam kenal—siapa namamu?"
Eira menghela napas sebelum kembali menguasai diri. "Eira. Dan terima kasih telah menyelamatkanku tetapi ... bagaimana kalian tahu dan mengapa?"
Sasha duduk di tanah dengan senyumnya yang lebar. "Kau mungkin tidak tahu, tetapi dalam ramalan, dirimu cukup digembar-gemborkan!" Eira langsung menunduk. "Aku tahu aku darah campuran yang tidak diinginkan.
"Ya, eh, bukan. Bukan itu maksudnya!" Sasha bersemangat tetapi bungkam saat Alan menatapnya kesal. "Maaf, terlalu bersemangat."
"Begini Eira. Kamu adalah hasil percampuran elemen air dan angin. Hal ini logisnya membuatmu tidak asing dengan keduanya. Apa benar?" Yang ditanya Alan membenarkan.
"Ternyata campuran itu juga melahirkan elemen baru darimu." Alan tak memberikan kesempatannya untuk membalas. "Cara kami mengetahui? Seharusnya hanya peramal Venteu dan Oseau yang mendeteksimu, tetapi peramal kami juga. Itu berarti ada kehadiran baru di klan kami. Kamu juga penduduk kami!"
"Aku ... penduduk dari ... kalian klan apa?"
Alan nyengir sementara teman perempuannya terkikik. "Tidakkah kamu menyimpulkannya dari pertarungan kami yang spektakuler, Nona Kecil?" ujar Sasha.
"Mereka telah menebas kami tanpa ampun. Mereka kira kami punah. Nyatanya kami selalu mengawasi di antara awan beku. Kamilah Froideau atau Klan Salju."
Eira terpana sekaligus mengernyit. "Eh, tapi aku tidak bisa—Tunggu." Sasha dan Alan berbinar menunggu. "Embun beku yang mendadak muncul di pohon, apakah itu aku?"
Tatapan 'bisa jadi' mereka membuat Eira tertarik dan berdiri. Hasilnya, Ia segera ambruk ditahan Alan. "Maaf...," gumam Eira sayup.
"Te-tetap saja. Mereka ingin membunuhku. Aku hanya akan membahayakan kalian!"
Alan mengangguk paham. "Tidak apa-apa. Bagaimana jika kita membuat janji? Aku akan selalu melindungimu dan nanti pada saatnya, kamu juga. Oke?"
Tatapan lelaki itu menghangat mendapati anggukan kecil Eira. Ia langsung berjalan sembari menggandengnya. Eira tidak memberontak, justru mendekatkan tubuhnya ke sosok pelindungnya. Sasha mengekor sambil tersenyum kecil.
"Tahan sebentar ya, Eira. Sampai di kapal, kamu bisa beristirahat. Daerah Froideau berada di barat perbatasan Oseau."
Eira hanya mengikuti dengan termenung. Sejauh yang Ia lihat, orang-orang ini baik tetapi pikirannya tetap terasa penuh. Dalam sehari, Ia mengetahui identitasnya yang ilegal, orang tuanya ditangkap, dirinya sendiri juga nyaris tertangkap, lalu tiba-tiba Klan Salju muncul seperti hantu. Eira tidak tahu misteri apa lagi yang terbentang di depan. Namun, semoga saja di daerah baru itu Ia bisa mencari cara untuk menemukan orang tuanya kembali dan menyelamatkan diri.
————————
Teknik Couventeu: teknik pisau angin; melempar angin kecil secara tajam hingga menimbulkan sensasi setajam pisau jika mengenai suatu objek
————————
(semoga kalian menikmati petualangan yang berlanjut setiap hari Senin ini)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top