Satu: Si Air dan Si Angin
"Bagaimana ini?!"
Seorang lelaki dengan jubah megahnya kini berseru-seru marah. Di kepalanya bergelayut erat sebuah mahkota dengan enam cabang lancip. Sebuah batu safir terpahat di sisi depannya. Yah, bisa dikatakan orang yang nampaknya raja itu adalah penggila safir. Kamu bisa melihat batu itu di kalung, cincin, dan gelang di kedua tangannya. Dia adalah Raja Klan Venteu, Raja Hubert.
"Ini akan mengancam keseimbangan dunia. Hei Arlux, mengapa engkau hanya diam?" kini Ia melampiaskan kemarahan kepada raja di depannya. Raja itu tidak dikelilingi oleh bebatuan mineral. Namun jubah biru kelamnya tak kalah megah, begitu pun mahkotanya yang diukir sedemikian rupa hingga menyerupai gulungan ombak. Satu hal yang terasa berbeda yakni kewibawaan dan kebijakan raja yang satu ini jauh lebih terasa meski kamu baru menatap surai rambutnya yang memutih.
"Yah begini wahai Raja Hubert, aku percaya panik berlebihan tidak akan menyelesaikan masalah," ucap Raja Arlux, sang Raja Klan Oseau hangat. "Lihatlah, sejak aku baru sampai hingga masuk ke ruangan pertemuan yang mewah ini, tidak ada satu sapaan pun kudengar."
Mendengar sindiran itu, Raja Hubert langsung berdeham. "Maafkan aku, Raja Arlux. Lama tak berjumpa." Mereka berjabat tangan sebelum duduk berhadapan di salah satu kursi. "Sekarang cukup basa-basinya. Kau merasakannya juga kan?"
"Hm, aura Mélanger yang nampaknya dari air dan angin itu ya? Tentu saja. Bola peramal memberikan tontonan cahaya yang hebat kemarin malam," jawab Raja Arlux santai. Memang semenjak peraturan itu dibuat, peramal dari masing-masing klan diberi kewajiban untuk mengawasi dan melaporkan kehadiran darah campuran.
"Hal ini harus disikapi dengan serius. Pelanggar hukum itu harus ditangkap!" seru Raja Hubert. Lambang angin di lehernya terlihat bercahaya.
Arlux tertawa pahit. "Tentu Hubert. Tetapi kita tidak benar-benar membahas tentang pasangan pelanggar hukum ini kan?" Yang ditanya terdiam, seakan bertanya balik.
"Aku yakin kamu lebih meletakkan perhatian kepada Sang Mélanger. Kehadirannya sangat tabu bagi dunia kita." Ia menatap dalam kalung safir lawan bicaranya. "Tetapi kamu jauh lebih takut padanya karena gulungan takdir itu. Kau takut takhtamu diambil, seperti ayahmu."
"Oh, berlagak tahu segalanya lagi, Arlux?" Arlux hanya tertawa miring.
"Dengar, aku tahu kerajaan kita sering bertolak belakang. Tetapi apalah nasib, kita harus bertemu lagi. Sebagai pemimpin yang aku akui tua dan telah banyak makan garam, apa yang menurutmu harus dilakukan?" pinta Hubert sesopan mungkin.
Arlux menopang dagu. Ia melirik chandelier yang tergantung kuat di atas kepala Hubert. "Aku tahu gerakanmu cepat, yah, Raja Arlux. Kau pasti sudah bertindak sebelum ini kan?"
Pertanyaan itu benar adanya. Memang sudah, tetapi apa yang Ia dapat justru memberatkan hati. "Aku sudah menyuruh orang untuk mencari tahu pasangan itu. Tepat sebelum aku ke sini, laporannya sudah ada."
Si Raja Klan Angin mengepalkan tangan puas. "Bagus. Berarti kita bisa segera mendatanginya!" Ia terdiam sebentar.
"Sekali lagi wahai Raja Arlux yang bijak, sehancur apapun hubungan kita dengan sekian banyak perang, tak bisa kupungkiri pengalaman bertahun-tahunmu." Arlux mendengus pelan. Ia tahu kalau sosok ini memanis-maniskan omongan, ada yang diinginkannya.
"Tentu aku akan membagikan data, lokasi, dan sebagainya, Hubert. Tetapi saranku pribadi adalah―," perkataannya dipotong oleh tawa maniak si lawan bicara. "Itu dia yang aku inginkan! Ohohoh, sungguh engkau pemimpin yang bertanggung jawab, tetapi tidak perlu repot-repot...."
"Aku tahu kau adalah orang yang berhati lembut dan sungguh manusiawi. Benar kan?" tanyanya sembari mengangkat bola aluminium yang ganjil di antara pajangan safir. "Kemanusiaan dan keadilan keduanya harus ditegakkan, Hubert."
Lagi-lagi Hubert tertawa. "Ah tentu saja. Baiklah, atas dasar kemanusiaan, mari biarkan keluarga bahagia ini hidup dalam ketenteraman. Lalu setelah sang bayi berumur dua belas tahun...." mendadak tangannya terayun bersamaan dengan bola yang meluncur dan memecahkan cermin hingga berkeping-keping. "Keadilan. Persis seperti aturan adat," bisiknya licik.
"Tenang saja, Arlux. Sebagian besar akan kuurus. Dengan lenyapnya si Melanger, gulungan takdir itu bualan semata."
Arlux mematung. Tangannya tergenggam erat, berusaha menyembunyikan keringat yang menderas. Ia tahu jelas keambusiusan raja di depannya ini kembali tak bisa dikendalikan. Hubert itu gila kekuasaan. Cara kotor pun akan ditempuhnya dengan dalih aturan adat.
Pertanyaan demi pertanyaan berkecamuk di otaknya. Gadisnya dalam bahaya namun tak bisa Ia selamatkan. Benarkah Mélanger ini akan menyelamatkan dunia dari perpecahan? Apa mungkin Ia sanggup melawan keadilan aturan adat? Tetapi... memangnya keadilan benar-benar ada dalam aturan itu?
(petualangan berlanjut setiap hari Senin)
(maaf ya bagian-bagian awal masih pendek karena baru perkenalan. semoga suka)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top