Empat: Klan Kuno
Aroma rerempahan mengepul dari masakan Ibu.
"Ibu masak apa hari ini?" tanya Eira mengintip bersemangat. Yang ditanya hanya menggeleng tersenyum. Mereka duduk di bibir pantai menunggu kapal Ayah bersandar.
Eira baru saja mengibaskan pasir dari sekumpulan kerang ketika ibunya beranjak menjauh. Ia menoleh. Kompor telah lenyap.
"Ibu?" panggilnya bingung. Ibu terus berjalan ke arah lautan yang sunyi. Eira berusaha bangkit mendekatinya, tetapi baru saja berlari, Ia menabrak tembok tak kasat mata.
Teriakan bertanya-tanya yang keluar tidak diindahkan Ibu. Kini Ia sampai di perbatasan pasir dan air. Tepat saat itu, ombak menggelora. Mereka melambai-lambai memanggil.
Tangan Ibu mengepal seakan menguatkan diri. Kemudian, Ia terus berjalan memasuki bibir ombak yang menganga.
"Tidak! Jangan!" Eira meninju-ninju tembok itu tetapi tak sedikit pun celah keluar muncul. Perintahnya kepada ombak untuk tidak bermain-main pun tidak diacuhkan. Akhirnya tubuhnya merosot putus asa. Tarian gelombang sudah lenyap tanpa mengembalikan tubuh Ibu sedikitpun.
"Ini demi keturunanku."
***
Aroma yang menarik menggelitiki perut Eira untuk bangun. Ia menghela napas lega. Semua hanya mimpi.
Namun, ruangan yang asing itu menegaskan bahwa sebagian besar hal yang Ia alami nyata. Matanya kaget menatap jaket biru tua yang sebelumnya tidak membalut badannya. Lalu tatapannya mengitari ruangan unik yang Ia tempati. Dinding-dindingnya terbuat dari susunan balok es yang menjulang dengan balok kayu kokoh di setiap ujungnya sebagai tonggak. Luasnya sedang, cukup untuk diisi dua kasur—salah satunya yang dia tiduri, serta sebuah cermin dan lemari.
"Aku benar-benar di dunia lain," gumamnya pelan sambil melangkah ke pintu. Dari aromanya, sepertinya ada yang memasak ayam panggang dan perut Eira sudah berdecak tak sabar. Semoga siapapun yang memasak cukup ramah untuk membiarkannya mencicipi sedikit.
SRING! Pintu itu berdesing ketika disentuh. Eira kaget merasakan tangannya menembus tanpa perlu membuka pintu. Lebih kaget lagi ketika jelas-jelas kepala bersurai hitam keunguan menyembul masuk.
"Eh, maaf. Aku tidak bermaksud mengejutkanmu!" kata Sasha melihat tangan Eira sudah mengacung-acung ketakutan. "Ini sebenarnya tirai dari surai-surai salju yang sangat rapat hingga terlihat seperti papan pintu. Belum pernah melihatnya ya?"
Eira menggeleng sembari tertawa gugup. Tentu saja Eira Aneh, mana mungkin ada hantu. Ia mematuhi isyarat untuk mengikuti Sasha keluar dan suara dentingan panci, spatula, dan peralatan masak lainnya pun terdengar. Hebatnya, sebagian besar dari mereka melayang melempar diri ke tempatnya masing-masing.
Seorang wanita berusia tiga puluh tahunan yang mengaduk-ngaduk isi panci menyapa. "Halo, sudah cukup segar?"
"Ah, anda bisa telekinesis. Apa anda dari Venteu?" tanya Eira balik.
"Astaga tidak Nak. Memang kesamaan teknik bisa terjadi pada elemen yang berdekatan, tetapi aku juga Froideau seperti yang lain." tangkasnya sebelum menyodorkan semangkuk bubur dengan potongan ayam panggang. "Anak-anak memanggilku Ibu Aevi. Aku ketua klan ini. Makanlah dulu."
Ketua? Eira langsung berlutut sampai-sampai Sasha yang baru menyuap tersedak. "Tidak Eira, tidak perlu begitu. Di sini, kita semua sama. Iya kan Bu?" kata Sasha geli setelah menandaskan segelas penuh air.
Yang ditertawai hanya kikuk menuju meja makan. Dia pikir setiap pemimpin suka disembah. Toh, Ia merasa tidak sopan mendadak menumpang di rumah sang pemimpin. Apa Ibu Aevi yang memerintahkan penyelamatannya?
Jubah biru pucat Ibu Aevi melambai ketika meletakkan gelas. "Limun hangat," jelasnya. Eira berterima kasih dan langsung meminumnya. Menyegarkan! Limun ini nampaknya diberi beberapa jumput gula serta bubuk jahe untuk menambah sensasi hangat. Buburnya juga tak buruk.
Ruangan ini kurang lebih seperti kamar tidur sebelumnya. Bedanya, ada beberapa dinding es yang ditutupi kayu dengan corak terang, juga renda meriah yang mengelantungi plafon rumah. Di sisi kanan, terdapat kabinet yang menempel rapat dengan kompor dan bak cuci. Di atasnya bertumpukan piring, gelas, dan peralatan dapur lain. Sedikit jauh di sebelah kiri terdapat sebuah sofa panjang, juga beberapa bantal dan buku bertebaran di lantai berubin pucat. Di depannya, bersandar sebuah meja pendek dengan satu bingkai foto yang dikelilingi kertas-kertas kusam. Di bawah meja tersebut muncul lidah-lidah api yang anehnya tidak melelehkan kotak es yang mengurungnya. Jika dipikir, kecuali dindingnya yang berbalok es, tidak ada yang cukup menonjol sebagai tempat tinggal Ketua Klan.
Kepingan-kepingan putih di luar jendela menarik perhatian Eira. "Woah!" pekiknya bersemangat. Tak beberapa lama, Alan masuk masih dengan jubah keabu-abuan. Pintu masuknya terbuat dari kayu asli, ngomong-ngomong.
"Siang Alan. Kenapa kamu belum mengganti jubah pengintaimu?" tegur Ibu Aevi. Si remaja tanggung menyapa kembali dan menjelaskan kalau Ia masih harus melakukan beberapa hal tadi. Dengan santai, Alan langsung mengambil buburnya.
"Alan hidup di rumahnya sendiri, tetapi kadang memang menumpang makan," bisik Sasha menjelaskan. "Oh ya, mantelmu itu kudapatkan dari ranselmu. Ini." Ia mengambil ransel darurat Eira dari gantungan mantel dan memberikannya.
Eira berterimakasih dan membukanya sembari mendengarkan tawaran Ibu Aevi untuk membuatkan mantel baru yang lebih tebal. Di dalamnya terdapat sebuah tali, pisau lipat, dan sebuah buku bersampul cokelat. Butuh beberapa waktu sampai goresan nama Ibunya terlihat. Demi itu, Eira mengingat kembali tujuannya.
"Maaf Ibu Aevi, tetapi tahukah Anda kalau orang tuaku diculik?"
Suasana melenggang. Ibu Aevi menurunkan gelasnya. "Ya Eira, aku tahu. Sayang sekali untuk sekarang, tidak ada yang bisa aku lakukan."
"Ta-tapi Anda Ketua Klan! Anda bisa menyelamatkan saya. Seharusnya Anda juga bisa membicarakannya dengan pemimpin-pemimpin lain!"
"Tidak bisa, Nak!" bantah Ibu Aevi. "Tidakkah kamu bertanya-tanya mengapa kami harus menyelamatkanmu secara diam-diam? Karena kami hidup secara diam-diam pula. Berkontak dengan klan luar akan membuka topeng dan membahayakan rakyatku. Dan itu sangatlah tidak menguntungkan jika hanya untuk pasangan yang mengotori aturan adat!"
Eira tercekat. "Jadi Anda juga memercayai nilai aturan itu?"
"Ya—Tidak, maksudku ...," Ibu Aevi berdeham sebagai respon terhadap tatapan marah putrinya dan bibir Alan yang terus bergerak gatal. "Froideau tidak dalam keadaan yang aman. Tidak semenjak tragedi kelam itu."
Dengan satu jentikan, replika pulau putih terbentuk. Pulau itu sekilas seperti bebek berparuh pendek dan tanpa kaki.
"Saat Masa Damai, semua elemen hidup berdampingan. Air, angin, api, tanah, dan juga salju." Lima keping es berlambang masing-masing klan muncul. "Masing-masing perwakilan elemen yang paling berkuasa mendirikan kerajaannya. Ada yang menjadi raja, ratu, atau ketua yang dibimbing peramal. Meskipun begitu, tidak ada batasan apapun. Semua bebas berkunjung. Pernikahan campuran pun dipandang biasa."
"Persatuan itu terusik setelah peramal dari kelima klan terus-menerus mendapatkan penglihatan tentang bayi campuran Froideau yang menjadi pemersatu dan menjahit luka pepercahan di antara klan. Belum genap sehari semua pemimpin diberitahukan, kabar ini tersebar di telinga masyarakat." Penjelasan terpotong oleh bersin kecil Sasha.
"Orang-orang bersukacita, berpikir bahwa bayi itu yang akan menyelesaikan ketidakadilan beberapa pemimpin lampau. Namun, Raja Venteu di masa itu tidak sependapat. Alastain justru merasa takhtanya tarancam."
"Ia terobsesi mendengar ramalan itu berulang-ulang dengan harapan telinganya menangkap hal yang berbeda. Di usahanya yang kesekian, Alastain mengamuk dan melempar bola kaca itu hingga mengenai Si Peramal. Tanpa mengacuhkan rintihan peramal tersebut, Alastair mengambil perkamen dan menulis. Tinta pertama yang menodai perkamen menjadi saksi bagaimana Alastain kemudian menghabisi Froideau dalam sekali kunjungan. Bahkan bayi dan balita juga ditebas. Klan itu ... tiada ampun."
Ibu Aevi tercekat. Sasha segera mengisi gelasnya dan menyuruh ibunya minum. Eira menunggu kelanjutan cerita itu dengan jantung yang berdebar kencang.
"Gerakan itu Alastain lakukan dengan tanda tangan dua pemimpin klan, meski mereka seharusnya menyesal karena bulan selanjutnya Alastain yang belum puas memimpin pembunuhan massal anak campuran berumur delapan tahun ke bawah."
Mata Eira memerah. "Tentu dia sudah memperhitungkan kemungkinan lahirnya Froideau dari percampuran dua elemen. Namun, tak pernah Ia perhitungkan berapa banyak orang tua yang menangisi anaknya, berapa banyak saudara-saudari yang dihinggapi trauma. Oh tentu saja tidak, raja keparat itu lebih sudi memikirkan kekuasaannya sendiri."
"Hal itu memantik kemarahan masyarakat. Mereka mulai melihat klan lain sebagai musuh. Mereka membuat batasan daerah masing-masing dengan lebih jelas. Daerah tengah yang dipenuhi hutan rimbun adalah Wilayah Netral, wilayah tanpa kekuasaan di mana orang-orang bebas lewat." Bersamaan dengan itu, bagian tengah replika mengabu. Kemudian kepingan lambang—kecuali Froideau— berpindah ke posisinya.
"Di arah timur, Istana Venteu berdiri sombong hanya untuk menerima kenyataan bahwa sang raja meninggal keesokan harinya. Di antara tenggara dan selatan, Kerajaan Oseau menyampaikan penolakan melalui untaian sungai terhadap kerajaan Venteu. Sebaliknya, Feu yang memiliki keuntungan dengan pulau pribadinya di timur laut mendukung Venteu terang-terangan. Dan yang terakhir, Sole memutuskan untuk bungkam di daerah barat yang tinggi dan berbatu. Sejak saat itu larangan pernikahan campuran dikumandangkan, dan sebutan Mélanger menjadi terkenal."
Kepingan lambang Froideau masih melayang lemas sebelum tertarik cepat ke antara wilayah Oseau dan Sole. "Wilayah bersalju di sebelah barat daya Wilayah Netral dibiarkan tak berpenghuni, menguap, hingga Froideau tak diingat lagi. Namun, yang tak diketahui orang, Froideau sudah lebih siap, mereka memiliki tempat persembunyian khusus yang berhasil menyelamatkan seperempat rakyatnya. Yang tersisa akhirnya kembali hidup dan beroperasi dalam diam. Untungnya juga tak ada yang berminat mengecek onggokan salju kami."
"Berarti, kabar bagus bagi kita kan kalau rajanya meninggal?" tanya Eira penuh harap.
Dua dengusan terdengar bersamaan. "Bagus kalau penerusnya tidak lebih parah. Hih, Hubert tamak itu, siapa yang tidak tahu kalau Ia meracuni ayahnya?" gumam Sasha yang sebagai anak ketua, banyak tahu. "Eira, dialah yang memimpin rencanamu ini. Dia mungkin sudah membunuhmu sejak lahir kalau tidak ada penghalang seperti si Raja Air."
Bibirnya mengatup dipelototi ibunya. Lalu Ibu Aevi melanjutkan, "Kami membangun kembali tempat hidup kami secara kecil-kecilan. Selain itu, kami juga terus melakukan pemberontakan. Harus dibayar mahal tentunya karena lebih banyak darah yang tertumpah dan tempat kami harus hancur beberapa kali."
"Hingga akhirnya, ketua Froideau sebelumnya ditangkap saat menyusup ke istana Venteu," tangan wanita itu terkepal erat. "Mereka membunuh suamiku. Tidak ada yang tahu ke mana jenazahnya dibuang."
"Kemudian aku diangkat menjadi ketua, dan aku berjanji akan menghentikan segala aktivitas yang membahayakan rakyatku. Masalahnya, lima tahun setelah Masa Damai berakhir, dua insan terlalu ceroboh, hingga mengabulkan apa yang ramalan inginkan. Kasarnya, mereka menyia-nyiakan pertumpahan darah kaum kami. Dan aku tak akan berbohong, aku tidak mendukung mereka."
"Aku tidak ingin menyalahkanmu. Aku berjanji akan menjagamu, melatihmu hingga menjadi Froideau yang berbakat dan berani. Aku akan menyiapkanmu untuk menghadapi yang terbentang di depan, tetapi hanya sampai situ, tak bisa lebih lagi, apalagi sampai membahayakan yang lain. Maaf."
Mendadak tangan Ibu Aevi memegangi bahunya pelan. Ia merasakan kesedihan yang diselubungi pendirian teguh. Demi itu, Eira membalas, "Aku paham. Terima kasih telah menerimaku, Ibu Aevi."
Setulus apapun suaranya, mau tak mau pikirannya terus bergelayut sampai kini Ia duduk di lahan kosong penuh salju. Pemandangan rumah warga cukup jauh untuk menyabet perhatian dari satu dua pepohonan yang menjulang dihiasi tetesan-tetesan air beku. Dia tidak akan bohong, warga lain cukup ramah untuk menyapa, meski belum mengenalnya.
Awalnya Eira mengira masalahnya dapat ditangani oleh Ibu Aevi. Sayang, harapannya salah besar. Manik matanya terus mengamati gletser dan bukit-bukit di sekitar sebelum seseorang ikut duduk di sampingnya. "Banyak pikiran eh? Tentu saja. Terlalu banyak kejadian dalam satu hari," oceh Alan menjawab sendiri pertanyaannya.
"Aku menyebabkan kehancuran sejak aku belum ada."
Alan menggeleng. "Tak usah terlalu dipikirkan."
"Tidak," balas Eira kalem. "Aku sudah menerimanya. Terserah lah apa aku mau menjadi apa, tetapi tak bisakah aku paling tidak menyelamatkan Ayah dan Ibu? Tidak, maaf, aku membual lagi. Aku tidak boleh menyusahkan kalian."
"Jangan minta maaf." Perhatiannya kembali kepada Alan. "Hal yang benar kalau kita ingin menyelamatkan orang yang kita cintai. Aku juga akan melakukannya ... kalau bisa."
Eira tersenyum sebentar sebelum berdiri dan melompat-lompat kecil. "Nanti kita pasti bisa. Sekarang aku ingin lebih mengenali klan ini, boleh?"
"Tentu. Sebenarnya aku ke sini juga mau mengajakmu. Ayo!"
Mereka berjalan beriringan kembali ke daerah perumahan. Dengan semangat, Eira mendengarkan penjelasan Alan. Alan yang tak kalah berapi-api, menyisipkan guyonan di setiap penjelasannya.
"Sebenarnya rumah yang tersisa tinggal sedikit. Kau tahu, semenjak banyak yang gugur, rumah mereka akan dibiarkan kosong sampai roboh sendiri," jelasnya sambil menunjuk salah satu patahan kayu yang menyembul dari tumpukan salju.
Kira-kira ada lima belas sampai dua puluh igloo balok bertonggak kayu di sekitar. Agak aneh untuk dipikirkan karena biasanya igloo berbentuk setengah bola. Satu-satunya yang berbentuk normal terletak agak jauh dari perumahan. Dindingnya berbatasan dengan danau kecil, satu-satunya mata air di daerah perumahan yang tidak membeku.
Sayangnya, sebelum Eira sempat menyinggung rumah itu, mereka sudah berkelok melewati igloo hingga berhadapan dengan sebuah bangunan berkubah lebar seperti jamur.
"Biasa kami menyebutnya dengan Aula Kota, meski perumahan ini tidak cukup besar untuk jadi kota sih. Di dalam bisa digunakan sebagai tempat baca, klinik, tempat pertemuan, dan penjara."
"Penjara?"
Alan mengangguk. "Untuk jaga-jaga jika ada buronan atau penyusup yang berhasil diringkus. Belum pernah ada yang menempatinya sih."
Sekarang mereka berjalan kembali menjauhi perumahan. Tak lama, salju kembali turun menyelimuti mantelnya. "Salju!" pekiknya sebelum berlari-lari kegirangan. Anak dua belas tahun manapun akan bersemangat menyentuh salju pertamanya.
Blak! Sebuah bola salju menepuk hidungnya. "Whoopsie, salah sasaran. Tidak apa, Ra?"
Pertanyaan itu justru membuatnya tertawa lepas. Mengacuhkan hidungnya yang memerah, Eira langsung tertatih mengambil sekepal salju dan melemparnya. Tawa keduanya kembali meledak ketika lemparannya malah mengenai semak kering di samping Alan.
"Dibidik dulu dong, Eira. Baru dilempa—Ekh!" pekiknya kaget ketika sekepal salju juga mendarat di hidungnya. Gadis yang melempar berdiri bangga sebelum kembali berlari senang. Ia sangat gesit sampai-sampai Alan yang hanya berbeda dua tahun darinya harus menunduk kelelahan.
Eira terus berlari, mendaki gundukan salju tebal sembari berseru, "Ayolah Alan. Kejar aku!"
Namun mendadak, tubuhnya merosot ke bawah. Gundukan salju yang ternyata ujung tebing itu patah!
"Eira!" seru Alan panik meratapi lenyapnya tubuh Eira. Sebelum Ia sempat melancarkan pengendaliannya, tubuh Eira sudah kembali melambung ditahan kepingan es jumbo. Tubuhnya yang dilemparkan ke gundukan rata langsung dipeluk Alan.
"Astaga Eira, syukurlah. Lain kali jangan begitu dong. Aku sangat khawatir!" Eira hanya mengangguk kaku. Jantungnya masih berdebar kaget.
Di saat yang sama, sebuah suara mungil muncul, "Jaga adik kecilmu dengan lebih baik, Alan!"
Gadis berkuncir dua itu menyilangkan tangan setelah mendarat dari kepingan salju yang mirip dengan kepingan salju sebelumnya. Mata Alan sama bulatnya dengan Eira sebelum berkata, "Terima kasih, Lacie." Kemudian lelaki itu sibuk mengecek adakah luka atau goresan di tubuh Eira sambil mengeluh perihal semakin banyak orang yang menyebut Eira sebagai 'adik kecil Alan' padahal mereka baru kenal.
Tidak mendengar, perhatian Eira justru jatuh pada putihnya rambut gadis itu. "Kenapa? Rambutku seperti nenek-nenek?" pekiknya gusar.
"Eh tidak. Cantik malah," sahut Eira gelagapan. "Namamu Lacie ya? Kamu lucu sekali!" Mata abu-abunya langsung memicing tajam menahan tangan yang hendak menyentuh kepalanya. "Hei hei, jangan bertingkah seakan aku bocah! Aku ini sudah mau sebelas tahun!"
"Dan ya, Lacie dari Glacier. Sekarang kamu akan bilang namaku seperti nama lelaki kan?!" tuduhnya lagi.
"He, tidak kok. Berarti kamu hanya lebih muda setahun dariku. Namaku Eira!" Ia menjulurkan tangan. Lacie hanya menatap sesaat sebelum beranjak menjauh.
"Harus pergi. Sampai jumpa di Pesta Perkenalan!" pamitnya sebelum melompat ke jurang. Alan sudah menahan tangannya, sebelum Eira sempat menyusul kaget. "Lacie memang suka bermain di jurang itu. Dia akan baik-baik saja dengan kekuatannya."
Eira mengangguk sembari mengekori Alan. Kali ini tangannya digandeng, mungkin supaya Eira tidak berkeliaran. "Apa itu Pesta Perkenalan, Alan?"
"Untung saja kalian mengingatkan. Ibu Aevi bakal marah kalau aku lupa mengatakannya," Alan menepuk dahi. "Jadi nanti malam diadakan acara makan malam bersama. Konon, dulu pesta ini diadakan untuk menyambut bayi lima bulan di masyarakat Froideau. Ini menjadi ajangmu untuk berkenalan dengan yang lain."
"Ma-makan malam formal kah?"
"Sederhana kok. Tenang saja."
Mereka berkeliling melewati bebatuan es. Eira penasaran sejauh mana mereka harus berjalan sampai menemukan wilayah Sole, Netral, atau Oseau. Tidak mungkin sedekat itu kan? Kalau iya, perumahan ini pasti lebih tersembunyi.
Mereka kembali berhenti sebentar untuk bermain-main. Namun, hal yang paling menggugah perhatian Eira adalah ketika sebuah bola salju muncul dari telapak tangan Alan. "Wow!" bisiknya sebelum memekik semakin kencang ketika bola salju itu mengikis diri menjadi sekuntum bunga.
"Aku ingin menjadi pengendali salju," katanya.
"Kamu memang pengendali salju kok," balas Alan sembari memberikan bunga salju ke genggaman Eira. "Kamu hanya perlu berlatih saja supaya bisa."
Sisa siang itu akhirnya mereka pakai untuk berlatih teknik pengendalian salju. Karena Eira belum pernah bersinggungan dengan salju dan es sebelumnya, Alan menunjukkan teknik paling sederhana, membentuk bola salju. "Akan sedikit sulit untuk kamu yang bukan Froideau sejak lahir. Jadi, pakai dua tangan dulu ya!"
Tangan mereka segera terangkat di udara. Geraman terdengar dari bibir Eira dalam usahanya memunculkan bola salju. Alan berulang kali memegangi tangannya agar lebih teguh.
Tepat ketika mentari menuruni takhtanya, sepercik kemilau muncul dari tangan Eira. Kilauan itu hilang-timbul nyaris seperti petir sebelum meletup keras. Tidak ada yang muncul.
Alan nyengir melihat delikan mata Eira. "Tak apa. Kita bisa mencobanya lagi nanti. Besok kamu bisa mengikuti kelas pengendalian bersama anak lain."
"Ada anak lain?" Alan mengangkat bahu. "Yah, ada Callen, tetapi anaknya cukup mengesalkan. Kamu bisa melihatnya di Pesta Perkenalan. Ngomong-ngomong soal itu, ..." Tangannya menunjuk matahari yang tersisa seperempat. "sebaiknya kita pulang sebelum Ibu Aevi mencarimu. Ayo!"
Kepulangan Eira diisambut mantel baru buatan Ibu Aevi. Warna biru pucat yang berkolaborasi dengan sulaman es di lingkaran lengannnya cocok dengan bulu putih di bagian tudung.
"Astaga tidak perlu repot-repot, Ibu Aevi. Jaket lamaku sudah cukup," katanya yang langsung mendapat tolakan. "Tidak tidak, pakailah, Eira. Anggap saja ini hadiah selamat datang dariku. Lagipula, warna pucat lebih cocok untukmu."
Dengan enggan, Eira mengambilnya dan berganti di kamar. Matanya membulat ketika mematut diri di depan cermin. Mantelnya terkesan panjang, menjuntai membentuk rok selutut. Bulu-bulu juga menyembul dari balik rok. Celananya yang cukup tebal tetap dipakai.
"Oh wow. Mantelnya cocok sekali denganmu, Ra!" puji Sasha yang juga sedang bersiap-siap. Sebuah bandu biru kotak-kotak terselip cantik di kepalanya.
"Terima kasih."
Eira diam-diam menatapi jaket dari ibu. Ia memeluknya sebentar sebelum melipatnnya ke dalam tas. Baiklah Pesta Perkenalan, aku sudah siap.
***
PROK PROK!
"HEI HEI!"
Keramaian mengelilingi sebuah api unggun, yang lagi-lagi terperangkap dalam balok es. Sebagian besar dari mereka menari berdampingan. Sebagian lagi duduk santai sembari menikmati hidangan.
"Makanan yang luar biasa, Bibi Yanice!" seru Alan dari balik meja. Yang dipuji mengangkat-ngangkat spatula bersemangat.
Di sebelahnya, Eira hanya tersenyum. Sate daging Bibi Yanice, salah seorang warga Froideau ini memang memiliki rasa yang kaya untuk ukuran makanan yang dimasak di luar. Matanya terus mengekori kelincahan tangan Bibi Yanice yang mencincang rempah sembari menyodorkan piring-piring ke warga lain. Entah bagaimana mereka bisa menemukan rempah di suhu dingin seperti ini. Yang penting, mereka lezat!
Akan lebih nyaman kalau tubuhku sehangat makanan ini. Ia menggosok-gosok tangan. Perhatian Sasha yang sedari tadi mengobrol ringan dengan Lacie segera teralihkan.
"Oh astaga maaf Ra. Masih kedinginan ya? Sini sini, akan kuajarkan teknik Halau-dingin. Hangat timbul karena absennya rasa dingin. Kita tidak bisa mengundang kehangatan seperti kaum Feu, tetapi kita bisa mengusir dingin sejenak. Benar?"
Yang ditanya mengangguk. "Nah, pertama-tama satukan kedua tanganmu. Benar, seperti itu! Lalu, konsentrasi. Rasakan udara sekitar. Bayangkan ada tangan tak kasat mata yang menepuk mereka mundur."
Benar-benar menarik. Udara dingin seakan sengaja memberi mereka jarak. Rasa kebas sukses menguap. Tubuhnya sekonyong-koyong tak lagi menggigil. "Trims, Sha."
Gerutuan sinis terdengar. "Masa mengusir dingin saja tidak bisa sih. Itu kan teknik dasar bagi seorang Froideau sejati." Rambut keriting lelaki itu melambai dramatis. "Oh tentu saja. Bocah ini bukan pengendali salju asli. Sayang sekali tanah Froideau harus menampung orang asing."
Ocehan Callen tidak terdengar lagi karena selanjutnya, tubuh lelaki berkulit gelap itu sudah ditelan tumpukan salju. Lacie yang di sampingnya mengedip usil dan segera mengalihkan pembicaraan.
Malam itu berlangsung dengan gegap gempita. Sejauh ini, selain Callen, warga yang lain baik-baik saja. Sebagian besar dari mereka sudah berumur senja seperti Paman Feng si pikunan. Beberapa lagi memasuki usia dua puluh lima menuju tiga puluh tahun. Sisanya yang paling sedikit adalah kami, anak-anak. Jika ditotal kurang lebih ada empat puluh warga yang tersisa.
Ah ya, tak hanya itu. Ada seorang warga lagi yang menarik perhatian Eira. Ketika orang-orang sibuk bersenda gurau, orang itu justru menyendiri di bangku terpojok dengan jubah eksentris. Mendengar kalau perempuan itu adalah Si Peramal justru mengobarkan rasa penasaran Eira. Sayangnya, baru saja Ia mendekat, peramal itu lebih dulu berseru, "Belum waktunya kau melihat gulungan takdir. Jalanilah hidupmu!"
Mereka masih mengobrol riang tentang permainan khas Froideau ketika teriakan terdengar. Di balik jilatan api unggun, seorang warga terantuk jatuh. Bakul air yang dibawanya sudah siap terbanting. Demi itu, tangan Eira melambai.
Gerakan bakul melambat sementara untaian air di dalamnya terangkat. Butuh beberapa waktu hingga bulir terakhir menyusup dari retakan bakul. Ketika semuanya mengumpul, mereka menari cepat ke arah Eira. SET! Dalam sekali lambaian, air itu sudah terendap di dalam kelima gelas mereka.
Eira mengecek masing-masing gelas sebelum menengadah. Namun, dirinya terperangah mendapati semua orang melotot. Hanya Si Peramal yang bangkit pergi.
"Dia menggunakan teknik Oseau!"
"Dia juga berani memakai telekinesis Venteu!"
Masyarakat menyeruak mengelilingi meja mereka. "Hei biarkan dia. Dia belum paham benar dengan kekuatannya!" Alan mendelik ke arah sahabat perempuannya meminta pembelaan. Namun nihil, Sasha hanya mematung. "Bubar! Pergi!" usir Lacie tak sopan.
Tak beberapa lama, sang ketua Froideau membelah kerumunan dengan cengkramannya di kedua bahu Eira. "Apa yang kau lakukan? Bukankah sudah kuceritakan tentang mereka?"
"A-aku hanya berusaha membantu dan lagipula memakai kekuatan yang memang milikku bukanlah kejahatan!"
Pembelaan itu langsung disambut dengan teriakan Ibu Aevi, "Dengarkan aku, Eira! Jangan melawan, Alan! Apalagi kau, Sasha! Aku tidak suka kalau anakku sendiri memberontak." Tak main-main, semua orang langsung mengatupkan mulutnya.
"Kekuatan lain sudah pernah menyentuh tanah kami. Namun sekarang, tak setitik pun akan kubiarkan kembali menodai kami. Meski dari seorang Mélanger sekalipun. Jadi berjanjilah padaku kalau kami tidak akan melihatmu memakai kekuatan selain daripada es dan salju!" titahnya.
"Tetapi," Eira tak bisa lagi mengelak. "Baik, Ibu Aevi."
Pada akhirnya Ibu Aevi meninggalkan mereka semua disusul dengan Sasha yang merangkul Eira. "Lebih baik kita istirahat juga."
"Perkenalan yang bagus, Mélanger!" sindir Callen.
***
Entah waktu sudah menunjukkan jam berapa. Tidak ada jam yang bergelantungan di kamar itu. Cahaya bulan pun tidak cukup meyakinkannya. Yang pasti, tidak sedetik pun Eira terlelap. Usahanya untuk pulih dari kejadian di Pesta Perkenalan sia-sia.
Ia membalikkan tubuhnya ke arah kasur Sasha. Sepanjang malam, Sasha tidur membelakangi dirinya. Apakah jauh di dalam lubuk hati, sebenarnya gadis itu takut dan marah terhadapnya?
Eira menggeleng kecil sebelum mengalihkan perhatiannya ke arah plafon. Namun, lekukan beku di setiap sisinya malah membawanya ke tatapan warga Froideau yang menusuk dingin. Ringisan ketakutan dari kaum tua, bisik-bisik sinis, ...
"Lihat, Mélanger itu sudah mulai berbuat semaunya."
"Sudah kuduga ada yang benar-benar salah tentang Mélanger itu."
"Cukup," desisnya memohon entah kepada siapa. Sembari mendudukan diri di pinggir kasur, Eira perlahan memahami segalanya. Tidak akan ada yang menerimanya sepenuhnya. Bagaimanapun juga dia adalah Mélanger, manusia terkotor di kelima klan.
Kakinya menjinjit berusaha tidak mengeluarkan suara sekecil apapun. Tangannya merambah resah berusaha mencari sesuatu. Aneh, ranselnya hilang!
Tangannya langsung memijit kening frustasi. Jaket dari ibunya ada di dalam situ! Mengapa ketika Ia sangat membutuhkannya, jaket itu malah lenyap. Mengapa ketika Ia sangat membutuhkan pelukan orang tuanya, mereka harus ditangkap entah ke mana?
Ayah. Angin. Aku perlu keluar mencari angin.
Akhirnya sol sepatu botnya kembali berkelana di tumpukan salju. Tudung berbulunya Ia buka perlahan, takut kalau ada yang melihat. Untungnya, sejauh ini semuanya sunyi. Meja-meja sudah dilipat, abu bekas memasak sudah tercampur bersama salju, dan kubus api lenyap meninggalkan bekas.
Satu-satunya cahaya yang tersisa berasal dari bulan sabit di langit.
Eira memejamkan matanya berusaha mengingat kenangan bahagia bersama Ayah. Tangannya dilebarkan untuk menyambut angin. Sayang, lima menit Ia berdiri, angin di sekitarnya hanya meletup-letup seakan terhalang. Eira merasa bodoh.
Hal yang sama juga terjadi ketika Ia mengendalikan salju sebelumnya. Apakah kekuatan anginnya mulai hilang? Ia melepaskan kontrol, takut tak sengaja menciptakan angin puyuh. Namun, letupan angin itu terus berlanjut. Menyapu debu dari kepingan salju, meninggalkan bekas secara acak, sebelum berkelok-kelok dan meriakkan air di dalam danau si igloo setengah bola.
Ibu. Air. Baru kuingat keberadaan mata air ini.
Tanpa basa-basi, Eira mencelupkan tangannya ke dalam danau. Jantungnya berdetak bahagia ketika masih bisa merasakan gelombang bergerak halus di ujung jari.
"Anak Perempuan telah kembali menghadap kepada Angin. Kini, Anak Perempuan telah kembali menghadap kepada Air."
Senandung itu sukses membuat Eira menarik tangannya dan terjungkang. Untung salju menyambut tubuhnya dengan lembut.
"Astaga h-hai Peramal, aku tidak bermaksud mengganggu rumahmu. Aku akan pergi!"
Namun, matanya lebih dulu tertuju kepada tas di jinjingan sang Peramal.
"Itu tasku. Kembalikan!" Ia juga mengambil buku bersampul cokelat di tangan lain Peramal. "Tidak bisakah kalian BERHENTI mengganggu dan mengekangku seperti ini?"
Emosi Eira tidak sedikitpun mengggoyahkan Peramal. Malahan, senyum kecil menyembul dari balik tudung itu. "Maaf, kupikir hanya dengan cara itu, aku bisa membuatmu keluar."
"Membuatku?" tanya Eira. "Mengapa kamu ingin aku keluar?"
Jemari sang Peramal menunjuk ke buku Ibu. Maka Eira pun membukanya. "Isinya corat-coret Ibu sewaktu kec—Oh."
Pada halaman kedua, terlihat kertas lecek yang ditempel dengan selotip seadanya. Pinggir helaiannya memang sudah menguning, namun setiap kata dan gambar yang digores masih berkilauan. 'Pengendalian Dasar' tulis judulnya. 'Dengarkan, rasakan, dalami. JANGAN DIPAKSA!'
"Wanita Air itu tak pernah mengira catatan latihan masa kecilnya akan berguna. Untung saja dia menyimpannya untukmu."
Kaki Eira secara otomatis berdiri tegak. Tangannya berputar sebelum terkatup seakan menyembah. Lalu, dengan lentur tangan kanannya mendorong ke depan, diikuti tangan kirinya seperti gambar pertama. Setelah merasakan denyutan air, Ia menarik tangan ke belakang. Gerakan itu terus Ia lakukan hingga matanya terbuka dan Ia terkesima.
Dari danau itu, sebuah gelombang menyisir anggun mengikuti gerakannya. Maju-mundur-maju lagi. Meski kecil, Eira tak menyangka bisa mengendalikan air seindah itu.
"Kamu boleh berlatih di sini setiap malam." Eira terpana. "Benarkah? Kenapa? Tidakkah kamu membenci elemen-elemenku?"
Senyum Peramal yang melebar sangat tidak cocok dengan mata dinginnya. "Untuk apa aku membenci asal kami? Asal nenek moyang kami? Air dan angin adalah rahim kami. Tanpa mereka, kami hanyalah mimpi."
"Tidak setiap orang dapat menerimanya. Elemen yang anehnya lebih menghanguskan daripada Sang Api. Namun ingatlah Anak Ajaib, kamu yang menentukan jalanmu sendiri. Bukan asalmu, statusmu, atau kekuatanmu."
Seakan ada rantai fana yang akhirnya terlepas, angin langsung mengelilinginya. "Bagaimana dengan janjiku kepada Bu Aevi, Peramal?"
"Yah, jika aku tidak salah dengar, bukankah kamu hanya berjanji untuk tidak mengendalikan elemen lain di depan orang?" Sang Peramal mengendikkan bahu usil seakan berkata 'mereka-tidak-lihat-kok'. Itu adalah interaksi termanusiawi darinya yang selama ini hanya berpuitisasi dan berekspresi dingin.
Akhirnya Eira tertawa. Hatinya benar-benar lega. "Terima kasih banyak, Peramal."
Jadilah sepanjang bulan bersinar, Eira mempelajari teknik pengendalian air berbekal kertas lecek dan danau kecil ditemani Sang Peramal di teras igloonya. Beberapa kali Eira nekat mencoba gerakan lain yang rumit: Pisau-Air (Eira berpendapat kalau teknik ini seharusnya mirip seperti Pisau-Angin), membuat tornado air mini, memintal air menjadi dua sampai tiga selendang. Tidak diherankan lagi, kebanyakan gagal.
Peramal juga memilih untuk diam. Namun, Ia sempat menyuruhnya untuk tetap latihan di malam seterusnya meski sendirian. Pada giliran selanjutnya Ia berbicara, topiknya terasa menegangkan.
"Tidak ada yang tahu persisnya masa depan, bahkan kami, Para Peramal. Kami hanya melihat apa yang diperbolehkan untuk dilihat. Aku pun belum bisa menyibakannya hingga kamu genap berusia tujuh belas tahun. Meskipun begitu, jika aku boleh menawarkan nasihat, maka kiranya kamu menekuni setiap pengendalianmu, meski hanya teknik dasar. Kenali dan dalamilah dirimu sendiri. Menyatulah dengan mereka."
"Mengapa? Karena mau tak mau, sadar tak sadar, akhirnya Sang Penakluk Angin akan tiba, dan karena kebodohannya sendiri lah, kalian akan berhadapan," jelas Sang Peramal sembari mendekat ke danau. Mendadak, sekelebat cahaya timbul, memantul-mantul, hingga berpadu menjadi sesosok lelaki jangkung berjubah ungu megah.
Tanpa melihat wajahnya yang secara misterius kabur, Eira sudah menebak. "Raja Hubert, Raja dari Venteu."
Peramal mengangguk. "Anak Ajaib, berjanjilah kepada dirimu, diriku, Froideau, Sole, Feu, Oseau, dan Venteu bahwa kamu tidak akan berlari dari takdirmu seperti Sang Penakluk Angin. Kamu tidak akan memorak-morandakan masa depan demi keinginan yang tak terdapati."
"Aku berjanji," jawab Eira solid. Kini jiwanya sudah kembali menggebu-gebu. Tidak ada yang bisa membatasi keberaniannya. Ia akan makan dan istirahat secukup mungkin, hidup sebahagia mungkin, belajar sebanyak yang Ia bisa, dan berlatih pengendalian sampai Ia bosan. Dengan itu dia tahu, dia akan menemukan Ayah dan Ibu. Kalau memang harus, dia juga akan menghadapi Raja Venteu. Eira tahu Ia pasti bisa karena ...
"Semua pasti ada jalannya," sebut Peramal seakan menebak pikirannya.
Benar, semua pasti ada jalannya.
(Semoga kalian menikmati petualangan ini kapanpun dan di manapun kalian berada. Bagian yang cukup panjang ini kupersembahkan sebagai permintaan maaf karena tidak update untuk waktu yang lama.)
Kalau boleh jujur, maaf aku belum bisa update berjadwal lagi karena ketidakstabilanku. Ini agak klise, tetapi boleh tinggalkan jejak positivitas dari kalian? Pastilah sangat membantuku untuk bangkit dari stres dan anxiety ini. Bagaimanapun juga, aku tetap sayang kalian. Terima kasih!
Apa kira-kira ada yang tertarik melihat sketsa gambar, biodata, dan latar belakang dari beberapa tokoh?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top