Dua: Dipisahkan

Mentari menyiram lembut rerumputan di pulau itu. Burung beraneka warna saling berbalasan sementara salah satunya yang paling kecil dikejar oleh sesosok gadis.

"Hei, Birdy, kembalikan pita rambut Ibu!" pekiknya berusaha menangkap si beo kecil. Yang dikejar hanya terbang rendah sembari bersiul usil.

Sudah kurang dua belas tahun lebih ibu dan ayah gadis tinggal di pulau itu. Pulau yang terpencil, tetapi indah dan damai. Banyak ditemukan jenis unggas di sana, keluarga burung beo ini salah satunya. Konon katanya para beo menyambut kelahiran si gadis dari kusen jendela.

"Dapat!" serunya sebelum kembali ke rumah dengan menggenggam pelan si anak beo yang nakal. Si beo hanya bersiul kesal.

Kaki sang gadis menapak bebatuan lincah. Genangan air di sekitarnya bergemericik seakan menyapa. Rambut pirang pucat sebahunya melambai halus diterpa angin. Nampaknya angin juga hendak menyambut dengan menyapu dedaunan dan rerumputan tinggi yang menghalangi jalannya. Mata biru langitnya berbinar ketika melihat bayangan rumahnya di balik pohon kelapa.

"Tunggu sebentar ya, Birdy Nakal. Aku akan mengadu kepada ibuku dan ibumu!" bisiknya. Medan tanah menurun membentuk lembah, jadi Ia harus perlahan agar tidak terpeleset. Ketika tanah mulai mendatar, Ia kembali berlari. Mungkin Birdy agak pusing karena terguncang terus.

Si gadis berlari masuk ke rumah dua lantai bercat cokelat muda. "Ibu Ibu!" panggilnya bersemangat. Tidak mendapatkan jawaban, Ia pun berlari ke lantai atas. Namun, semua ruangan kosong.

"Di sini, Eira," seru ibunya yang ternyata berada di pondok samping rumah. Eira, gadis itu, segera berlari turun dan menghampiri ibunya. Diletakkan si Birdy nakal dan pita rambut Ibu Ia tarik.

"Aku berhasil mendapatkan pita Ibu kembali dari Si Nakal lho!" kata Eira bangga. Beo betina yang sejak tadi bertengger di bahu Ibu langsung mematuk pelan anaknya.

Ibu tertawa kecil. "Ah terima kasih Nak, tetapi tidak perlu keras begitu dengan Birdy," ucapnya sembari menguncir kembali rambut hitam pekatnya. Eira mengerucutkan bibirnya.

"Tapi kan dia mengambil pita rambut kesayangan Ibu!"

"Iya betul, tetapi beo itu masih kecil. Ia belum paham, beritahu dia dengan lebih lembut."

Eira tidak kunjung melemaskan bibirnya. Ia mengamati ibunya mengendalikan segumpalan air dari tembikar sebelum mendorongnya ke sebatang tumbuhan bunga yang patah. Jari lentik Ibu bergerak hingga air itu terserap habis ke dalam tumbuhan itu. Sang tumbuhan seakan mencoba berdiri sebelum kembali terkulai. Namun setelah jarinya kembali menari, batang itu langsung berdiri tegak. Tak tersisa goresan sedikit pun seakan telah terjahit rapi. Mahkota bunganya yang tadi berkedip layu pun kembali memancarkan warna segar.

Ibu adalah pengendali air yang cukup handal. Penyembuhan adalah salah satu teknik yang Ia kuasai. Berapa kali pun Ia menonton pengendalian ibunya, Eira tak henti-hentinya terkesima.

Saking terkesimanya, Ia tidak menyadari beberapa gumpalan air dilemparkan ke arahnya. "Hei!" pekik Eira terkikik.

"Ibu jadi teringat kalau kamu juga nakal waktu kecil," kata Ibu sembari mengggelitik perut gadisnya. Kikikan pun berubah menjadi tawa terbahak-bahak.

"Umur empat tahun, sudah memanjat bermacam-macam pohon, mengganggu sarang Ibu Birdy dan burung-burung lain. Buat Ayah kerepotan harus ikut terbang memanjat," lanjut Ibu sembari tidak menghiraukan permohonan putrinya agar berhenti.

Setelah puas bermain, Ibu bangkit untuk menyiapkan makan siang. "Ayahmu pasti pulang dalam keadaan kelaparan."

Ayah Eira bepergian ke luar pulau tiga hari sekali untuk membeli kebutuhan. Eira ingin ikut, tetapi menurut mereka, Eira masih terlalu muda. Terlalu berbahaya katanya. Padahal tinggal di pulau yang dikelilingi hutan tampak lebih berbahaya dibandingkan di kota-kota besar—itu pendapat Eira saat melihat foto kartu pos Kota Venteu.

Tetapi mendadak angin riuh menampari dedaunan sekitar. Gantungan  ayam di pondok berderit keras. Eira berdiri tegak. Itu Ayah!

Nara ... bahaya. Ibu membeku setelah mendengar gumaman Ayah di antara angin. Eira ingin bertanya, tetapi tangannya sudah digamit ke dalam rumah. Ibu panik mengunci pintu dan menyuruhnya bersembunyi di balik sofa.

Jika Ibu menari dengan air, maka Ayah berkawan dengan angin. Ya, Ayah adalah pengendali angin. Itu adalah salah satu teknik Ayah, menyelipkan pesan singkat bersama angin.

"Ibu, apa yang terjadi? Kenapa Ayah?" tanya Eira. Ibu bergeming, mulai memasang kuda-kuda. Mereka sering panik ketika ada kapal dan sejenisnya mendekat tetapi sebelumnya tidak sampai setegang ini. Ia merasa sudah saatnya mengetahui apa alasan di balik sikap ini.

"Ibu, sudah berkali-kali hal seperti ini terjadi. Tolong biarkan aku tahu ada apa ini," mohonnya.

Bibir Ibu yang semula bergetar kembali mengatup saat pintu diketuk cepat. Air-air yang berasal dari penyimpanan air dapur membelit membentuk selendang.

Pintu kembali diketuk sebelum sang pelaku berkata pelan. "Nara, tolong buka!"

Kedua perempuan itu menghela napas lega sebelum membiarkan Ayah masuk.

Lelaki berjubah ungu kusam itu segera mengunci kembali pintu dan mengangkat semua yang bisa menghalangi pintu. Tembikar berbagai ukuran, sebuah sofa, lemari bekas, semuanya Ia angkat dengan teknik pengendaliannya.

"Payah, semuanya mendadak payah, Nara. Desas-desus terdengar di sekitar kerajaanku. Kapal pasukan mendekat. Apa yang kita takutkan tiba," kata Ayah ambigu. "Nara, ambil ransel darurat Eira. Eira, bersembunyilah di kamarmu. Usahakan menunduk di dekat jendela kamar." Hanya ambigu bagi Eira sepertinya karena ibunya telah bergerak panik.

"Tunggu, Ayah. Jelaskan dulu kepadaku!" tolaknya gusar.

Ayah berlutut dan memegangi bahu Eira. "Eira pintar, kita sudah pernah belajar tentang Klan-Klan kan. Ayah dari Venteu. Ibu dari Oseau.  Ada yang belum Ayah ajarkan tentang aturan adat kita. Sebenarnya tidak boleh ada pernikahan di antara klan yang berbeda."

"Hukuman berat seharusnya sudah menghujam kita. Terutama kamu, Nak. Tetapi kita beruntung sampai sekarang ... yah intinya berlindung lah dulu ya? Kami akan mengusahakan yang terbaik."

Eira mengangguk dan berlari ke kamar. Ibu yang sedari tadi menunggu langsung memasangkan ransel darurat di punggungnya. Eira belum pernah melihat isinya. Namun, kata orang tuanya, isinya akan berguna dalam keadaan terdesak.

Tangan Ibu terus teracung waspada, tetapi air matanya terus membuncah. Butuh beberapa waktu hingga gadis itu paham. Keluarganya tidak sah di mata hukum. Ia seharusnya tidak ada. Semua kisah ini seharusnya tidak mengotori lembaran masa.

"Ibu, semuanya akan baik-baik saja," bisik Eira. Air mata ibunya semakin menderas. Ia langsung didekap erat.

"Eira, apapun yang terjadi. Ingatlah, jangan salahkan dirimu. Kami yang memulai masalah ini. Kamilah yang egois," kata Ibu berusaha menahan isak.

Mereka kembali ke posisi siaga ketika Ayah dengan gulungan tali tambang tiba. Jambang pirangnya yang memanjang berkilau diterpa cahaya dari jendela yang didobrak. Tanpa buang-buang waktu, Ia mengikatkan tali itu dan membiarkannya tergerai ke luar hingga menyentuh tanah.

Tidak sedikit pun terdengar gemerisikan ranting-ranting, tiupan angin, ataupun siulan burung. Semuanya seakan membatu mengawasi keluarga ini.

Mendadak suara ribut mengelilingi bagian depan rumah mereka.

"Sial, pasukan Venteu itu pasti menggunakan teknik Bungkam Hembusan sehingga tidak terdengar!" Ayah segera menarik tali itu agar bisa Eira pegang.

Kini pasukan-pasukan itu berseru marah mendapati pintu terkunci. "Tidak bisa didobrak. Dihalangi barang berat sepertinya!"

"KAMI TAHU KALIAN DI DALAM. CEPAT KELUAR SEBELUM KAMI SERET KALIAN PAKSA!"

Sementara itu di dalam, Ayah menepuk pelan kepala putrinya. "Kamu adalah anak baik. Kamu spesial. Namun, yang paling penting adalah kamu sangat disayangi."

"Tali ini cukup kuat untukmu turun. Pergilah secepat mungkin."

Eira memegangi tali gelisah. "Bagaimana dengan kalian?"

BRAK! Barang-barang yang menghalangi pintu nampaknya telah terhambur. Gema jejak-jejak kaki kini memenuhi rumah.

"Tidak apa-apa. Tetaplah hidup!"

Keluarga itu tidak sempat berpelukan untuk terakhir kalinya. Eira sudah meluncur keluar, sementara kedua orang tuanya pergi menghadang pasukan. Eira sudah berlari melewati akar-akar yang menyembul di tanah sebelum kakinya berhenti. Hatinya belum mampu meninggalkan kedua orang tuanya menantang masalah semenyeramkan ini.

Maka yang terjadi adalah kakinya menapak kembali. Tubuhnya yang lincah memanjat ke pohon di dekat pintu depan. Dedaunan di ranting cukup mengembang untuknya mengintip  dengan aman.

Danau kecil di dekat pondok sempat melayangkan airnya ke dalam rumah beberapa kali. Angin pun tak jarang bertingkah kelewat liar. Eira sadar orang tuanya gagal bertahan diri setelah keributan berkurang.

Pekikan harus Ia tahan ketika melihat kedua orang tuanya diseret dengan rantai yang membelit. "Tidak manusiawi! Seperti pembunuh saja!" gumamnya marah.

Pasukan-pasukan itu bersitegang sebelum salah satunya yang berlencana emas memaksa keduanya menengadah. "Di mana anak itu?"

Tak kunjung dibalas, kepala pasukan itu langsung menampar keduanya. Deo mengerang sama marahnya dengan Eira yang masih mengintip. Kaki Eira gatal untuk turun dan membantu. Tetapi Ia tahu hal itu hanya akan menambah kepelikan. Toh pengendaliannya belum bagus.

Kepala pasukan itu kini berlutut menatap pasangan itu licik. "Mana dia? Kalian tidak bisa menyembunyikan anak haram itu selamanya," tanyanya kembali.

"Dia bukan anak haram, Keparat. Kami menikah secara sah!" sergah Ayah yang kembali mendapat bogeman mentah tanpa ampun.

"Diam kau, Pengkhianat Kotor!" Ia segera bangkit menghadap anak buahnya. "Melanger itu kabur. Bawa pasangan bodoh ini pergi!"

Gadis itu hanya bisa pasrah melihat orang tuanya diseret menjauh. Mau mengikuti mereka pun tak ada gunanya. Orang tuanya tidak meninggalkan jejak sedikit pun .Mungkin mereka diangkut di dalam kapal. Mungkin mereka akan dihadang pemimpin-pemimpin klan. Entahlah, dirinya hanya bisa berharap yang terbaik.

Setelah kegaduhan pasukan-pasukan itu sepenuhnya lenyap, Eira turun dari pohon dan kembali ke rumahnya. Gemerisik dedaunan yang terdengar kembali tidak Ia hiraukan, begitu pun dengan embun beku yang menjalar di batang yang Ia pegang.

"Bagaimana aku hidup sekarang?" pikirnya suram. Orang-orang itu sekarang tahu letak jelas pulau ini. Sedikit gerakan mencurigakan saja bisa mengundang mereka kembali. Eira mengunci pintu dan menutup semua tirai, takut ada pengintai yang mengintip.

"Ah, kalau tidak salah ada buku tentang cara bertahan hidup di kamarku!" kata Eira saat menaiki tangga.

Terburu-buru, Ia langsung mendobrak kamarnya dan mencari buku itu. "Eh, bukannya kemarin ditaruh Ayah di atas meja tidur. Kok tidak ada?" gumam Eira resah.

Ia terduduk di kasur dengan mata yang menyembap. Semua terjadi begitu cepat. Takut, kesal, marah, semua jadi satu. Lama-kelamaan tubuhnya melemas. Dari sorot matanya terlihat Ia berusaha mengingat lagi apa yang didongengkan ayahnya itu sebelum tertidur. Untuk jaga-jaga kata ayahnya. Semoga nanti Ayah pulang dan mengulangi dongeng itu, harapnya.

***

Sang kepala pasukan memasuki ruang singgasana dengan penuh hormat. Pemimpin Venteu duduk tegap sementara di sampingnya, gurat kekhawatiran tak henti menghiasi wajah Sang Pemimpin Oseau. Dua belas tahun berlalu sejak pertemuannya dengan Hubert, tak disangka Hubert benar-benar akan melakukan hal itu demi kekuasaan.

"Yang Mulia Tuanku, kami berhasil menangkap orang tuanya. Namun, sang Mélanger menghilang secara misterius."

"Bodoh! Menangkap anak ingusan saja tidak bisa!" seru Hubert gusar. Tetapi tatapannya mengikuti pasangan yang baru saja digeret masuk itu.

Ia mendekat, tersenyum licik mengamati keduanya yang berusaha melepaskan borgolan rantai. Sayang sekali rantai itu dilengkapi katupan tangan khusus sehingga mereka tidak bisa melakukan pengendalian.

"Katakan di mana Mélanger itu dengan hati lapang. Setelah itu, kalian boleh hidup di penjara."

"Lebih baik mati daripada mengorbankan darah daging kami. Enyah saja kau!" balas Deo sengit. Kepala pasukan baru hendak menyesah pedangnya ketika mendadak sebuah ombak sedang menerpa rajanya.

Nara menatap horor suaminya, Hubert, dan Arlux. Bahkan dirinya tak menyangka berhasil mengendalikan air dari akuarium dengan gerakan mata. Hubert mendengus dengan sekujur jubah ungunya yang basah. "Benar-benar mencari mati kalian ya?"

Deo meronta marah melihat sang Raja Klan Angin sudah merebut dan mengibaskan pedang pasukan ke mata istrinya. Gerakan itu terusik ketika sebuah seruan lolos dari bibir kelu Nara.

"Paman, tolonglah!"

Hubert membeku tak paham. Namun, setelah mengamati lekukan khas wajah perempuan itu, Ia pun sadar dan tertawa sinis. "Astaga, tentu saja. Mengapa aku baru sadar ya?"

Arlux mengurut dahinya pelan. "Tidak ingin menyelamatkan keturunan terakhirmu, Arlux?"

Manik mata paman dan keponakan itu bertemu. Arlux melengos merana. "Maaf Nara. Hukum tetaplah hukum." Hubert menatap suami istri itu penuh kemenangan.

"Seret keduanya ke tempat penggantungan umum. Hukumlah atas apa yang mereka perbuat!" serunya sambil turun dari singgasana disusul Arlux yang dirundung penyesalan.

Nara hanya pasrah diseret para prajurit. Matanya takut-takut menatap suaminya. Deo hanya bisa balas menatap, jelas-jelas berusaha menenangkan.

Tidak.

Dia tidak takut akan kematian yang akan menjemput dirinya.

Justru dia takut berpisah dengan suaminya.

Dia jauh lebih takut lagi jika ... sesuatu terjadi kepada gadis kecilnya.






(semoga kalian menikmati petualangan yang berlanjut setiap hari Senin ini)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top