8. Penasaran
SASKARA POV
Ada banyak tanda tanya di kepala gue saat ini. Tanda tanya yang mengarah ke keadaan temen deket gue di SMA.
Emm, temen deket di sini bukan dari segi cinta-cintaan, tapi deket karena 2 tahun kami sebangku. Lalu, deket karena gue sering nyontek PR dia dulu.
Gue penasaran, apa yang terjadi sama dia sampe dia bisa di sini sekarang. Di kamar kost gue. Padahal harusnya, dia gak di sini. Yang gue tahu, harusnya dua minggu lalu dia nikah. Yang gue tahu, dua minggu lalu banyak banget yang ngomongin dia di group SMA, group kelas juga, cuma dia gak muncul sekalipun. Dan tiba-tiba, dia di sini, di tempat yang berjarak seribu kilometer lebih dari tempat yang seharusnya dia berada.
"Gimana nih Sak?" Gue menoleh karena mendengar suaranya.
"Tau nih, awal November emang berhujan banget," Sahut gue.
Niatnya, malam ini kami akan keliling mencari kost untuk tempat tinggal Dayinta. Tapi dari setengah jam lalu, hujan mengguyur Denpasar dan sekitarnya. Membuat pengguna motor seperti gue gak bisa kemana-mana.
"Lo di sini aja dulu deh, nanti kalau agak reda, gue cabut ke kostan cewek gue." Yeah, dari pada berdua sama dia di sini, nanti terjadi hal yang iya-iya, mending gue kabur ke kostan Icha. Kalau di kost pacar sendiri kan enak mau ngapa-ngapain juga. Ehehehe!
"Gak apa-apa gue di sini?" Tanya Dayinta.
"Ya gak apa, laaah! Emang kenapa?"
"Cewek lo gak marah gue nginep di sini?"
Gue langsung menggeleng. Syukurlah, pacar gue itu gak cemburuan. Karena dia juga paling benci kalau dicemburuin. Menurut dia, kami sama-sama sudah dewasa dan bisa diberi kepercayaan sebesar-besarnya.
"Kaga, nanti lo gue kenalin deh. Dia anaknya asik kok."
"Masih kuliah?"
"Iyapss, setaun lagi lulus kayaknya."
Kini Dayinta mengangguk. Sedari tadi dia duduk manis di sofa kecil yang ada di kamar gue. Sofa yang merupakan hadiah ulang tahun dari Icha karena dia pengin ML di sofa, hahahah. Ups, too much information.
Gue merapikan dua kopernya Dayinta, mendorongnya ke pojokan biar nggak ngalangin jalan. Lalu tas ranselnya, gue simpen di bawa meja kerja. Asli, gue gak suka liat barang-barang tersebar tak teratur, mungkin karena kebiasaan itu, orang-orang menganggap kamar kost gue ini cakep parah. Ya itu, karena semuanya rapi dan teratur.
"Laper gak lu?"
"Kan tadi kita makan, Sak."
"Oh iya, ehehehe!"
Bingung, jadi lah gue duduk di ujung kasur, mengambil remote lalu menyalakan televisi.
"Coba kirim ke gue list kost yang udah lo bikin. Biar kalau emang malem ini gak sempet, besok gue cari."
"Ngerepotin lo banget dong nanti, Sak?"
"Santai aja."
Dayinta terlihat mengambil ponselnya, lalu tak lama kemudian ponsel gue bergetar. Masuk chat dari Dayinta, isinya list kostan, dan rata-rata, gue tahu tempatnya.
Mendekati Dayinta, gue duduk di lengan sofa.
"Ini yang pertama, tempatnya bagus, sumpah, tapi airnya bye, gue pernah kost di situ cuma tahan sebulan."
"Serius?"
"Iye, terus ini yang ke dua. Masuk gang sempit banget, sumpah, motor papasan aja langsung gak bisa gerak. Tapi selera sih ya, kalau lu jalan kaki kan gak masalah ya?"
"Tapi enak tempatnya Sak?"
Gue mengangguk. Itu tempat kost salah satu teman di kantor.
"Air aman?"
"Aman sih kayaknya, temen gue kost di situ juga. Gue pernah nginep dan aman."
"Kalo yang lain?"
Gue membaca kembali list dari Dayinta, ada 5 kost-kostan yang ia kirim.
"Yang ke 3 ini gue gak tau, nanti deh gue cari tau yaa. Kalau yang ke 4 ini kost-kostan impian daah, tapi susah banget masuk situ, jarang ada yang kosong, kalau pun kosong jarang dikasih ke orang, kalau lu mau kost di situ kudu kenal sama orang yang ngekost di situ dulu."
"Lha, bisa begitu?"
"Bisaaa banget! Penghuninya pemilih soal tetangga. Misal, lo boleh bawa pacar, tapi jangan keseringan. Lo kalau mau bawa pacar harus nongkrong dulu sama penghuni lainnya. Kalo mau tinggal bareng sama pacar dalam satu kost harus traktir. Makanya, rata-rata yang kost di sana saling kenal."
"Jangan deh kalo gitu, Sak. Terus yang satunya?"
"Gue gak tau, jadi nanti gue cari info deh ya soal yang ke tiga sama lima."
Dayinta mengangguk.
Hujan gak kunjung reda, gue udah mati gaya ini diem di kamar berdua sama Dayinta. Gue bingung mau ngomong apa. Gue tahu ada yang dia sembunyiin, tapi gue ngerasa gak berhak buat nanya-nanya.
"Day, kalo lo mau cuci muka, ganti baju atau apapun, feel free loh pakek kamar mandi. Bongkar tas buat cari baju juga silahkan, kan malem ini kayaknya lo nginep sini, jadi jangan berasa tamu."
"Naah itu, dari tadi gue pengin ke kamar mandi! Hahahaha!"
Dayinta langsung mengarah ke tas ranselnya, mengambil pouch dan mungkin juga baju. Gak tau, gue gak liat, gue liatnya selembar kain aja udah.
Setelah Dayinta masuk ke kamar mandi, gue menarik salah satu laci pakaian gue, memindahkan laci khusus boxer dan celana dalem ke laci khusus kaus. Yap, jadi ada satu laci yang kosong, lumayan nih buat bisa dipake Dayinta.
Saat Dayinta keluar kamar mandi, langsung gue kasih tahu soal laci.
"Lo anaknya resik banget yaaa Sak? Baru tau gue!"
"Haha udah berisik! Masukin nih barang-barang lo, ranselnya lipet! Gerah gue liatnya ada barang geletakan gitu di lantai."
"Oke! Oke! Siap! Terserah tuan rumah aja."
Gue tidak membantu Dayinta merapikan laci, karena tahu pasti ada daleman-daleman yang terselip di antara lipatan baju yang rapi. Risih sendiri nanti gue kalau bantu, Dayinta juga pasti awkward.
"Sak, gue numpang rebahan ya?"
Gue langsung mengangguk, pindah dari kasur ke sofa, membiarkan Dayinta rebahan.
Agak sebel sih kenapa hujan gak kunjung reda, biar gue bisa cabut ke kost Icha, atau ke mana gitu. Karena di sini agak sedikit kaku.
Gue sama Dayinta memang sudah kenal lama. Tapi ya lama juga kita gak ketemu, hubungan pertemanan akrab ya karena media sosial, yeah kami berdua memang tipe yang sok asik di chat doang.
Dan lagi, untuk ngobrol berdua pun gue bingung topiknya apa. Karena kalau mau bahas masalah SMA, ya topik yang lagi hitz ya soal Dayinta gak jadi nikah. Tapi masa gue obrolin sama orangnya langsung? Digampar nanti gue sama Dayinta.
"Saka?!" Terdengar panggilan Dayinta, gue langsung menoleh, dia terlihat sedang rebahan, tapi bantal gue ditumpuk tinggi gitu.
"Kenapa?"
"Kok lo gak kaya orang-orang sih?"
"Hah? Maksudnya?" Gue bingung, jadilah gue memutar tubuh, tetap duduk di sofa tapi menghadap kasur.
"Lo tau? Untuk rentang waktu satu bulan ini, baru lagi loh gue ngerasa nyaman ngobrol dan deket sama orang. Ya sama lo ini."
"Lo ngomong apaan sih? Gak ngerti gue,"
"Lo gak sibuk nanya kenapa gue cari kerja di sini. Lo gak kepo ke gue soal masalah nikah. Lo malah ajak gue bahas bahasan lain kayak kostan tadi, dan gue nyaman, udah lama gue gak ngerasain begitu."
Gue mengangkat sebelah alis. Ya gue juga aselinya ya mau kepo, cuma kan gak enak ya? Perasaan orang siapa yang tau sih? Dan masalah yang Dayinta hadapi, mungkin cuma dia dan orang-orang terdekatnya doang yang tahu. Kapasitas gue apa coba kalau nanya-nanya hal pribadi gitu ke dia? Pakar pengurai masalah juga bukan. Jadi ya gue untuk saat ini memilih diam.
"Semua orang punya masalah, itu yang gue tahu. Dan semua orang berhak menyimpan masalahnya sendiri, atau pun mau dibagi ke siapapun yang dia kehendaki. Itu haknya, dan di sini, ya itu hak lo, Dayinta. Sekarang, lo kontak gue buat nyari kostan, ya yang gue bahas ya kostan dong, masa lo dateng nanya kostan tapi gue bahas rumah makan padang? Kan gak nyambung." Jelas gue.
"Yeah, pokoknya makasih, deket lo gini, bikin gue ngerasa jadi manusia biasa pada umumnya."
"Manusia biasa pada umumnya itu punya masalah, cuma ya gimana kitanya aja me-manage itu semua."
Dayinta mengangguk.
"Tapi... Lo gak harus cerita apa-apa kok ke gue, santai aja."
Lagi, Dayinta mengangguk.
Hening sesaat, dan yang terdengar adalah suara hujan, gue bangkit, mengambil bungkus rokok dan korek dari meja lalu berjalan ke arah balkon yang gak seberapa ini.
Yak, karena kamar gue di lantai dua, jadi gue punya balkon, gak gede emang cuma ukuran 1.5 x 2 meter, tapi lumayan buat rokokan sambil minum.
Gue duduk di kursi kayu berukir burung garuda bikinan Jik Angga yang gue beli 5 bulan lalu. Membakar rokok, gue mulai menikmati angin yang berhembus sambil memandang kosong ke malam gelap yang diguyur hujan.
Ponsel di celana gue bergetar, ada panggilan masuk dari Icha, cewek gue.
"Kenapa Yaang?" Tanya gue begitu menjawab panggilannya.
"Di mana? Jadi bantu temen nyari kostan?"
"Kita lagi di kost aku nih, ketahan hujan, Yaang. Kamu di mana?"
"Masih di kampus."
"Semalem ini?"
"Kamu kan tahu aku bantuin Sheril jadi model lukisnya."
"Oh iyaa sorry."
"Terus kamu berdua sama temen di kostan?"
"Iya, anaknya lagi numpang rebahan, aku di balkon rokokan."
"Aku pesenin gofood ya? Udah pada makan belom?"
"Tadi sebelum maghrib udah makan nasi campur. Dayinta aku ajak makan lagi masih kenyang katanya."
"Kamu?"
"Ya aku sih udah mulai laper."
"Yaudah aku pesenin makanan sama camilan, aku baru dapet duit dari Papa."
"Wihh, tajir nihh."
"Ya makanya ini mau traktir."
"Mantaap! Yaang, kalau hujan reda aku ke kostan kamu ya? Dayinta aku suruh nginep sini soalnya malem. Gak enak kalo berdua, eheheheh."
"Kamu mau berdua juga gak apa, aku percaya kamu gak ngapa-ngapain. Ya kalo ngapa-ngapain juga, yang penting kamu bilang."
"Hahahahaha!" Gue tertawa. Icha dan segala kebebasannya, bener-bener emang ni bocah.
"Daah yaa, kamu kalau otw kostan kabarin aja."
"Siaap, bye!"
"Bye sayaang!"
Sambungan telefon terputus, gue mengembalikan ponsel ke saku celana lalu kembali menghisap rokok dalam-dalam.
"Cewek lo, Sak?" Gue menoleh, Dayinta ada di pintu kaca yang terbuka setengah.
"Eh, iyaa, mau kirim makanan katanya."
"Cewek lo baik amat." Dayinta duduk di kursi kayu yang kosong.
"Emang!!" Seru gue.
"Eh iya, lo tuh kerja di mana sih Sak?" Gue melirik ke arah teman gue ini, ia seperti ingin membuka obrolan santai. Jadilah gue menjawab sebisanya, menjelaskan secukupnya pertanyaan-pertanyaannya malam ini.
Dan sialnya... hujan tetap gak berhenti.
"Lo udah ngantuk itu, tidur gih!" Kata gue saat melihat Dayinta menguap.
"Terus lo?"
"Santai, gue bisa tidur di karpet."
"Duhh, sorry ya?"
"Jangan bilang sorry, gak apa kok, asli!"
"Yaudah, gue masuk ya?"
"Iyaa, lo tidur aja, gue ngabisin rokok dulu, baru tidur!"
Dayinta mengangguk, ia masuk ke kamar sementara aku menghisap rokok dalam-dalam sebelum membuang puntungnya ke asbak.
Setelah selesai, gue menarik napas panjang sebelum masuk ke kamar.
Ya Tuhan, semoga perasaan yang sudah terpendam lama ini gak muncul lagi yaaa! Please!
******
TBC
Thank you for reading, don't forget to leave a comment and vote this chapter xoxoxo
***
Gengs ini beberapa novel ku yang sudah tersedia di google yaaa, yuk yang mau baca silahkan mampir.
Keempat judul di atas gak bakal full lagi di wattpad yaa Bund.
Lalu, aku juga memindahkan 5 ceritaku ke Dreame, kalian bisa mampir ke sana, masih GRATIS, tenang aja. Dan jangan lupa tinggalin 'love' yaaa.
Makasi banyak.
Oh iya, ceritaku yang available di Dreame itu;
1. Rush-Uh
2. Berburu R-Estu
3. My Gravity
4. Anomali
5. Metanoia
Cus yuk mampir.
Makasi.
Semesta memberkati xx
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top