6. Pernikahan
Dayinta POV
"Kenapa sih harus dateng ke kantor segala? Kita gak gak ada hubungan soal kerjaan." Kataku, yeah, inget banget aku. Lintang yang bilang, dia gak suka kalau aku dateng ke kantornya dulu, padahal cuma buat bawain makan siang, katanya mending ketemu di luar daripada sampe nyusulin ke kantor segala. Lha ini? He just broke his own rule.
"Kamu susah ditemuin, di rumah gak bisa. Kalo aku nunggu sampe bubar kantor, pas nyampe sini udah sepi."
Aku hanya diam, tidak menanggapi.
"Yi? Aku pengin ngobrol sama kamu, tapi kalo gini, aku bingung mau ngomong apa." Katanya.
"Gak usah bingung, emang gak ada yang perlu dibicarakan juga kan sebenernya?"
"Aku sayang Yi sama kamu."
Lagi, aku diam. Aku tak ingin mengatakan kebohongan, tapi tak ingin juga jujur dan malah menyakiti hatiku lebih parah dari ini.
Lintang diam, kami berdua berdiam diri selama beberapa menit, sampai akhirnya aku mendengar Lintang menarik napas panjang yang lumayan keras.
"Mama marah sama aku, kalau di rumah ngurung diri di kamar. Keluar kamar cuma buat ngurus keperluan Papa, terus ke rumah kamu."
Aku tetap diam. Gosh, aku kangen sama Mama. Orang yang sudah kuanggap sebagai Ibuku sendiri. Tapi... aku sudah kecewa padanya saat terakhir kali kami bertemu di rumah Lintang.
"Aku gak mau Yi, gak mau nikah sama Sosa. Aku gak sayang dia, aku sayangnya sama kamu."
Gampang aja dia bilang gitu sekarang. Tapi 4 bulan lalu apa? Dia gak mikirin apa perbuatannya itu berdampak pada hubungan kami?
"Lintang, aku capek, aku males denger omongan kamu dari tadi. Aku mau pulang, udah ya?" Kataku, tak ingin dilanjut karena aku sudah tak kuat menahan air mataku.
"Aku anter ya, please?"
"Engga, aku bisa pulang sendiri. Udah ya jangan ganggu aku. Please! Kamu kan sebentar lagi nikah, udah fokus sama itu aja, oke?"
Lintang menggeleng, tapi aku hanya tersenyum kecil, lalu bangkit dari kursi yang kududuki, meninggalkannya sendirian.
Mencari taxi, aku langsung mencegat satu yang lampu atapnya menyala, lalu langsung menyebutkan alamat rumah. Aku mau pulang.
"Kenapa lu?" Tanya Rayi saat aku masuk rumah.
"Gak apa-apa." Kataku, yeah, aku tahu, mataku pasti sekarang bengkak. Emang akutuh, gak bisa nangis sedikit, pasti langsung ketauan matanya. Dan nangis di taxi tadi pasti bikin mataku terlihat seperti habis ditinju.
"Jeeh, yudah sana makan, tadi Bunda masak."
"Bunda mana emangnya?"
"Ke rumah Eyang, mau jelasin soal elu, ehehehe, soalnya Tante Indri nanya, kok belom dapet undangan gitu-gitu lah."
Aku mengangguk. Yeah, batalnya pernikahan ini gak cuma berdampak ke aku doang, tapi juga seluruh keluarga. Mungkin itu salah satu alasan kenapa Bunda maksa aku buat lanjutin hubungan sama Lintang, gosh!
****
Teman-teman di kantor mulai bergosip, sementara aku makin gak bisa ngelak, aku cuma bisa jelaskan seadanya kalau pernikahanku tidak jadi dilaksanakan karena ada masalah kecil di keluarga.
Tak cuma teman kantor, tapi teman kuliah, teman SD sampai SMA ada saja yang bertanya. Yang membuatku mendadak sesak karena harus menjelaskan segala kesakitan ini berulang. Tuhan, bisa gak sih ngilang aja?
Pengin pergi dari semuanya. Pengin keluar dari group kantor, group sekolah, semua group deh. Gak sanggup aku ketemu orang. Selain sakit, aku juga malu.
Kalo bisa, pengin menguap lah aku, bersatu sama udara, gak keliatan.
"Mau makan apa lo?" Rayi hari ini menjemputku, ia baru saja menarikku dari lamunan dengan menyodorkan buku menu.
"Yi? Gue punya dosa apa ya sampe batal nikah?" Aku malah balik bertanya, gak nyambung pula.
"Kalo ada apa-apa tuh jangan mikir dosa, atau apa salah elu, pokoknya jangan nyalahin diri sendiri. Kali aja ini ujian dari Tuhan, atau jalan Tuhan menyelamatkan lo dari orang yang salah."
Aku mengangguk.
"Ayok mau makan apa?" Rayi balik ke topik awal.
"Ini aja paketan, nasi, telor dadar, ayam goreng sama sayur asem."
"Dohh, enak tuh, nih ah lo yang tulis, dua tuh ya!"
Jujur, Rayi tuh bukan tipe Abang yang perhatian karena kami memang bukan adik-kakak kandung, dan emang gak terlalu akrab gitu dari kecil. Tapi gak ngerti kenapa deh yaa akhir-akhir ini dia baik banget. Suka nawarin berangkat kerja bareng, kadang-kadang jemput kaya gini. Tiba-tiba jadi Abang super dia tuh.
Aku menulis menu pesanan kami, lengkap dengan es teh manis tentu saja. Dengan sigap, Rayi memberi kertas pesanan kami ke salah satu pelayan.
"Kata Bunda, akhir bulan lo mau ke Bali ya?"
"Iya, sebenernya tawaran kerja di sana udah lama Yi, cuma baru gue tanggepin sekarang. Kaya butuh pelarian gitu." Jawabku jujur.
"Kenapa sih lo gak pernah banget curhat sama gue?" Tanya Rayi, membuatku melongo.
"Lha? Kita kan dari piyik kakak adek rasa musuhan. Lo marah Bunda perhatian sama gue. Gue sirik lo lebih bisa segalanya dibanding gue. Banyak deh!"
"Tapi kan gimana pun lo adek gue, meskipun yaah katanya kita gak seayah, tapi lo tetep adek gue. Kita tumbuh bersama Yi, gue sayang sama lo dan ngerasa perlu jagain lo." Ujar Rayi. Ya, perihal siapa Ayahnya Rayi dan siapa Ayahku, kami berdua gak tahu. Bunda merahasiakan semuanya dari kami. Tahu kalau kami gak sebapak pun karena Eyang yang bilang.
Aku mengangguk menanggapi ucapan Rayi, lalu diam. Sumpah, ini momen langka. Aku dan Rayi bahas ginian selayaknya kakak-adek biasa. Ajaib!!
"Gue gak mau lo nangis mulu. Lo kira gak kedengeran apa ke kamar gue? Tapi di satu sisi gue juga males kalau harus berurusan sama Lintang apalagi sampe ngapa-ngapain dia. Lo tau gue kan?"
Lagi, aku mengangguk. Aku kenal Rayi seumur hidupku dan dia bukan tipe orang yang bikin ulah, mencari ulah ataupun terlibat secara langsung. Rayi itu duta perdamaian lah bisa dibilang.
"Gue mau adek gue bahagia. Sebelum lo jadian sama Lintang lo bahagia kan?! Nah gue mau lo cari diri lo yang itu, dan jadi Dayinta yang itu lagi, oke? Jadi kalau lo mau pergi, pergi aja. Yang penting lo tau, selalu ada Bunda dan gue untuk tempat lo pulang. Yeah, kalau Bunda lagi drama, seenggaknya lo tahu kalau lo punya gue."
"Siap Yi!" Seruku terharu, bersamaan dengan pesanan makanan kami yang datang.
"Daah makan ayok!"
Kami berdua lalu menyantap makanan yang terhidang di meja. Jujur, akhir-akhir ini aku dan Rayi akrab karena kami di rumah berdua terus, Bunda sibuk ngider ke keluarganya. Aku gak ikut, karena takut makin sakit aja hati ini kalau ketemu keluarga yang omongannya sepedes sambel.
"Mau langsung balik lu?" Tanya Rayi ketika kami sudah selesai makan, aku mengangguk.
"Bayarin yak?" Seru Rayi, aku mengangguk. Jarang memang aku traktir abangku ini.
Rayi keluar duluan sementara aku berjalan ke kasir. Setelah menyelesaikan transaksi pembayaran aku menyusul ke parkiran.
"Yok!" Seruku sambil menerima helm yang diusulkan Rayi.
"Rumah nih ya?"
"Emang kalo gak pulang, lo mau ajak gue ke mana?"
"Hah? Gak tau, ngaco aja, lo tau gue kebanyakan di rumah, kaloga nongkrong di pos ronda."
Aku nyengir, yaudah lah pasrah aja, pulang, beberes rumah.
***
Aku keluar kamar saat mendengar keributan di luar rumah, dengan tampang mengantuk aku menghampiri Bunda dan Rayi yang sibuk di depan.
"Kenapa sih Bun?" Tanyaku, kulihat halaman rumahku ramai, ada banyak abang-abang tukang gitu.
"Inih!! Mau masang tenda buat siraman, gila kali ya? Kan udah cancel, udah bilang pindah tempat!" Seru Bunda berapi-api. Aku tahu, Bunda marahnya double, pertama karena aku batal nikah, kedua karena orang tenda salah.
Aku menelan ludah, yaa, hampir seminggu yang lalu pun aku ditelfon orang undangan, padahal aku udah bilang nama mempelainya ganti, dan aku sudah memberikan kontak Lintang untuk urusan selanjutnya. Tapi malah tetep hubungin ke nomorku, jadilah Rayi yang mengambil undangan itu, mengantarnya ke rumah Lintang untuk disebar oleh mereka.
"Yaudah Bun gak usah marah-marah, mungkin bos mereka lupa kalau alamatnya ganti." Kataku menenangkan, meskipun tetap saja, rasa sesak itu masih ada.
"Udah ah, biarin! Kesel Bunda lama-lama! Kamu sih gak mau nikah sama Lintang aja!!" Seru Bunda lalu berbalik ke dalam rumah.
"Sorry ya!" Bisikku pelan, tapi aku tahu Rayi dapat mendengarnya.
"Sorry kenapa?"
"Yeah, gara-gara gue batal nikah, Bunda jadi emosian, dikit-dikit marah, kadang lo yang gak salah kena semprot. Sory ya Bang!"
"Santai, bukan salah lo kali."
Aku mengangguk, kutinggalkan Rayi yang memantau di halaman sementara aku masuk kembali ke dalam rumah, ke kamar lebih tepatnya. Meratapi nasib.
Yeah, harusnya hari ini aku siraman, harusnya besok aku nikah. Tapi sayangnya, semuanya sudah berganti.
Bukan Dayinta yang akan menikah dengan Lintang besok, tapi Sosa.
******
TBC
Thank you for reading, don't forget to leave a comment and vote this chapter xoxoxo
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top