5. Sakit
Dayinta POV
"Hamil berapa bulan mbak?" Tanyaku.
"Empat bulan, mbak." Jawab Ibunya. Aku mengangguk, lalu menggali kenanganku ke empat bulan yang lalu.
Kubuka ponselku, mencari notes tentang apa yang kutulis empat bulan lalu. Aku memang punya kebiasaan buruk; mencatat kejelekan orang. Jadi, aku sering nulis kapan aja aku berantem sama Lintang dan hal apa yang ia lakukan sampai aku marah.
Dan yak... Ada!! 4 bulan yang lalu, aku dan Lintang bertengkar. Ia cemburu dengan teman kantorku. 4 bulan lalu, aku gathering kantor, di acara itu, aku dipasangkan dengan Mas Puja, bermain gigit pocky sampai yang terkecil. Lintang melihat itu dan ia memaki-makiku. Mengatakan aku murahan karena mau melakukan game konyol itu.
Well, aku gak menyangka ia membalasku dengan tidur bersama orang asing.
"Bener Mas?" Aku masih mengkonfirmasi ke Lintang. Tapi ia hanya diam.
Yang aku heran, kok bisa?? Lintang kalau sama aku selalu buang luar. Kami emang gak safe sex yang pake kondom, tapi ya selalu, beneran selalu buang luar. Kok bisa Lintang telat ngangkat sama cewek ini???
"Mas!!" Seruku, menuntut jawaban. Dan Lintang pun mengangguk pelan.
Aku membeku, terasa seperti ada orang yang memasukan tangannya ke dalam rusukku lalu meremukan jantungku yang tiba-tiba berubah menjadi kristal yang mudah hancur.
Yak, aku hancur.
"Ayi jangan marah dulu, semua orang buat kesalahan kok! Mama marah sama Lintang, tapi kan kita masih bisa cari jalan tengahnya. Dan pakai kepala dan hati yang dingin."
"Iya Yi, pakai kepala dingin, inget omongan Bunda di rumah tadi." Ujar Bunda.
Aku melirik Bunda, kalau udah kaya gini ya beda cerita lah. Sesayang apapun aku sama Lintang, kalau situasinya dia hamilin cewek lain, ya gak mau bego dong aku!
"Ayi mundur!" Kata itu terlontar begitu saja dari mulutku.
"Ayi, sayang! Tenang dulu, jangan ambil keputusan buru-buru." Pinta Mama.
"Emang Mama maunya gimana?" Tanyaku.
"Ya yang tadi Mama bilang. Kamu tetep lanjut sama Lintang, Nak. Ya Sosa tetep ditanggung-jawab, semua keperluan Sosa kita yang jamin." Ucap Mama.
"Ya gak bisa gitu lah Bu! Calon keponakan saya kan perlu pengakuan ayahnya! Perlu diurusin sama ayahnya juga, bukan cuma perkara duit, Bu!" Seru lelaki yang tidak ku ketahui namanya ini.
"Yaudah, kalau kalian gak mau ngurusin, saya bisa kok, nanti anaknya saya yang urus!"
Aku tak percaya, ucapan kejam itu keluar dari orang yang sudah kuanggap ibuku sendiri. Orang yang selama ini menyayangiku seperti anaknya sendiri.
"Gak, Ma. Gak bisa gitu! Lintang udah confirmed kalau itu anaknya. Ya Lintang harus tanggung jawab sepenuhnya dong." Kataku.
"Tapi kan kalian udah mau nikah, sayaang! Udah hitungan hari lagi. Semua udah siap," Mama berkata dengan nada melas.
"Maaf Ma, Pa, Mas Lintang. Ayi mundur ya, Ayi gak bisa lanjut. Kalau tanggal 17 nanti ada pernikahan, ya Ayi harap itu pernikahannya Mas Lintang sama Mbak Sosa ini. Toh semua udah diurus juga kan? Malah jadi lebih gampang."
"Engga, Ayi, gak boleh kaya gitu." Mama masih kekeuh.
Aku berusaha tersenyum saat hatiku saat ini sedang berdarah-darah.
"Ayi pamit yaa, permisi!" Aku berdiri, lalu kurasakan Bunda menyusulku.
Aku menahan semuanya, dadaku rasanya seperti ingin meledak, tapi aku tak mau menangis di depan Bunda. Aku tahu, Bunda pasti juga merasakan apa yang aku rasakan, mungkin lebih, makanya aku gak mau memperparah itu semua.
Kami berdua berjalan kaki, meninggalkan orang-oramg di belakang yang menyerukan nama kami. Saat sampai di depan komplek, aku dan Bunda masing-masing pulang naik ojek.
Aku tiba lebih dulu di rumah, langsung saja aku masuk ke kamarku, menguncinya. Ku jatuhkan tubuhku di atas kasur, mengambil bantal untuk meredam suara tangisku.
"Ayi? Lo di dalem?" Terdengar seruan Rayi. Aku tak menanggapinya, aku tidak kuat jika harus menjawab dengan tangisan.
"Ayi? Kalau lo mau sendiri dulu gak apa, tapi jangan macem-macem ya? Bunda tadi chat gue jelasin masalah lo."
"Iyaa!" Jawabku parau,
Kutarik nafas dalam-dalam, tak menyangka kalau ini semua terjadi di detik-detik pernikahan aku dan Lintang.
Aku memang tahu, Lintang sudah pernah berhubungan dengan wanita, tapi itu sebelumku, dan saat tak bersamaku. Tapi ini? 4 bulan lalu? Kami memang ribut, tapi gak putus. Kami masih ada di dalam sebuah hubungan. Lintang mengkhianatiku. Itu yang membuatku kecewa.
Dan, semuanya, segala mimpi-mimpi kami soal pernikahan sedari kuliah. Lalu semua tenaga, pikiran, dan materi yang sudah dikeluarkan untuk menciptakan pernikahan impian kami, hancur seketika karena datang satu wanita yang mengandung anaknya Lintang.
Gosh!
Aku gak kuat kayaknya. Aku gak tau apakah aku bisa menghadapi hari esok atau tidak.
**********
"Ayi keluar!!" Terdengar seruan Bunda dari luar. Dengan berat hati, aku turun dari kasur dan membukakan pintu.
Ada Bunda dengan tampang marah, dan Rayi dengan muka paniknya.
"Kamu jangan seenaknya batalin pernikahan gitu lah!" Seru Bunda dengan nada tinggi.
"Bun, Lintang selingkuh! Gila aja kalau aku masih mau sama dia."
"Ihh otak kamu tuh ya! Di dalem hubungan selingkuh tuh pasti ada, pasti!! Udah bagus ini Lintang sama keluarganya milih kamu."
"Maksud Bunda apa sih?" Tanyaku heran.
"Ya kamu tuh harus tetep nikah sama Lintang! Dia tuh baik! Yaudah, salah sekali ya maafin aja. Emang kenapa sih?"
"Bunda gak mikirin perasaan aku ya?!"
"Kaya gini tuh pake logika Yi, logika! Bukan perasaan! Di mana lagi kamu dapet yang kaya Lintang?"
"Yang tajir maksud Bunda?" Aku paham kemana arah perbincangan ini. Bunda diam, tak menjawab ku.
Aku hanya mampu menggelengkan kepala, lalu mundur, menutup kembali pintu kamarku.
****
Ingin rasanya aku menghilang, bolos kerja, mengurung diri di kamar. Tapi tidak, aku tetap menjalani hariku. Dengan mata sembab, aku diantar Rayi ke kantor.
"Dek, gue masuk kantor ya? Minta izin ke HRD lo, gak tega gue liat lo begini tapi harus kerja."
"Gak usah, nanti malah ditanya kenapa-kenapa. Kalo gini kan gue masih bisa ngeles, ngasih alesan apa kek!"
Rayi tersenyum sedih, ia mendekat lalu memelukku kaku. Membalas senyumnya, aku berbalik, masuk ke gedung kantor.
Orang satu lantai lumayan heboh, banyak yang bertanya soal mata bengkak ku. Tapi aku hanya membalas dengan "biasa lah masalah, hehehehe," ya, kubalas semuanya dengan tawa ringan seolah hidupku baik-baik saja.
Ku fokuskan diriku hari ini untuk bekerja. Aku sama sekali tak membuka ponselku dari semalam. Aku benar-benar tak ingin ada apapun yang menghancurkanku lebih parah dari ini.
Jadi, dengan sisa-sisa kekuatan yang aku miliki, aku bertahan.
Jam istirahat, Sagita mengajak makan siang bersama, namun kutolak. Kubilang padanya kalau kerjaanku masih banyak. Ia sedikit memaksa, aku tahu, ia ingin mengorek informasi dariku, lalu bergosip ria dengan orang lain. Tapi tidak. Ia tidak akan mendapatkan secuil informasi dariku.
"Gue banyak kerjaan Ta, asli deh, lo makan aja sana."
"Yaudah deh, bener nih gak mau bareng?" Ia akhirnya menyerah.
Begitu sepi, aku membuka e-mail ku, masih belum yakin dengan apa yang akan kulakukan, tapi ini lah jalan keluar ku. Aku ingin menghilang, jadi ya aku harus pergi. Dengan jalan yang tepat tapi.
Aku memeriksa e-mail yang kudapat beberapa bulan lalu, lowongan kerja yang sudah menjadwalkan interview namun kubatalkan karena aku sudah bekerja.
Ku hubungi nomor HRD yang tertera. Menanyakan soal posisi yang kulamar. Dan rezeki! Posisinya masih tersedia.
"Tapi mbaknya harus dateng ke sini ya?"
"Gak bisa online Pak?" Tanyaku.
"Kalau mbak jawab sebulan lalu, ya mungkin bisa. Tapi karena dipending, saya maunya ketemu langsung."
"Baik, Pak, saya akan datang! Terima kasih. Selamat siang."
"Iyaa, siang mbak Dayinta."
Aku menggaruk kepalaku. Sekarang, bagaimana caranya aku keluar dari kantor ini tanpa menjadi bahan gosip????
******
"Ada Lintang di depan." Ucap Rayi datar.
"Suruh pulang! Ngapain sih pake lo bukain pintu segala?"
"Gue lagi di depan."
"Gue gak mau ketemu dia." Kataku.
"Yaudah."
Rayi berbalik, menutup pintu kamarku lalu menghilang. Yeah, sudah seminggu ini Lintang selalu datang ke rumahku. Entah ingin bertemuku atau Bunda. Tak hanya Lintang, seminggu ini juga Mamanya datang. Tapi ya tetep, aku gak mau ketemu. Kalau Bunda? Masih tetap membujukku agar mau kembali bersama Lintang.
Rayi? Dia sebenarnya marah juga sepertiku, tapi ya Rayi tuh orangnya gak bisa jahat, jadi pasti ditanggepin walaupun seadanya.
Aku menyiapkan diriku dan segala hal yang kuperlukan untuk interview kerja nanti. Dan sepertinya malam ini aku akan bilang pada Bunda.
Memang sih, lari dari kenyataan itu bukan hal yang baik, tapi diam terus di sini pun bukan hal yang baik untukku. Rasa sakit itu selalu ada dan sulit dihindari, makanya, aku mau pergi.
Memastikan di luar sudah tak ada Lintang, akhirnya aku keluar kamar. Ada Bunda di ruang keluarga, dan kulihat juga Rayi sedang duduk santai di ruang tamu, pintu rumah sudah tertutup.
"Bun, Ayi mau ngomong." Kataku, duduk di dekat Bunda.
"Kenapa Yi?"
"Ayi ada interview kerja di Bali, lusa Ayi berangkat ya Bun?"
"Ehh, entar, entar... terus kerjaan kamu sekarang? Terus kalo keterima yang itu? Pindah kamu ke Bali?"
Aku tersenyum miris, lalu mengangguk.
"Kalo yang itu diterima, kerjaan sekarang dilepas Bun."
"Kamu udah bener-bener gila ya? Udah dapet kerjaan enak, mau dilepas. Itu Lintang, pasangan yang jelas, dilepas juga. Mau kamu tuh apa sih?"
"Yaudah, seenggaknya, Ayi udah izin sama Bunda kalau Ayi mau pergi."
"Gak Bunda restuin, Yi!!!"
Aku menarik napas panjang, lalu kembali ke kamar. Akhir-akhir ini, aku merasa Bunda adalah musuhku.
******
"Kenapa resign Yi? Gak boleh kerja ama calon suami? Atau calon mertua?" Tanya Pak Dodi saat aku datang ke ruangannya untuk mendiskusikan soal mundurnya aku dari kantor ini.
"Yaah, gitu lah Pak." Jawabku seadanya.
"Mana undangan? Udah tanggal 11 nih kamu belom sebar undangan Yi?" Ahhh nyesss banget ini ya Tuhan, mau jujur malu, mau bohong aku yang sakit hati jelasinnya.
"Gak tau nih Pak, ada masalah, kayaknya resepsinya ditunda." Jawabku bohong.
"Ehhh? Serius?? Masalah apa? Pantes saya sempet denger ada yang ngomongin kalau kamu sembab mulu." Nah kan, pasti ada orang yang diem-diem ngomongin aku.
"Ada Pak, masalah keluarga gitu, jadi ya ditunda dulu."
"Ya ampun Yi, kamu yang sabar yaaa! Kalau udah mau deket-deket hari H emang suka gitu tau, ada aja masalahnya."
Aku mengangguk.
"Jadi bisa nih ya Pak saya resign?"
"Yaah tapi nunggu sampe abis bulan yah? Biar saya ngitung gaji kamu full, baru deh nanti tambah pesangon, gimana?"
Aku mengangguk. Emang sih, kantor yang di Bali juga bilang aku kerjanya awal bulan aja. Bagus lahh.
"Siap Pak kalau kaya gitu."
****
Aku syok saat kembali ke mejaku. Yak, kok bisa ada Lintang duduk menunggu di sana? Bukannya gak sembarang orang ya boleh baik ke lantai ini??
Memasang ekspresi datar, aku tahu hampir semua orang sekarang sedang mengamatiku. Aku bahkan berusaha tersenyum saat tiba di meja.
"Ngapain?" Tanyaku pelan ke Lintang. Ia membalas senyumku, lalu menarik tanganku untuk duduk.
"Dikit lagi jam pulang, aku tungguin ya, kita keluar."
Aku diam. Entah apa yang ia lakukan, sampai bisa-bisanya jam kerja malah kabur ke sini. Dan, aku juga melihat sekelilingku, semua orang sepertinya sedang main tebak-tebakan dengan kepalanya sendiri.
"Yaudah, sebentar ya." Kataku. Lintang mengangguk.
Yaudah lah, aku gak mau bikin rame-rame di kantor. Gak mau bikin malu diri sendiri. Mungkin mengalah itu tak apa, walaupun hanya itu malah menyakiti diri sendiri. Dan semoga, setelah ini, Lintang tidak lagi menggangguku.
Amin.
********
TBC
Thanks for reading, don't forget to leave a comment and vote this chapter xoxoxoxoxo
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top