4. Ambyar
Dayinta POV
Sudah semakin dekat. Hari bahagiaku dengan Lintang sudah sisa berapa belas hari lagi. Dan aku stress.
Yak, undangan belum dicetak. Daftar dari Bunda ada yang berganti, bikin sakit kepala. Dan dari orang tua Lintang malah belum menyerahkan daftarnya. Aku jadi takut. Padahal udah nyisa 15 hari lagi.
Ya ampun. Nyebar undangan kapan aku??? Gak mau dadakan ya Tuhan, nanti disangka hamil duluan sama orang.
"Ayi, dipanggil Pak Dodi, soal cuti katanya!" Terdengar suara Mas Trisno dari ujung ruangan.
Ah ya kan, cuti. Aku belom dapet cuti. Kalau gak di-acc ya udah ini mah, ngeue romantis di Pulo Cinta, Gorontalo tinggal impian. Hiks.
Beranjak dari kursiku, aku berjalan santai menuju ruangan Pak Dodi, mengetuk pintu sebelum membuka, aku mendengar seruan masuk.
"Dayinta, ayok masuk sini!" Ujar pak Dodi, langsung saja aku masuk ke ruangannya, duduk di kursi yang tersedia di depan mejanya.
"Gimana Pak, bisa saya cuti?"
Pak Dodi tersenyum miris.
"Kamu nikah tanggal 17 ya?"
"Iya Pak, betul."
"Kamu sih, belom ngasih undangan, saya jadi lupa kalau gak liat form cuti kamu."
Aduh, alamat belom diproses ini huhuhuhu.
"Yaaaahhh, jadi gimana nih, Pak?" Tanyaku pura-pura melas.
"Saya bisa kasih cuti paling minggu depannya, gimana?"
Aku diam, pengin langsung cemberut tapi ngeri ini orang baca gestur tubuhku. Pak Dodi kan kalau di kantor ini merangkap cenayang.
"Saya obrolin sama calon saya dulu kayaknya Pak. Takutnya dia ajuan cutinya di-acc sesuai tanggal." Kataku.
"Nah iya, tanya ya, besok harus udah ada jawaban biar bisa langsung proses."
"Siap Pak!"
"Undangan jangan lupa, Yi! Biar bisa kosongin jadwal."
"Iya Pak, lagi proses cetak." Kataku bohong.
"Yaudah, itu aja dulu Yi. Maaf yaa gak bisa ngasih sesuai tanggal ajuan, soalnya dari Departemen lain udah ada yang cuti tanggal segitu, dua orang,"
"Iya Pak, makasi yaa. Saya pamit." Kataku, kembali beranjak dari kursi yang kududuki. Jadi gak semangat gini deh aku ngelanjutin kerjaan hari ini. Huhuhu.
******
Malam harinya, aku menelepon Lintang untuk membahas cutiku ini. Tapi anehnya, Lintang tidak menjawab panggilanku. Dan ini jarang sekali terjadi. Biasanya, sesibuk apapun Lintang, dia akan mengangkat semua panggilanku. Lagi marahan aja dia pasti angkat telefon kok.
Keluar kamar, aku duduk di sofa ruang keluarga. Tumben banget nih Bunda selesai makan malem langsung masuk kamar, biasanya kan nonton dulu. Dan Rayi? Entah dia kemana, sehabis makan malam langsung izin keluar.
Bengong memandangi layar TV yang mati, aku kembali mengulang panggilan ke Lintang, lagi-lagi ia tidak menjawabnya. Aku bete sendiri, bosen diem gak jelas, sampai suara pagar yang dibuka mengagetkan ku.
Huh! Rayi tuh yaa, buka pager selalu begitu, terus apa susahnya sih ngasih oli di selot pager? Biar gak berisik!
Terdengar suara ketukan di pintu depan. Aku langsung celingukan. Ya Allah, dosa, suudzon. Bukan Rayi ternyata. Hehehe!
Loncat dari sofa, aku berjalan ke ruang tamu, membukakan pintu dan syok melihat siapa yang datang.
Pak Setiawan, Papanya Lintang. Calon Papa Mertuaku.
"Papa? Kok tumben mampir? Abis rapat deket sini?" Tanyaku sotoy.
"Bunda ada, Yi?" Suara Papa datar.
"Eh, ada Pa. Masuk dulu, Ayi panggilin Bunda." Kataku, mempersilahkan Papa masuk.
Aku berjalan ke kamar Bunda, membuka pintu kamar perlahan lalu membangunkan Bunda yang sudah tertidur.
"Bun? Bunda? Ada Papanya Lintang, mau ketemu Bunda."
"Hemm? Ngapain? Malem kan ini tuh?" Bunda sedikit bergerak dari tidurnya.
"Gak tau Bun." Aku jadi mendadak tegang gini deh. Aku baru kepikiran, ada apaan ya Papa dateng ke sini?
"Yaudah, kamu temenin dulu, Bunda mau cuci muka."
Aku mengangguk, tanpa menjawab aku berjalan ke dapur, membuatkan minuman baru kembali ke ruang tamu.
"Ini Pa, diminum dulu, Bunda lagi di kamar mandi."
"Makasi, Ayi." Ucap Papa tulus, namun beliau memandangku dengan tatapan sedih.
Ini ada apa ya? Kok aku makin deg-degan gak karuan gini sih?
"Lintang gak apa-apa kan Pa?"
"Eh? Kok kamu nanya gitu?" Perasaanku semakin campur aduk.
"Iya, abis, itu, emmm, aku dari tadi coba telefon Lintang, tapi gak diangkat. Terus Papa tiba-tiba dateng. Ada masalah apa Pa?" Tanyaku bingung.
"Malam, Pak Setiawan!" Bunda bergabung dengan kami. Membuat pertanyaanku menggantung begitu saja tanpa jawaban dari Papa. Dan tentu saja, jantungku makin berdetak tak karuan.
"Emm, gini... gimana yaa, ada masalah yang tak terduga Bu Yanti. Hemm, saya bingung bilangnya, tapi... mungkin Bu Yanti sama Ayi bisa ikut saya ke rumah, biar kita obrolin semuanya bersama." Longsor jantung aku. Tuh kan bener, ada masalah. Ya Tuhan, masalah apa sih??
"Ada masalah apa Pak?" Tanya Bunda.
"Mungkin bisa dibahas di rumah saya, biar semuanya jelas, kalau di sini takut ada salah paham atau gimana."
"Yaudah Yi, kamu ganti baju sana. Pak Setiawan, saya juga ganti baju dulu."
"Iya Bu Yanti, silahkan." Ucap Papa ramah.
Bunda menarikku berdiri. Sebelum masuk kamar, Bunda menggengam tanganku erat.
"Yi, Bunda tanya, kamu sayang gak sama Lintang?"
Aku bengong, gak tahu apa maksud pertanyaan Bunda itu.
"Sayang lah Bun, kenapa sih?"
"Dengerin ya, kalau kamu sayang, ingetin itu di kepala kamu. Orang mau nikah banyak masalahnya, suka ada aja halangannya, nah mantepin di hati kalau kamu sayang sama Lintang, oke?"
Aku mengangguk.
"Yaudah, ayok ganti baju." Ujar Bunda lalu masuk ke kamar.
Tak terasa air mataku mengalir, aku bahkan gak tau menangis untuk alasan apa. Aku pun masuk ke kamarku. Ponsel yang sedari tadi kugenggam, kugunakan lagi untuk menghubungi Lintang. Dan, masih tak terangkat.
Aku berganti baju sambil menangis. Sebelum keluar kamar, aku mengusap air mataku. Berkaca di cermin untuk memastikan wajahku baik-baik saja.
Setelah itu, aku keluar. Bunda sudah ada di ruang tamu. Saat aku bergabung, Bunda dan Papa berdiri, lalu kami keluar. Menaiki mobil Papa yang terparkir di luar rumah.
Perjalanan menuju rumah Lintang hening. Tak ada satupun yang bicara. Aku masih berusaha menghubungi Lintang namun sepertinya usahaku sia-sia. Panggilanku tak terjawab.
Begitu kami tiba di rumah Lintang, terlihat ada kendaraan asing yang terparkir di halaman rumah. Papa langsung mempersilahkan kami untuk masuk. Bunda menungguku keluar, menggengam tanganku erat sambil kami berjalan masuk ke rumah yang sudah kuanggap sebagai rumah keduaku.
Ruang tamu ramai, ada Mama, Lintang dan empat orang asing. Yeah, aku gak pernah kenal siapa perempuan muda yang duduk di tengah sofa, ia diapit oleh sepasang wanita dan pria paruh baya yang sepertinya Ibunya dan Ayahnya wanita ini. Dan satu lagi, seorang pria yang umurnya mungkin sekitar awal 30-an.
"Ayi duduk sini yuk!" Seru Mama ketika kami masuk, menunjuk tempat di sampingnya. Tapi tangan Bunda, mencengkram lenganku erat, seolah tidak merestui aku duduk diapit Mama dan Lintang.
Aku diam, lalu kulihat Lintang masuk ke bagian dalam rumah, begitu juga dengan Papa. Mengambil tambahan kursi.
"Ayok Mbak Yanti, silahkan duduk." Ucap Mama ramah. Bunda menarik tanganku, kami duduk di bangku yang baru diambilkan Lintang dan Papa.
Aku memandangi wajah Lintang yang terlihat pucat, tapi wajahnya tak sepucat Mama.
"Ini ada apa ya Mbak Evi? Kok ada ngumpul malem-malem gini, tiba-tiba." Tanya Bunda mengawali obrolan yang terlihat menegangkan ini.
Mataku kini melirik ke wanita muda yang ada di hadapanku. Dia sepertinya masih kuliah, atau sudah lulus? Ya umurnya sekitar baru awal 20 sih kayaknya.
Dia siapa ya? Kenapa bisa ada di sini? Dan kenapa ruangan ini hening? Kenapa gak ada yang jawab pertanyaan Bunda?
Aku memandang sekeliling sekarang, berusaha mencari jawaban di mata orang-orang yang ada di sini. Tapi kebanyakan dari mereka menunduk. Kecuali si cowok asing yang duduk di paling pinggir, dekat pintu.
"Adik saya, Sosa, dihamilin sama Lintang."
Kini giliran aku yang mencengkram tangan Bunda. Tak percaya dengan apa yang baru saja diucapkan oleh cowok ini.
"Bener itu Lintang?" Suara Bunda langsung terdengar tegas.
"Bu Yanti tenang dulu aja, kita di sini lagi usaha kok, biar semua rencana tetap di jalurnya." Ujar Mama menenangkan.
"Maksudnya gimana Bu?" Suara lelaki asing ini terdengar kembali.
"Iyaa, kalian kan dateng minta tanggung jawab, kita, sekeluarga mau tanggung jawab, tapi hanya secara finansial. Lintang sudah bertunangan, sudah merencanakan pernikahan, jadi Lintang ya gak bisa nikah sama Sosa." Jelas Mama.
Dahiku langsung berkerut. Apa-apaan? Ya Tuhan, siap kah aku dengan skenario terburukmu???
*******
TBC
Thank you for reading, don't forget to leave a comment and vote this chapter xoxoxoxo
*****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top