3. Ribut

Dayinta POV

Dua puluh delapan hari lagi, entah kenapa aku jadi senang menghitung hari. Perjalananku bersama Lintang sebentar lagi akan mencapai tahap baru. Tahap terberat tentu saja, sebab seumur hidup bukan waktu yang sebentar kan?

"Gimana Day? Udah berapa persen persiapan nikah lo?" Tanya Sagita, teman kantorku.

"Yaa 70% laah."

"Kok 70 sih?"

"Ya kan masih ada acara siraman, baru deh hari H."

"Oh iya iya, ngerti gue. Apa lagi yang belom?"

"Undangan sih, udah dapet yang oke, tapi belom cetak, nanti aja minggu depan, soalnya jumlah undangan nambah mulu, pusing gue."

"Hahaha emang gitu, gue aja pas nikah bingung kenapa banyak banget yang dateng. Ya kebanyakan kan emang tamunya ortu, apalagi cowok lo anak tunggal kan?"

Aku mengangguk.

"Emaknya cuma sekali bikin kondangan, pasti pol-polan itu."

"Heu, berasa banget Git, ampe pusing gue, hahaha."

"Tapi enak tau kalo orang tua bantu, lo tau kan cerita si Maya." Gita mulai bergosip. Ya gini lah kegiatan makan siang kami. Awalnya ngobrol masalah sendiri, udah gitu yaa bahas masalah orang. Hehehehe.

"Asli, semuanya nabung sendiri, orang tua semena-mena." Sahut ku.

"Gak kebayang deh, apalagi mertuanya gitu kan, lebih sayang sama menantu satu lagi, kakak iparnya. Sedih sih pasti, mana tinggal bareng orang tua juga, beuh makan ati tuh tiap hari gue rasa."

"Duh, untung mamanya Lintang baik banget sama gue."

"Sama, udah lah, disayang mertua tuh setengah masalah rumah tangga kita kelar. Banyak bet orang yang keluarganya bermasalah gara-gara mertua."

Aku mengangguk. Teman kuliah dan teman SMA-ku yang sudah duluan berkeluarga pun banyak yang mengeluhkan hal itu. Tapi variasi sih. Masalah kadang datang dari mertua, kadang dari pasangan sendiri. Bahkan, ada yang dari tetangga. Pusing banget.

Jam istirahat makan siang berakhir, aku dan Gita keluar dari Pantry, menuju meja masing-masing.

Tak banyak kerjaanku kali ini, beberapa sudah kubereskan karena aku memang gak suka menunda-nunda kerjaan. Lalu, sebuah pesan masuk di ponselku mengalihkan perhatian dari game yang sedang kumainkan di komputer.

Saskara Aditya:
Si Herman tumben banget telefon gue

Me:
Ngapain? Kan gak deket sama doi

Saskara Aditya:
Curhat anjir
Gue kira mau pinjem duit 🤣
Ya karena gak deket
Makanya gue heboh

Me:
Curhat apaan?
Bukannya pas sekolah Herman deketnya sama Usman yak?

Saskara Aditya:
Ya mana gue tau
Iya dia curhat
Ketauan selingkuh sama istrinya

Me:
Anjir
Terus?

Saskara Aditya:
Istrinya kabur, pulang ke rumah ortunya
Herman takut
Istrinya kan anak polisi 🤣

Me:
Udah tau punya mertua galak
Malah selingkuh, bego

Saskara Aditya:
Nah iyaaa
Bego emang

Me:
Terus lo bilang apa?

Saskara Aditya:
Gue belom nikah anjir
Mana gue tau nasihat yang baik buat pasangan suami istri apaan
Gue suruh baik-baikin istrinya doang sih

Me:
Yaudah itu juga bagus

Saskara Aditya:
Heran gue

Me:
Heran kenapa?

Saskara Aditya:
Gue nanya sama Herman apa alesan dia selingkuh
Konyol, kampret

Me:
Apa emang?

Saskara Aditya:
Iyaa dia gak suka toket istrinya udah gak kenceng lagi 🤣

Me:
Anjir 🙃

Saskara Aditya:
Gue tanya kan kok bisa jadi gak kenceng lagi, dia jawab, gara-gara menyusui, gue bilang ya wajar kalo begitu terus gue tanya anaknya umur berapa, dia jawab 10 bulan, terus kan setau gue menyusui itu dua tahun yak? Kecuali gue sih, dulu gue ke Ibu sampe TK 🤣

Me:
Bangke
Jadi ngeri gue

Saskara Aditya:
Toket lo udah gak kenceng juga emang? 🤣

Me:
Tai!!

Saskara Aditya:
Ya abis, terus kenapa lo ngeri?

Me:
Ya ngeri aja

Saskara Aditya:
Udah ah
Nanti kalo Herman telefon lagi, gue kasih tau dah updatenya

Me:
Wajib!

Saka tak membalas pesanku, jadi kuletakkan ponsel di meja, kembali bermain game yang tadi ku-pause.

Jam-jam sore gak ada kerjaan gini emang paling bikin bosen sumpah. Mau jalan-jalan gak bisa, takut dicari atasan. Di ruangan doang bosen banget. Mau nonton drakor lagi gak ada yang aku suka.

Huh!

*****

"Aku ke toilet dulu." Kataku, Lintang mengangguk. Kutinggalkan makananku yang masih separuh. Asli sih, kebelet pipis pas lagi makan tuh gak asik tau.

Selesai dari kamar mandi, aku kembali ke meja tempat Lintang menunggu. Makanannya belum habis dan ia mendiamkannya. Wajahnya muram.

"Kenapa kamu Yaang? Sakit perut?" Tanyaku.

"Aku gak nyangka sama kamu." Ucapnya pelan lalu mendorong ponselku yang memang sedari tadi kubiarkan ada di meja.

"Maksudnya apa?" Aku membuka kunci layar dengan sidik jariku, lalu bengong karena langsung terlihat obrolanku dengan Saka.

Emm, sepertinya gak ada yang aneh. Kenapa Lintang marah? Dia tau aku berteman dengan Saka.

Lintang diam, ia tidak berbicara.

"Kamu mau jelasin atau aku harus nebak, apa yang bikin kamu marah?"

"Kamu manfaatin orang tua aku? Mama sama Papa." Lintang bersuara.

"Hah?" Syok aku denger ucapannya itu. Kapan aku manfaatin Papa dan Mamanya Lintang, manfaatin buat apa juga? Punya kehidupan yang lebih baik? Gosh! Saat jatuh cinta pada seorang Lintang, aku gak pernah tahu seperti apa keluarganya. Jadi di mana point aku manfaatin sih?

Lintang diam kembali, wajahnya seperti memendam sesuatu sementara di satu sisi aku juga marah, kubaca ulang-ulang obrolanku dengan Saka, mencari di mana letak kesalahanku sampai Lintang menuduhku memanfaatkan orang tuanya.

"Aku gak tau Yaang, aku manfaatin Papa dan Mama gimana, aku sama Saka gak ada chat bahas orang tua soalnya." Kataku putus asa.

Lintang tak langsung menjawab, ia menatapku kecewa.

"Kamu ngatain temen kamu 'Udah tahu punya mertua galak, malah selingkuh' jadi kalau punya mertua baik, kamu bakal selingkuh, gitu?"

Aku diam sejenak, tak percaya dengan apa yang sudah disimpulkan oleh kepalanya itu.

"3 tahun kita pacaran, pernah aku selingkuh? Pas kita putus, pernah kamu denger kabar aku deket sama cowok lain? Pernah kamu denger aku banding-bandingin kamu sama cowok lain? Ngejelekin kamu di belakang atau apapun itu?" Tanyaku. Lagi-lagi Lintang diam, ia tidak menjawab.

"Aku bete sama kamu, kamu nilai aku sedangkal itu." Ucapku lalu meninggalkan tempat ini. Mencari tukang ojek untuk mengantarku pulang ke rumah.

Gosh! Ini jumat, harusnya aku menghabiskan malamku bersama Lintang untuk melepas lelah setelah satu minggu bekerja. Tapi, malah jadi seperti ini.

******

Love:
Maaf yaang
Aku nuduh kamu sembarangan.

Pesan masuk dari Lintang, aku tak langsung membalasnya. Mendiamkan pesan itu selama beberapa menit. Menyibukan diri dengan me-list tamu undangan pernikahan yang baru saja diberikan oleh Bunda. Ada sekitar 200 nama, membuatku geleng-geleng kepala, tentu saja.

Ponselku berbunyi, Lintang menelepon. Dia memang seperti itu, kalau urgent, dan pesannya tak dibalas langsung melakukan panggilan.

"Hallo?" Jawabku.

"Maaf Yaang, maaf."

"Iya."

"Seriusan aku minta maaf, sayang."

"Iya."

"Maaf aku gak mikir panjang."

"Iya."

"Jangan singkat-singkat dong, aku kan jadi makin ngerasa bersalah."

"Mau ngomong apa lagi?"

"Apa kek, marah-marah gitu, aku terima kamu marahin."

"Aku lagi gak mood marah."

"Gosh! Alhamdulillah. Kamu lagi apa?" Tanyanya.

"List undangan Bunda nih banyak banget."

"Eh, sama! Mama sama Papa juga banyak, belom beres malah katanya, pusing, padahal aku kayaknya cuma ngundang 30 orang deh, eh sama temen kantor 40-an deh."

"Iya sama, aku juga segituan."

"Kamu udah gak marah?"

"Hemm!" Dia malah mengingatkan.

"Yaah, marah lagi. Jangan marah dong sayang. Kamu lagi mau apa? Aku ke rumah ya? Jumat ini kita pacarannya di rumah kamu aja, mau?"

Aku tersenyum mendengar itu.

"Iya, sini ke rumah aja." Lemah akutu, gampang banget dibujuknya.

"Oke aku berangkat! Rayi ada di rumah?"

"Ada, kenapa gitu?"

"Gak apa, bye! See you, mwach!"

"Daah sayang, hati-hati yaa, I love you."

"I love you more, Ayi."

Panggilan terputus, aku kembali lanjut mengetik nama-nama yang diberikan Bunda ke dalam laptopku. Kayaknya bakalan harus aku bawa cepet nih ke tukang cetak. Eh apa sekalian sama undangan Mama Papa aja ya? Hemm aku bingung.

Keluar kamar, kulihat Bunda sedang asik menonton acara masak yang terkenal dari Australia. Ya, aku dan Rayi melarang Bunda untuk nonton sinetron, ya gini deh jadinya, Bunda minta dipasangi TV kabel biar bisa nonton yang lain, dan kami pun setuju.

"Bun, itu tamu undangan gak mau dirapetin lagi apa?" Tanyaku iseng sembari duduk di sampingnya.

"Maksudnya?"

"Undangannya banyak banget, Bun."

"Eh itu malah belom semua, jangan protes ya kamu!"

"Yaudah iya." Aku pasrah, tahu sih emang, soal jumlah undangan udah gak bisa diganggu-gugat.

Aku bahkan tahu kalau Mama sudah memesan catering untuk tiga ribu pax. Pas aku tanya kenapa sebanyak itu, Mama jelasin kalau jumlah makanan itu harus tiga kali undangan. Karena satu undangan itu kan minimal untuk sepasang, belom yang sudah berkeluarga terus bawa anaknya. Yah gitu-gitu lah, Mamanya Lintang memang selalu mendetail untuk hal-hal yang tidak dipikirkan olehku yang masih awam ini.

"Dekkk, Lintang nihhh!" Terdengar seruan Rayi dari luar. Dia memang sedang bermain gitar di teras rumah.

Langsung saja aku beranjak dari sofa, berjalan ke luar rumah dan menemukan Lintang yang sedang melepas helm, dia bawa barang banyak banget.

"Bawa apaan kamu, banyak amat?" Tanyaku.

"Heheheh, ini, stik PS sama game buat Rayi,"

"Eh?" Sahut Rayi, menghentikan permainan gitarnya.

"Iya Bang, abis pas terakhir kita maen stik PS lo gue rusakin, sekalian game baru buat nanti kita mabar."

Rayi mengangguk, tersenyum. Mereka berdua memang sudah sangat akrab.

"Mau main sekarang, Bang?" Tanya Lintang.

"Nanti deh, TV lagi dikuasai Bunda. Lagian gue gerah, makanya ini di luar. Lo pacaran dulu aja sana sama Ayi. Maleman aja baru main."

"Siap, Bang!"

"Ayok masuk!" Ajakku, Lintang mengangguk. Ia membuka sepatunya lalu mengikuti duduk di ruang tamu.

"Bawa apaan lagi ini kamu?" Yeah, barang yang Lintang bawa gak cuma stik dan game PS.

"Belom makan kan kamu? Itu ada roti bakar kesukaan Bunda, kita makan ramean aja yuk?" Ajak Lintang, ia sedang sibuk membuka kaus kaki, sarung tangan bahkan jam tangannya. Yeah, kebiasaan dia memang, kalau masuk rumah pasti harus ke kamar mandi, sekalian salim sama Bunda.

"Yaudah, sana kamar mandi, aku ke dapur."

Kusiapkan roti bakar yang Lintang bawa, membaginya menjadi tiga piring, satu untuk Bunda, satu untuk Rayi, dan satu untuk kami berdua.

"Mau ngapain nih kita?" Tanyaku saat kami berdua cuma duduk diam di ruang tamu.

"Aku dimarahin tau sama Mama." Ujar Lintang tiba-tiba.

"Dimarahin kenapa?"

"Iya gara-gara pulang cemberut, aku diinterogasi, ditanya kenapa, pas aku jelasin eh aku disambit masa, katanya lebay, jangan bikin masalah, gitu-gitu lah."

Aku tersenyum.

"Kata Mama, mau nikah tuh biasanya banyak cobaan, aku jangan nambah-nambahin yang gak penting. Kasian Ayi, gitu katanya. Mama mah belain kamu mulu."

"Ya emang, kamu sensian."

"Udah deket jadwal haid kamu belum sih? Biasanya aku cranky gara-gara kamu mau dapet." Tanyanya.

"Dihh apa banget cari pembelaan, aku yang dapet kamu yang hormonal."

"Hehehehehe, tapi coba deh cek, pasti bentar lagi kamu dapet!"

Aku tersenyum, mengambil ponselku lalu membuka si Flo, aplikasi pengingat menstruasi ku. Dan yak, Lintang benar, Flo menjadwalkan aku untuk haid besok.

"Hehehe tuls, besok nih aku dapet."

"Kannnn, ehh tar dulu! Pas kita nikah kamu gak lagi dapet kan?"

"Kenapa gitu?"

"Ya nanti gak bisa malem pertama dong?"

Aku auto ngakak. Lintang ngaco banget aseli. Apa banget? Kita berdua kan udah sering gituan, malam pertama kami sudah terjadi setahun lalu, di Bandung.

"Dekkk wooy! Kedengeran ampe luar, kenapa lo?"

Aku jadi agak syok, kirain Rayi denger semuanya. Taunya denger ketawaku doang.

"Jangan kenceng-kenceng kamu, didenger orang malu!" Bisik Lintang.

Aku nyengir, geleng-geleng kepala. Ya Tuhan, meskipun sudah berpacaran cukup lama, Lintang masih saja selalu bisa membuatku tertawa. Membuatku jatuh cinta untuk kesekian kali padanya. Semakin membuatku tak sabar untuk segera menikah dengannya.

Dudududududu~

*******

TBC

Thank you for reading, don't forget to leave a comment and vote this chapter xoxoxoxo

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top