2. Bebenah

Dayinta POV

"Ma, nanti seserahannya Ayi bawa ke rumah ya? Kamar Ayi udah kepenuhan." Kataku saat acara lamaran sudah selesai, kini kedua keluarga sedang mengobrol santai.

"Iya sayang, bawa aja, sama kalau gitu ajak Bi Dinah gimana? Biar sekalian beresin rumah itu, takutnya banyak debu juga kan?"

Aku mengangguk. Orang tua Lintang memang punya dua rumah, dan kami diminta menempati rumah itu setelah menikah nanti. Lokasi rumah tidak terlalu jauh dengan rumah Lintang saat ini. Mama dan Papa memang tak ingin jauh-jauh dari anak semata wayangnya itu.

"Siap Ma, kan sebelum ke rumah itu juga Ayi pasti ke rumah Mama dulu ambil kunci."

"Oke sayaang, kamu nanti rajin-rajin ya main ke rumah Mama?"

"Pasti lah Ma, kan sekomplek, heheheh!"

"Kalo gak sempet masak, ke rumah Mama aja, ya?"

Aku mengangguk. Jujur, yang membuatku bahagia memiliki Lintang sebagai pasangan tuh bukan hanya karena ia tampan, baik dan perhatian. Tapi keluarganya, Mamanya yang sangat penyayang, Papanya yang bijak. Keluarganya sempurna menurutku.

Mama kemudian mengajak ngobrol, perabotan apa saja yang perlu ditambahkan untuk rumah, karena sudah lama tidak ditinggali, menurut Mama banyak perabot yang musti diganti.

"Ma, itu biar Ayi sama Mas Lintang aja yang beli, Mama udah bantuin kami banyak banget." Kataku.

"Ya gak apa, emang kenapa? Kamu sama Lintang kan anak Mama, masa Mama sama Papa gak boleh kasih yang terbaik, iya kan?"

Aku mengangguk, tak enak bilang secara langsung kalau kami ingin mandiri dan tidak mau bergantung, mungkin nanti Lintang yang bisa ngomong langsung ke Mamanya.

"Pokoknya kalau kalian butuh apa-apa, bilang sama Mama ya?"

"Iya Ma, siap!" Kataku patuh, Mama tersenyum senang lalu memelukku tiba-tiba erat sekali.

"Mama seneng banget Lintang jadinya sama kamu, ya ampun Yi!!!"

"Aku juga seneng Ma, bahagia banget."

"Mama yaa udah bilang makasi banyak-banyak sama Bunda, yang udah mengandung kamu, lahirin kamu, besarin kamu sampe jadi kaya sekarang, doooh kamu tuh idaman semua mertua tau Yi."

Oke ini lebay, aku gak se-wow apa yang dibilang Mama barusan, dan sebenernya aku bingung, apa yang membuatku menarik di mata Mama, padahal yang kutahu mantannya Lintang itu superb semua, sumpah. Aku aja pas awal pacaran sama dia jiper. Bahkan kami juga pernah sempat putus selama 6 bulan, Lintang jadian sama cewek populer, tajir, cakep, dari kalangan atas, ehh tapi untung lah, mau nikahnya sama aku, hehehe.

Hari sudah semakin malam, acara lamaran ini bubar dengan sendirinya, meninggalkan aku di rumah hanya dengan Bunda dan Rayi, Abangku.

"Tuh Bang, adeknya udah lamaran, kamu kapan?" Sindir Bunda, aku tersenyum. Rayi hanya satu tahun lebih tua dariku, dan aku tahu pacarnya itu masih anak kuliahan.

"Bunda apaan sih, aku belom punya tabungan banyak, kerja juga cuma gitu-gitu doang." Jawab Rayi.

"Ah Lintang sama Dayi juga baru kerja setahun, langsung bisa nikah."

"Bun, aku sama Lintang kan dibantu orang tuanya." Kataku, yeah, kami memang ingin menikah, sudah sejak kuliah kami merencanakannya, dan yang mewujudkan itu menjadi lebih cepat terjadi ya Mama dan Papanya Lintang, bisa dibilang mereka membiayai 80% acara pernikahan kami. Karena tabungan aku dan Lintang pun belum banyak.

"Yaudah kamu semangat Bang nabungnya, cari cewek yang bener juga."

"Iya Bun." Sahut Rayi pasrah.

"Kalau bisa cari yang kaya, biar kamu gak perlu kerja keras."

"Bun, Bang Rayi kan cowok, kerja keras ya perlu." Kataku.

"Tapi kan lebih enak kalau dari kalangan orang kaya, kali aja bisa ngasih kerjaan yang lebih layak buat Rayi."

Aku diam, Bunda memang begitu, bisa dibilang sedikit matre.

"Ayi tuh pinter, nyari yang anak tunggal, jadi entar warisannya gak perlu bagi-bagi. Bapaknya Lintang pengusaha, ibunya PNS yang punya jabatan."

"Bun ihhhh! Aku gak pernah tahu Lintang anak siapa pas pacaran, gak tahu kalau dia anak tunggal, atau apa lah."

"Ya tapi bagus kamu Yi, cari yang begitu."

Perbincangan malam ini tidak berakhir baik, Rayi langsung masuk ke kamarnya, tidak menyelesaikan makanannya, begitu juga dengan Bunda.

Aku menghela napas panjang, merapikan meja baru masuk ke kamar untuk beristirahat.

Aku tidak bisa tidur, memandang langit-langit kamarku yang polos, lalu mengambil ponsel dan ternyata ada pesan masuk dari Lintang.

Love:
Anjirrrr
Seksi bat dah lu pake kebaya ketat begitu
Kalo cuma berdua, abis dah lu
Hahahahaha

Pesan itu dikirim 6 jam yang lalu, yang artinya saat lamaran berlangsung. Udah gila kali ya Lintang? Sempet-sempetnya dia pegang HP pas acara. Lha aku? Baru kepegang sekarang ini HP.

Me:
Anjir
Nanti gue pake lagi dah kebayanya
Biar lo napsu

Tidak ada balasan, mungkin Lintang sudah tidur karena memang sudah terlalu malam.

Kubuka pesan lainnya yang masuk hari ini, banyak teman-teman yang mengucapkan selamat. Aku memang tak mengundang teman-teman karena permintaan Bunda yang hanya ingin keluarga saja yang datang.

Satu pesan mencuri perhatianku, dari Saskara, teman dekatku di SMA yang sekarang sudah bekerja di pulau lain.

Saskara Aditya:
Ngeliat postingan anak-anak yang ngucapin selamat ke elu
Agak sakit anjir
Tahu lo lamaran dari orang bukan dari lo langsung
Bahagia selalu ya Dayinta
Gue kira lo bakal jadinya sama gue
Hahahahaha!

Me:
Gue ngasih tau di group
Lo aja yang gak buka kali?
Haha anjir apaan banget sih lo
Makasih yaa ucapannya

Kukirim balasan tersebut dan langsung terbaca, detik berikutnya terlihat Saka sedang mengetik balasannya.

Saskara Aditya:
Lha emang iya?
Gue gak buka group sih
Maapin berarti
Yo sama-sama
Lo mau hadiah apa dari gue?

Me:
Baru lamaran etdah
Hadiah nanti aja pas kawin
Lo dateng ya?

Saskara Aditya:
Kapan emang?
Gue juga ada rencana pulang kok

Me:
17 Oktober
Hampir 2 bulan
Ada waktu tuh
Urus cuti
Wajib dateng

Saskara Aditya:
Siaaap Dayinta!

Me:
Lo nih yaaa
Masih aja manggil gue sepanjang itu

Saskara Aditya:
Gue suka nama lengkap lo
Dayinta Andana Praharsa
Di kontak gue aja nama lo panjang wkwkwkkwk
Di kelas yang namanya bagus lo doang

Me:
Gak jelas anjir

Saskara Aditya:
Udah tidur gih lo
Di sana udah tengah malem kan?

Me:
Lha di sana apa kabar?
Yaudah
Bye
Ketemu di nikahan gue yak

Saskara Aditya:
Iyeee
Bye!

Aku menutup room chat tersebut, lalu meletakkan ponsel di sampingku. Mencoba memejamkan mata, aku masih gak bisa tidur.

Turunlah aku dari kasur, lalu keluar kamar, mengetuk kamar Rayi lalu membukanya, terlihat Abangku itu masih bermain HP.

"Ngapa lu?" Tanyanya ketika aku menjulurkan kepalaku dari pintu yang terbuka sedikit.

Aku tersenyum lalu masuk, duduk di pinggir kasurnya.

"Mau di sini boleh gak?"

"Kenapa lu?" Tanyanya lagi, tapi ia bergeser memberi ruang untukku rebahan.

"Gak tau, gak bisa tidur Yi,"

"Deg-degan lu?"

"Engga sih, biasa aja, gak bisa tidur aja."

"Aneh!"

"Lo beneran gak apa kan Yi, gue langkahin lo nikah duluan?" Tanyaku entah untuk yang keberapa kali.

"Santai dek, gue nanti aja nikahnya, kan kalo lo udah bahagia juga gue lega."

Aku mengangguk.

"Nginep sini ya gue malem ini?"

"Kaya gak punya kamar aja lu!" Seru Rayi, tapi aku tahu, ia gak bakal nolak, heheheh.

Menarik guling miliknya, aku berbalik memunggungi Rayi lalu memejamkan mata, dan hanya butuh waktu beberapa menit, aku pun langsung terlelap.

°°°°°
°°°°°

"Perlu beli kasur baru gak sih Yi?" Tanya Mama padaku.

Mama ikut denganku dan Bi Dinah yang sedang merapikan perabotan rumah.

"Gak usah Ma, itu masih bagus banget kok."

"Tapi kan kamar satunya kosong, biar kasur ini pindah, kamu sama Lintang tidurnya di kasur baru, ya?? Yuk kita belanja."

Aku tahu, aku gak harus pusing soal uang karena Mama pasti akan membelikannya, tapi rasanya gak enak kalau semuanya dari orangtuanya Lintang.

"Nanti aja Ma, belum butuh banget kok."

Mama akhirnya mengangguk setuju, lalu kami lanjut merapikan rumah. Barang-barang seserahan yang diberikan Lintang, sudah aku rapikan, soalnya box hiasnya mau dibalikin ke orang vendor, hehehe.

"Lemari kurang gak, Yi?" Tanya Mama.

"Cukup Ma, Ayi gak bawa semua baju dari rumah. Jadi lemari ini cukup buat baju Ayi sama Mas Lintang."

"Bener?"

Aku mengangguk mantap. Lemari berpintu 5 ini sudah lebih dari cukup menurutku. Kalau emang kurang, nanti beli lemari kecil aja dari plastik, ditaro di luar kamar deket ruang cuci-setrika, biar kamar ini gak sesek.

"Yaudah kalo gitu Yi, nanti pas tinggal pasti ketauan apa yang kurang sih, kamu nanti bilang ya?"

"Siap Ma!" Ucapku, tapi tak janji, karena kehidupan pernikahan nanti aku dan Lintang memang mau mandiri, itu sudah menjadi ketetapan kami.

Selesai beberes rumah, kami pulang ke rumah orang tua Lintang. Di halaman terlihat Lintang yang sedang mencuci mobil Papa dan motor miliknya.

"Beres?" Tanyanya.

"Beres Mas," Jawabku, yeah aku memang memanggil Lintang dengan sebutan Mas kalau di depan orang tuanya.

"Tapi masih ada yang kurang tau, nanti kamu bilang ya kurang apanya."

"Iya Ma!"

Mama langsung masuk ke dalam sementara aku duduk di teras, menunggui Lintang.

"Yaang!" Panggilku ketika Lintang menyalakan keran air di dekatmu.

"Apaan?"

"Kamu tau kita nanti maunya berdua. Biar Mama sama Papa gak repot."

Lintang mengangguk. Ia celingak-celinguk ke dalam rumah, seperti mengecek sesuatu.

"Iya tau, tapi kalo Mama bilang apa-apa gitu iyain aja, biar seneng. Orang tua tuh seneng ngerasa dibutuhin sama anaknya. Nanti mah kita aja handle sendiri, oke sayang?"

Aku mengangguk mendengar penjelasan Lintang.

"Tenang Yaang, semua masih sesuai rencana kita kok, oke?" Ujarnya menenangkan.

Lagi, aku mengangguk. Merasa senang karena sedikit lagi, kami akan tiba di tujuan pertama kami. Lalu setelahnya, akan mengarungi kehidupan baru berdua, menuju tujuan utama yaitu menua bersama.

****

TBC

Thank you for reading, don't forget to leave a comment and vote this chapter xoxooxo

Ps: gak pake cast yak, kalian bayangin aja tampangnya Dayinta sama Lintang begimana hahahaha

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top