16. Sakit

DAYINTA

Aku menarik napas ketika mendengar seruan Mbak Wahyuni yang bilang kalau aku dipanggil Pak Satria. Sudah seminggu lebih dan aku memang selalu menghindar dari bosku ini. Aku malas kalau ia malah membahas hal-hal yang harusnya kulupakan.

Mengambil notes, jaga-jaga kalau Pak Satria memang mau bahas kerjaan, aku berjalan santai ke arah ruangannya. Begitu tiba, terlihat asistennya antusias menyuruhku masuk.

"Masuk aja Mbak Ayi, sudah ditunggu sama Bapak."

"Makasi Mbak Wulan."

Mengetuk pintu beberapa kali, begitu ada sahutan aku langsung membukanya dan berjalan masuk.

"Pak Satria panggil saya?" Kataku formal.

"Iya, ayok duduk Mbak Ayi." Aku mengangguk, berjalan mendekat lalu duduk di kursi yang ada dihadapan Pak Satria.

"Ada apa ya Pak?" Tanyaku saat sudah duduk dengan sangat tidak nyaman.

"Ini, laporan yang dari Mas Anggi, katanya dikerjain Mbak Ayi ya?"

"Oh iya, betul Pak. Ada masalah ya?"

"Bukan masalah sih, sebenernya saya bisa minta softcopy aja buat betulin, tapi saya mau Mbak Ayi juga tahu sebelum saya koreksi."

Aku mengangguk, lalu Pak Satria memperlihatkan beberapa kali aku typo dalam menulis kata. Hal-hal simpel yang lumayan fatal sih karena ini laporan per setengah tahun.

"Udah sih itu aja, kalau data, dan lainnya sudah saya cocokan, aman."

Aku mengangguk lagi.

"Baik Pak, nanti saya kirim softfile-nya ke Mbak Wulan ya?"

"Boleh, makasi ya Mbak Ayi."

"Saya pamit ya Pak?"

"Eh jangan dulu?"

Lha?

"Saya tahu Mbak Ayi pasti marah kalau saya bahas soal adik saya. Tapi Mbak... saya mau ngobrolin ini."

Aku diam, teringan ucapan Saka yang bilang 'kalo lo mau ikhlas, hadapin setiap rasa sakitnya, enjoy it, bukan lari atau menghindar'. Well, mungkin saat ini aku harus menghadapi kali ya?

"Emang apa sih Pak yang mau diobrolin?" Tanyaku, akhirnya memilih tetap duduk dan mendengarkan, tidak lari lagi.

"Pertama, saya mau bilang makasih. Makasi karena Mbak Ayi, saat itu memilih mundur di saat orangtua Mbak Ayi, pun orangtuanya Lintang memberi pilihan untuk stay dan melanjutkan pernikahan. Saya tahu, hadirnya adik saya di hubungan Mbak Ayi itu memang sebuah petaka. Saya pun kalau ada diposisi Mbak Ayi mungkin gak akan bisa setegar itu, berani ambil sikap. Tapi saya salut sama Mbak Ayi."

Aku diam, mendengarkan.

"Keputusan Mbak Ayi itu, membuat adik saya berhenti melakukan percobaan bunuh diri. Sebelumnya, sedari dia tahu kalau dirinya hamil, sudah 3 kali dia mencoba bunuh diri. Tapi begitu tahu kalau Lintang akan menikahinya, dia lumayan tenang. Saya tahu, kalian bertiga sejak saat itu menjalani hidup yang kurang enak, dan Mbak Ayi yang paling dirugikan dalam kasus ini. Adik saya, dia menikah dengan orang yang gak mencintainya, dia bertahan karena anaknya. Pun Lintang, yang menikah dengan orang yang gak dia cintai, yang mungkin bisa pergi ninggalin istrinya kapan aja. Dan Mbak Ayi, yang gagal menikah dengan orang yang sudah Mbak pilih.

"Saya pribadi minta maaf sekali, karena kalian jadi menjalani hidup yang begitu. Tapi... ya gimana lagi?"

Aku mengangguk.

"Udah Pak, gak usah minta maaf terus. Pertama ini bukan salahnya Pak Satria. Dan lagi, saya pelan-pelan coba ikhlasin itu semua kok."

"Oh iyaa, waktu saya ngobrol sama Mamanya Lintang soal pernikahan, katanya semua diurus sama Mbak Ayi, dan saya yakin, ada uangnya Mbak Ayi juga yang keluar untuk pernikahan itu. Saya mau tanya Mbak, Kira-kira total pengeluaran Mbak Ayi berapa? Biar saya ganti."

Aku kaget denger itu. Seriusan? Ah tapi aku udah ikhlas sih bayarin kawinan Lintang sama Sosa.

"Mbak?"

"Saya gak tahu, Pak."

"Perkiraan aja? Saya tahu, itu pasti uang yang Mbak Ayi tabung kan? Nah saya mau ganti Mbak, gak enak dong, masa pernikahan orang lain, tapi Mbak Ayi yang bayar."

"Tapi saya beneran gak inget Pak, gak tahu udah keluar uang berapa."

"Yaudah, saya yang buat perkiraan aja gimana?"

"Ehhh? Udah deh Pak, gak apa."

"Jangan, saya makin gak enak nanti sama Mbak Ayi. Nanti saya coba minta asisten saya cari berapa kira-kira perkiraannya ya Mbak?"

"Yaudah, terserah Pak Satria aja." Hemm, gak baek juga kan nolak rejeki ya?

"Makasi Mbak Ayi, makasi banget."

"Saya sudah boleh keluar Pak?"

"Iya, silahkan Mbak. Eh iya, saya mohon izin, nanti saya berarti bakal minta nomor rekening Mbak Ayi yaa, ke orang keuangan."

"Iya Pak." Aku mengangguk kecil, lalu pamit keluar.

Well, kalau boleh jujur, ternyata Kakaknya Sosa ini baik ya? Sopan banget lagi. Dia keliatan nyebelin ya dulu aja, pas di rumah Lintang. Dan itu lebih ke tegas sih dibanding nyebelin.

Eh, tetep sih nyebelin. Soalnya dia kan kakaknya Sosa!!!

Huh!

****

Ponselku berdering tepat ketika aku masuk ke kostan, saat kulihat, ternyata panggilan dari Icha.

"Hay Cha, apa kabar?" Tanyaku menjawab panggilan itu, Icha sudah pulang, aku benar-benar kehilangan dia.

"Hallo, Kak Ayi di mana? Boleh minta tolong gak?"

"Baru sampe kostan, minta tolong apa?"

"Saka sakit Kak, coba tolong liatin ya?"

"Waah? Oke siap, aku ganti baju dulu, terus ke depan beli bubur yaa, baru aku ke kamarnya Saka."

"Makasi banyak ya Kak, maaf aku repotin Kak Ayi."

"Gak apa lah Dek, Saka kan temenku."

"Oke Kak, makasi yaaa."

"Siap!"

Panggilan terputus, aku langsung melemparkan tas dan ponselku ke kasur. Segera saja aku ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Selesai itu, aku berganti baju, lalu mencari kotak makan untuk bubur yang akan kubeli.

Meninggalkan kamar dengan keadaan terkunci, aku berjalan ke penjual bubur yang mangkal setiap sore sampai malam di kawasan kostan. Setelah membeli satu porsi, aku langsung kembali, naik ke atas menuju kamarnya Saka.

"Saka? Sakkaaa!" Seruku sambil mengetuk pintu kamarnya namun tidak ada jawaban. Cukup lama aku mengetuk sampai akhirnya pintu itu terbuka.

Terlihat Saka yang membungkus dirinya dengan selimut tebal, aku mendorong pintu, masuk dan Saka pun sudah berjalan kembali ke kasurnya, jalan pelan kayak zombie gitu deh.

"Kenapa gak bilang kalau lo sakit?"

"Hemmmh, pegang HP aja gak kuat Day." Ia sekarang sudah bergelung di atas kasur.

Ku dekati Saka, lalu duduk di ujung kasur.

"Gue bawa bubur, makan ya?"

"Lidah gue gak enak."

"Lo pasti belom makan, yuk makan, gue suapin Sak. Makan ya?" Bujukku. Tapi Saka konsisten menggeleng.

Kuletakkan kotak makan berisi bubur di kasur, lalu mendorong tubuh Saka agar ia telentang, setelah itu menarik bantal untuk menyanggah kepalanya.

"Apaan sih lu?"

"Makan Saskara!"

"Lidah gue gak enak Day."

"Mau ke dokter gak?"

"Ngapain?"

"Ya berobat lah."

"Gak ahh, ini gue cuma demam biasa aja."

"Yaudah makan ya?" Kataku.

Saka gak menjawab, jadilah kuambil kotak makan, membukanya lalu sengaja mengipaskan uapnya agar Saka bisa mencium aroma nya.

"Enak kan? Makan ayok!"

"Bubur di depan ini yak?"

Aku mengangguk, lalu mulai menyuap Saka, untung anaknya mau buka mulut.

"Lo sakit kenapa dah?" Tanyaku.

"Gak ngerti, dari semalem gak enak badan banget, terus pas subuh demam ampe sekarang."

"Tubuh lo beradaptasi dengan status jomblo lo kali?"

"Dih, mana ada sakit modelan begitu?"

"Serius, gue waktu putus sama Lintang sampe demam, dua hari." Kataku sambil nyengir.

Saka bukannya ikut tertawa, dia malah memperhatikan wajahku dengan seksama, bikin bingung.

"Kenapa lo?" Tanyaku.

"Gak!"

Aku terus menyuapinya, sampai gak kerasa perutku bunyi. Heheheh. Iya lupa, aku kan juga belom makan.

"Makan sana!" Seru Saka.

"Iya, abis ini gue gofood."

"Sekarang, biar pas gue beres makan, makanan lo juga dateng."

Aku mengangguk, mengeluarkan ponsel dari saku celana, baru akan membuka aplikasi, ehh kaget aku liat SMS Banking yang masuk.

Iya, gimana gak kaget, ada uang masuk sejumlah 100 juta. Gila, gila aja bos!

"Kenapa muka lo syok begitu?"

"Gila, Sak."

"Kenapa?"

"Kakaknya Sosa, ngasih gue uang 100 juta."

"Ngasih? Cuma cuma?"

"Katanya sih gantiin duit gue yang kepake buat ngurus nikahan."

"Serius?"

"Iya, tapi ini banyak banget buset. Gue gak keluar duit sebanyak ini."

"Yaudah bilang aja."

"Besok aja deh di kantor."

Saka mengangguk, aku mulai menyuapinya kembali, sambil sebelah tanganku memesan makanan agar segera di antar ke sini.

Selesai Saka makan, aku merapikan kotak makan dan memberinya minum. Tak lupa obat yang sempat kubeli untuk menurunkan demam.

"Lo kenapa repot-repot begini sih?"

"Lo lebih sering gue repotin kali, Sak."

"Emang iya ya?"

Aku mengangguk, dan tak sengaja aku menyentuh tangan Saka. Ternyata badannya panas. Banget!

"Sak! Badan lo panas banget itu, gak mau ke dokter aja?"

"Gak apa, gue istirahat aja. Gue udah dibikinin surat sakit sama temen gue, santai lah." Jelasnya. Jadi aku mengangguk, sambil tetap duduk di dekatnya.

"Badan gue pegel banget, gilak!"

"Apa yang pegel?" Tanyaku.

"Bahu, Day."

"Yaudah, balik gih, gue pijet."

"Gak ah, gue gak mau keluar selimut, dingin parah cuy."

Yeah, aku tahu Saka kedinginan, dia bahkan pakai kaus kaki.

"Udah balik aja, gak usah lepas selimut."

"Gak usah ah." Katanya, memilih memeluk guling dengan posisi meringkuk seperti bayi di dalam perut.

Makan malamku datang, aku makan dalam diam karena Saka sudah tertidur, entah karena pengaruh obat, atau dia memang lemas jadi ketiduran. Yang jelas aku masih tetap di sini. Berencana nginep juga sih sebenernya.

Hari sudah semakin malam ketika aku mengambil ponsel yang sedari tadi kudiamkan. Ada chat dari beberapa orang.

Icha:
Gimana kak?

Me:
Saka tidur sekarang.
Tadi kukasih bubur, terus obat

Icha:
Makasi ya Kak

Me:
Kalian kenapa putus sih?
Saka sakit kayaknya karena putus sama kamu tau

Icha:
Hehehe emang gak bisa dipaksain Kak

Me:
Tapi kamu masih
sayang kan sama Saka?

Icha:
Biasa aja

Me:
Bohong
Buktinya ini masih perhatian

Icha:
Aku udah punya pacar baru Kak
Saka tau itu

Me:
Saka demam pasti
gara-gara sakit hati

Icha:
Haha engga, Kak
Aku pacaran lama sama Saka
Tapi kami gak sesayang itu
😅

Me:
Hah?
Gimana sih maksudnya?

Aku menunggu jawaban, tapi Icha tak kunjung membalas pesanku. Dengan prihatin, aku melirik Saka yang tidur di sampingku ini. Ia sudah sangat terlelap, badannya masih panas dan belum turun.

Kembali ke ponsel, aku membalas pesan Rayi sekenanya. Ia bertanya kabar, dan aku pun menanyakan kabarnya seadanya.

Dan yang paling bawah, chat dari Pak Satria.

Pak Satria K:
Sore, Mbak Ayi?
Saya sudah tfr ya
Sekali lagi makasi

Me:
Malam Pak.
Iya sudah masuk Pak
Tapi itu kebanyakan 🙃

Pak Satria K:
Gak apa, itu itungannya sudah pas kok

Me:
Saya gak enak terimanya Pak
Banyak banget loh

Pak Satria K:
Udah, diterima aja
Oh iya, ini kan bukan bahasan kantor
Manggilnya gak usah Pak lah, berasa tua nih

Aku mengernyitkan alis, bingung kenapa tiba-tiba Pak Satria begitu. Dan memutuskan untuk tidak membalas pesan itu.

Apaan banget dah?

*****

TBC

Thanks for reading
Don't forget to leave a comment and vote this chapter xoxoxo

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top