14. Satria

DAYINTA

Aku mengutuki diriku sendiri pagi ini. Ya, gimana engga? Aku terbangun dengan posisi berpelukan dengan Lintang, dalam keadaan telanjang pula. Apa-apaan sih Ayi? Kenapa lemah banget??!

Turun dari kasur, aku langsung berlari ke kamar mandi. Segera membersihkan diri karena tahu ini bukan hari libur dan aku harus bekerja. Selesai mandi, aku berganti dan berdandan secepat kilat. Setelah itu, aku menjelajahi seluruh kamarku untuk mencari 'sisa-sisa' hasil hubungan terlarangku dengan Lintang semalam.

Hampir tiga puluh menit mencari namun nihil, akhirnya aku membangunkan Lintang.

"Woy! Bangun lu!" Seruku mengguncang bahunya. Ia bergerak lalu tersenyum menatapku, manis.

Ya Tuhan, diuji apa lagi sih ini aku?

"Yi, kalau aku cerai sama Sosa, kamu mau nungguin aku gak?" Tanyanya seolah ucapannya itu bukan sebuah perkataan jahat.

"Gak! Udah sana kamu pergi, aku mau kerja!"

"Kamu ngusir? Setelah apa yang kita lakuin semalem?"

Aku mendengus marah, kesal pada diri sendiri karena terlalu lemah.

"Kamu tuh manfaatin keadaan aku! Udah sana pergi! Gak usah ganggu aku! Urus keluarga kamu, plis!"

"Aku sayangnya sama kamu, Yi!"

"Engga! Sekarang sayangnya kamu tuh harusnya buat Sosa sama buat anak kamu tuh!"

Lintang bangkit, duduk di kasurku. Untungnya tubuhnya yang telanjang itu tertutup selimut. Takut khilaf aku ya Allah.

"Berapa kali aku harus bilang kalau aku gak sayang sama Sosa?"

"Kamu belum sayang lebih tepatnya, karena kamu gak membuka diri buat dia. Plis Lintang, dia istri kamu! Kamu harus lebih peduli sama dia! Oke? Dan apa yang kita lakuin semalem, itu salah! Jadi jangan sampe kita ulangi lagi."

"Aku gak pakai pengaman semalem, semoga sih kamu hamil! Biar kita bisa nikah!" Ucapnya dengan nada licik, membuatku sedikit marah.

"Pergi!! Please! Jangan ganggu aku!" Kali ini aku membentak, aku sudah tidak kuat menahan emosi.

"Oke, tapi aku jamin, bulan depan, kamu bakal nyari aku untuk minta tanggung jawab!" Lintang bangkit, ia memunguti pakaiannya, mengenakan baju tersebut lalu keluar dari kamarku.

Aku terduduk di lantai saat Lintang pergi. Hatiku sakit sekali.

Ya Tuhan? Kenapa harus seperti ini? Rasa sakit yang kemarin saja sepertinya belum sembuh. Kenapa harus ada rasa sakit baru? Aku rasa aku gak kuat menanggung semua rasa sakit ini.

Tanganku perlahan turun ke perut. Dan? Bagaimana jika Lintang benar? Bagaimana jika Lintang menghamiliku?

Damn!

*****

Hari ini suasana kantor lebih ceria dari biasanya. Aku yang banyak pikiran mencoba mengabaikan permasalahanku dan menghanyutkan diri dalam euphoria kantor yang sedang berbahagia karena akan adanya bos baru untuk posisi yang selama beberapa bulan terakhir kosong.

"Kapan nih bos datengnya?" Tanyaku.

"Jam 3, jadi sampai pulang kita gak usah kerja deh." Ujar Risma semangat. Aku juga ikutan semangat, lumayan nih bisa santai dari sehabis makan siang.

Tapi tentu, jam makan siang aku keluar karena ada hal yang perlu kuurusi. Aku siang ini janjian dengan Icha di dekat kampusnya.

"Hay Kak Ayi! Lama ya nunggu?" Tanya Icha ketika jus manggaku sudah habis, dan aku sedang menunggu gelas kedua.

"Lumayan Cha, kenyang aku sama jus."

"Hehehe maaf Kak, abis pembimbingku lama banget ngajak ngobrolnya."

"Pesen makan sana, atau mau jus juga?"

"Makan deh, aku laper, abis buang banyak tenaga nih!" Jawabnya. Seketika aku langsung teringat desahan-desahan nista dari kamarnya Saka ketika kemarin aku ingin mampir. Gosh!

Menunggu pesanan makanan Icha datang, barulah aku bertanya soal tujuanku siang ini bertemu dengannya.

"Dek?"

"Hemm? Kenapa Kak?"

"Kamu tahu gak di sini postinor dijual bebas atau gak? Atau kamu punya gitu? Bagi lah aku."

"Ehhh??? Kakak abis main sama siapa?"

"Ada lah cowok!"

"Sama Saka?"

"Ya engga lah, gendeng!"

"Oh heheheh! Tapi Kak, itu kan obat bahaya banget? Gak cuma meluruhkan sperma-sperma yang ada, tapi juga organ dalem kakak ikutan ancur loh!"

Aku menelan ludah. Tahu betul apa yang diucapkan Icha itu memang benar. Tapi... Sepertinya itu lebih baik daripada hamil anaknya Lintang kan?

"Dek, aku gak pake itu tiap hari. Ini sekali-kalinya karena emang urgent, sumpah!"

"Kakak sebelumnya pernah pake?"

"Gak pernah."

"Kalau aku kasih, kakak janji ya gak boleh minta lagi?"

Aku mengangguk.

"Kamu punya?" Tanyaku.

"Engga, nanti aku mintain ke temen. Dulu aku punya obat gituan. Tapi semenjak sama Saka gak pernah lagi, karena dia mah pake kondom mulu."

"Jangan bahas-bahas Saka dong Dek, ya ampun, dia tuh temenku, nanti aku memandangnya jadi lain kalau gitu."

"Ih aku kan cerita baik-baiknya tentang Saka kali, Kak. Nih pertama ya, Saka tuh baik banget, ke Kakak aja baik kan?"

Aku mengangguk.

"Kedua, dia tuh enak banget Kak sumpah! Gak ngerti lagi deh ya, kalau maen sama dia tuh beuuuhhhhhh~" Icha bahkan tak menyelesaikan kalimatnya.

"Udah, udah, stop! Jangan dilanjut. Saka baik, oke! Udah itu aja." Kataku.

"Hehehe dasar!"

"Kapan kamu mau kasih aku obatnya?" Tanyaku.

"Nanti malem ya? Aku mampir ke kostan Kak Ayi. Gimana?"

"Mantap!"

"Siang ini aku ditraktir kan Kak?" Icha melirik ke piringnya yang sudah kosong.

"Siap!" Kataku. Well, di Bali sini, aku sudah menganggap Icha sebagai adikku sih. Adik yang lebih wow gitu maksudnya. Hahahah!

Dah deh, satu masalah bisa terurai berkat bantuan Icha. Sekarang waktunya balik ke kantor.

***

Aku mentap heran bos baruku, kok mukanya kaya familiar ya? Tapi aku gak kenal sih, tapi kaya yang kenal, heran deh.

Namanya Satria, tadi sih pas perkenalan katanya umurnya 29 tahun, dan ia belum menikah. Beuh, kan potensial sekali sebagai cowok idaman baru bagi anak-anak kantor.

Aku cukup berkenalan seadanya dengan Pak Satria, karena sekalipun wajahnya terasa familiar, aku gak mau sok akrab gitu dong, nanti disangka anak buah penjilat lagi. Kan ogah. Lagian, kita beda divisi, jadi aku belum menemukan keuntungan apa yang bakal aku dapet kalau aku deketin bos ini. Hahahaha!

Jadi, melipir lah aku dengan Vira, nyicipin aneka kue yang terhidang untuk kami semua.

"Kalau gak inget pacar, gue pepet deh." Kudengar Vira berbisik.

"Ganteng sih emang, tapi badannya kurang bagus, perutnya agak buncit." Kataku, jadi inget Lintang semalem, perutnya dia tuh rata, ada ototnya lah walaupun gak 6 biji.

Ehh, apa sih Yi? Kok bawa-bawa Lintang?

"Ah yang buncit unyu-unyu gitu kali Yi yang sedep!" Ucap Vira.

"Sedep gimana?" Tanyaku.

"Iya lo kalau manja-manjaan jadi anget, kalau tiduran di pahanya nih, perutnya bisa jadi bantal tambahan, oke lah pokoknya."

Aku nyengir, gak dapet di bayanganku kayak gimana. Yang jelas, bos baru ini oke, tapi tetep, ada minusnya.

"Selamat sore!" Aku dan Vira sontak langsung berbalik mendengar sapaan itu, Vira malah terlihat agak pucat.

Matik! Ini Pak Satria gak denger kan omongan kita tadi? Gila aja kalo denger. Langsung dapet SP nih.

"Dayinta ya?" Ucap Pak Satria.

"Iya, betul Pak." Kataku.

"Satunya?"

"Saya Vira, Pak!" Vira bahkan mengulurkan tangannya, membuat Pak Satria sedikit terkejut tapi langsung menjabat ukuran tangan itu.

"Selamat datang Pak, betah-betah ya di sini." Kataku sok asik.

"Iya, terima kasih ya!"

Aku dan Vira hanya mengangguk, sambil tersenyum manis.

"Saya boleh ngobrol sama Dayinta?" Tanyanya. Mampus, ini aku mau dikasih SP gara-gara ngatain buncit apa ya?

"Boleh Pak, monggo!" Seru Vira yang langsung meninggalkan aku. Yeee dasar, ngakunya temen, tapi giliran begini aku ditinggal.

"Kamu inget saya?" Tanyanya ketika hanya kami berdua yang berdiri di sekitaran meja kue.

Aku heran mendengar itu. Nah kan? Gak salah dong aku bilang aku familiar sama mukanya bos baru ini. Tapi dia siapa ya? Di mana aku pernah kenal dia?

"Wajar sih kalau gak inget, kita cuma pernah satu kali ketemu dan situasinya lagi gak enak." Ucapnya, membuatku makin bingung.

"Maaf Pak, tapi saya beneran gak inget." Kataku akhirnya.

"Yep, gak apa. Saya ngerti." Katanya singkat, aku hanya jadi mengangguk seadanya.

"Saya mau bilang makasi sama kamu."

"Makasi buat apa Pak?"

"Kamu beneran gak inget ya?"

Lha?

"Maaf Pak, tapi saya gak tahu. Saya gak punya kenalan yang namanya Satria sebelumnya, maaf." Lagi-lagi aku meminta maaf.

"Saya kakaknya Sosa,"

Ekspresiku langsung berubah mendengar nama itu. Aku langsung merasa bersalah atas apa yang sudah kulakukan semalam.

"Kamu mungkin gak suka sama adik saya, karena dalam sudut kamu, dia yang menghancurkan semuanya kan?"

"Gak usah dibahas Pak, maaf, kalau Pak Satria cuma mau bahas itu, saya permisi ya Pak." Aku memberikan senyum terbaikku lalu berjalan menjauhi bosku itu.

Aku gak siap, dengar apapun pembelaan dari pihak Sosa. Yeah meskipun itu sudah terjadi beberapa bulan lalu, cuma ya hatiku masih sesak. Apalagi ditambah kejadian semalam. Aku merasa jadi makhluk paling absurd di muka bumi ini.

****

TBC

Thank you for reading
Don't forget to leave a comment and vote this chapter xoxoxo

Ps: semalem lupa update eheheh, jadi ntr malem aku update lagi yaa. Ingetin aja

Yuk mampir ke akun dreame akuu. Masih Gratis kok, jadi bisa banget ke sana baca-baca cerita. Karena di WP udah gak bakal full lagi yaa. Di sana juga sepertinya bebas iklan eheheh

***

Dan ini judul2 yang tersedia di play/apps store yaaa

Cusss~

Setiap cerita ada bonus chapter nya
Dan gak bakal kumplit lagi di WP

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top