13. Ya Tuhan?!
DAYINTA
Siang ini, aku didatengin Icha saat makan siang. Baik banget ini anak siang-siang bawa kwetiau pontianak ke kantor. Jadi ya gini, kantor sepi karena yang lain berangkat makan siang, aku doang deh sama Icha di ruangan.
"Kak? Kakak tuh kenal Kak Vira ya?" Tanya Icha, aku menelan kwetiau yang ada di mulut sebelum mengangguk.
"Iya." Jawabku.
"Bete tau aku sama dia!"
"Ehh? Kenapa?"
"Iya, dia kan dulu selingkuhannya Saka. Dulu banget! Pas Saka bales aku."
Aku diam, dalam hati menyambungkan cerita Saka beberapa hari lalu, dan cerita Vira saat aku pertama pindah ke Bali.
"Lha, terus?"
"Gak apa sih! Aku gak pernah cemburu sama cewek yang deketin Saka atau yang Saka godain. Soalnya aku tahu, kapan pun aku mau, Saka pasti available buat aku."
Belum sempat menyuap, aku jadi cuma bisa nelen ludah. Buset dah, ini bocah samanya berarti ya? Urusannya selangkangan doang.
"Saka bilang sama aku, kalau Kakak tahu aku sama Saka open relationship, makanya aku berani cerita begitu, heheheh."
Aku ikutan nyengir.
"Kak? Kakak pas pacaran pernah gituan kan?"
Aku mengangguk kaku. Gak baek sok suci di depan anak kecil. Eheheh.
Icha tiba-tiba nyengir penuh dosa. Dooh, ada apa ini?
"Kakak pernah threesome gak?" Tanya Icha.
"Hah??" Itu adalah ekspresi spontanku ketika mendengar pertanyaan itu.
"Kak ih! Jangan bikin aku awkward dong!"
Aku menggelengkan kepalaku berkali-kali. Ngopyak ini kepala denger pertanyaan Icha.
"Ya pertanyaan kamu ngaco, Cha! Gak! Gak pernah aku! Gak mau juga!"
Muka Icha langsung cemberut mendengar jawabanku. Ya Tuhan, apa jangan-jangan dia bawa Kwetiau nih sebagai sogokan ya?
"Yaah, kakak! Padahal aku penasaran. Pengin nyoba threesome tau Kak! Aku tuh penasaran sumpah, pengin tahu, kalau ceweknya ditambah Saka masih bisa bikin puas gak!"
Tuhan! Kenapa aku harus denger gini sih? Entar kalau ketemu Saka aku pasti awkward, terus risih! Padahal kan dia temenku.
"Kamu cari partner lain aja ya? Ya ampun Icha! Ada-ada aja kamu tuh!"
"Yaah, kakak!" Suaranya terdengar sedih.
Aku tetap konsisten menggeleng.
"Yaudah, kalau gini gimana, kakak coba sama Saka dulu. Kalau okay baru kita bertiga, gimana?" Makin melongo aku.
"Engga, Cha, engga. Jangan bawa-bawa aku plis. Kalian mau main berdua, bertiga, berempat, bersepuluh, atau sebelas kaya tim sepak bola, silahkan, tapi jangan ajak-ajak aku yaa."
Lagi-lagi Icha cemberut. Tapi syukurlah dia gak memaksa lebih jauh. Kami melanjutkan makan berdua. Setelah makan, kami ngobrol sedikit, dan tentu saja bikin aku sakit kepala karena pembahasannya luar biasa sekali.
"Ih sumpah Kak, Saka tuh enak banget! Nyesel loh kalau gak mau nyobain dia!"
Aku cuma bisa geleng-geleng, ya Allah ngapa begini amat ya? Siang-siang udah spaneng gara-gara bocah.
Ketika ruangan ku mulai ramai didatangi yang selesai makan siang, Icha langsung buru-buru pamit pulang. Dia gak mau ketemu Vira katanya.
Dan begitu Vira masuk ruangan, aku langsung ingat curhatannya dulu. Best sex ever, itu katanya. Terus tadi omongan Icha soal Saka? Astaga... kenapa aku repot-repot mikirin ginian sih??
Kembali fokus ke pekerjaan, syukurlah waktu bergerak cepat, aku langsung merapikan mejaku saat jam tanganku menunjukkan pukul 5 kurang lima menit. Setelah itu, berjalan turun untuk antri absen fingerprint, biar pas jam 5. Tadi pagi aku datengnya awal, jadi menit aku di kantor hari ini sudah cukup sepertinya.
Pulang dengan ojek online seperti biasa, aku gak turun percis di depan kostan, melainkan di depan karena berniat membeli makanan untuk makan malam nanti.
Jalan kaki dari depan lorong menuju kostan, jantungku mendadak disko saat melihat ada seseorang di depan kamar kost ku.
Kok bisa?
Dia tahu dari mana?
Aku menahan napas, bingung harus berjalan mendekat atau berbalik untuk melarikan diri.
Begitu aku akan berbalik, orang tersebut sudah melihatku.
"Ayi!" Sial!
Aku kembali berbalik, memasang senyum kaku ketika ia berjalan mendekat.
"Baru pulang?" Tanyanya. Aku mengangguk.
"Bener kan itu kamar kamu?" Ia menunjuk tempatnya menunggu tadi.
Lagi-lagi aku mengangguk. Gosh! Pasrah, aku berjalan ke arah kamarku, membuka kuncinya lalu masuk. Dan tentu saja, orang ini mengikutiku ke dalam.
"Tahu dari mana?" Tanyaku, seraya menyibukan diri dengan tas dan belanjaanku tadi.
"Mama." Jawabnya singkat. Sial, apa jangan-jangan mamanya ngikutin aku lagi pas waktu itu ketemu?
Aku mengangguk singkat.
"Duduk!" Kataku saat ia hanya berdiri di dekat pintu. Akhirnya Lintang bergerak, menarik kursi belajarku lalu duduk di situ.
Aku sendiri masuk ke kamar mandi, mengusap wajah dengan air dingin untuk memberikan kekuatan ke diri sendiri. Ya Tuhan, aku gak tahu harus apa kalau ketemu Lintang tuh.
Keluar kamar mandi, Lintang masih duduk di tempatnya, dan tatapan matanya membuatku risih.
Duduk di ujung kasur, aku menghadap ke arahnya, seolah sudah siap dengan apa yang akan terjadi, padahal belum.
"Kenapa ke sini?" Tanyaku.
"Kangen Yi, udah berapa bulan kita gak ketemu? Dari biasanya tiap hari, jadi gak pernah sama sekali. Biasanya dikabarin kamu, sekarang hubungin kamu aja susah banget."
Aku menelan ludah.
"Bukan aku yang bikin kita begini, Tang."
"Gosh! Kupingku asing banget denger kamu nyebut nama."
Aku hanya mengangkat bahu, lidahku memang agak sedikit kelu juga menyebutkan namanya.
"Ini bukan kehidupan yang mau aku jalani, Yi. Aku gak mau kaya gini. Aku menikah dengan orang yang gak aku sayang, harus ngabisin waktu sama dia padahal aku gak kenal dia. Terus keluargaku, Mama yang tiba-tiba selingkuh. Semua jadi berantakan sejak kamu gak ada Yi."
"Salah aku?" Tanyaku.
Lintang tak menjawab, ia menatapku dengan tatapan putus asa.
"Kenapa kamu milih mundur saat itu? Setelah semua yang kita lalui bareng-bareng?"
"Ya karena kamu harus tanggung jawab lah! Gilak apa ya?!"
Aku menarik napas panjang, dan itu bersamaan dengan hujan yang turun tiba-tiba di luar sana. Ya Tuhan, kenapa pakek hujan segala sih? Kayaknya Bali akhir-akhir ini lagi cerah deh.
"Anaknya Sosa udah lahir." Ucapnya dingin.
"Anaknya Sosa? Anak kalian laah!" Aku mengoreksi ucapannya. Namun Lintang hanya mengangkat bahu, bersikap seolah dia tak peduli.
"Aku gak pernah sayang sama dia Yi, susah kayaknya menganggap anaknya sebagai anakku juga."
"Gosh! Untung aku gak jadi nikah sama kamu!" Seruku kesal.
"Kenapa?"
"Kamu bersikap sepengecut ini, Tang. Kamu kira itu bikin aku simpati sama kamu? Engga, malah bikin empet!"
Gosh, aku menyesal pernah nangisin anak ini. Well, gak tau deh, pokoknya ucapannya barusan, kelakuannya, bikin sebel.
"Kamu pulang gih!" Usirku saat kami berdua berdiam terlalu lama.
"Hujan, Yi!"
Aku memandang ke luar, yeah, langit sudah sangat gelap. Malam jumat ini disambut oleh hujan yang sangat deras.
Menarik napas panjang, aku bangkit dari kasurku, lalu berjalan ke luar kamar, meninggalkan Lintang sendirian. Aku berjalan menuju tangga, sudah tahu tujuanku. Ke kamar paling ujung.
Baru akan mengetuk pintu kamar Saka, aku mendengar suara-suara nista dari kamarnya.
Mengusap wajah, aku lagi-lagi menarik napas panjang.
Ini masih pukul 6, tapi Saka sama Icha udah ngeue aja. Astaga. Kenapa gak maleman dikit gitu loh?? Iya sih suaranya nyaru sama suara hujan, tapi ya kalau diem di depan pintu gini kedengeran jelas loh. Terus, gak ngeri Bli Bayu (tetangganya Saka) denger apa yak?
Karena tahu tidak bisa mengganggu kegiatan tersebut, jadilah aku berbalik, menuruni tangga dan kembali ke kamarku.
Sial! Sepertinya aku memang harus meladeni Lintang malam ini.
Saat kembali ke kamar, Lintang masih ada di sana, ia sudah tidak duduk melainkan melihat-lihat isi kamar. Aku masuk, lalu menutup pintu karena malu kalau ada yang lewat terus liat aku bawa cowo. Dan lagi, dingin ya ampun.
"Ngapain?" Tanyaku.
"Kamar kamu enak."
"Iya, dibantuin Saka."
"Saka, Saskara?" Tanya Lintang, aku mengangguk sebagai jawaban.
Aku duduk di kursi, memerhatikan Lintang yang masih berjalan-jalan di sekitaran kamar. Gosh! Aku kira dengan perginya aku, kita gak bakal ketemu lagi. Eh tapi...
"Tang?" Panggilku. Ia menoleh, berjalan mendekat kemudian duduk di kasur, menghadapku.
"Kenapa?" Tanyanya. Lintang menatapku tajam, membuat pertanyaan-pertanyaan di kepalaku buyar.
"Gak apa-apa." Jawabku singkat, tapi Lintang seolah tak percaya, ia beranjak dari kasur, mendekat ke arahku.
Aku menelan ludah ketika Lintang berlutut di depanku, lengannya ia lingkarkan di pinggangku. Wajah kami setara posisinya, membuatku bisa merasakan hembusan napasnya.
"Kenapa?" Tanyanya lagi. Aku mendadak tidak bisa bicara. Mulutku diam terkunci, begitu juga dengan tubuhku yang tiba-tiba beku.
"Kenapa sayaang?" Tanya Lintang lagi dengan suara yang... gosh, lemes aku dengernya, mendadak jadi siluman ubur-ubur deh ini.
Kugelengkan kepalaku, karena hanya itu lah hal yang mampu kulakukan saat ini.
Mata Lintang menatap kedua mataku lekat, membuat kebekuan yang kurasakan berlangsung lebih lama. Dan, aku tetap diam saat kurasakan tubuhnya makin mendekat, lalu mataku langsung menutup begitu saja ketika bibirnya menempel di bibirku.
Shit!
*******
TBC
Thank you for reading, don't forget to leave a comment and vote this chapter xoxoa
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top