Part 6 - Retak
Mendengar kalimat dari Safira, Rey tertawa pelan. Dalam hatinya, ia tak akan menganggap bahwa Safira adalah pelakor. Sejatinya dari dulu ia tak pernah ada rasa pada Medina. Justru dia mencintai Safira dan bukan Medina. Kekurangan Medina mungkin tak mampu membendung perasaannya. Dia tak bisa menerima kekurangan Medina.
Selama menjalin hubungan ternyata Medina saja yang berjuang, Rey hanya pura-pura. Betapa hancurnya hati Medina ketika laki-laki yang ia agung-agungkan ternyata sama sekali tak memiliki rasa padanya. Medina bak sebuah boneka mainan yang didalangi oleh Safira dan Rey.
Sejujurnya hidup Medina alurnya bagaimana? Medina lelah dengan masalah yang terus menghantam hidupnya. Kegagalan sudah menjadi makanan Medina sehari-hari. Apa sehina itu Medina sampai harus menelan kekecewaan pada makhluk lagi?
"Yang bilang kamu pelakor siapa, hm?" tanya Rey dengan tawa pelannnya yang tersumat dalam bibir ranum itu.
"Kali aja aku disalahin orang lain karena rebut kamu dari Medina. Biasanya kan gitu, kamu diakui orang lain kalau kamu milik Medina. Padahal aku cintanya sama aku. Dan aku otomatis dianggap perebut," Bibir Safira mengerucut manja ketika mengatakan kalimat itu.
Rey gemas mendapatkan perlakuan manja dari Safira. Benar-benar menjijikkan bagi Tiara melihat prmandangan itu. Bagi Medina, pemandangan itu menyakitkan, "Yang bilang kamu pelakor berarti dia yang gak waras. Dari awal aku nggak cinta sama dia. Dari awal aku ketemu kamu, aku lebih nyaman sama kamu. Kamu lebih nyambung diajak ngomong, diajak curhat tentang hubungan palsuku, kamu selalu nyambung."
"Tiga tahun itu waktu yang lama buat aku bertahan pura-pura jadi laki-laki idaman dia. Ya kalau diterusin sampai kapanpun, aku bakal nggak kuat. Karena aku nggak cinta sama dia," tambah Rey lagi menjelaskan.
Tangan Rey menyingkirkan anak rambut yang menutupi sebagian dahi Safira. Dengan sentuhan pelan, Safira tersenyum melihatnya, "Sebelum sama kamu, emang aku hampir jatuh cinta sama dia. Karena aku pikir apa salahnya coba belajar mencintai dia, tapi ternyata sama sekali gak bertahan lama. Kadang bosen, kadang ilfeel sama tingkah laku dia yang over," ungkap Rey lagi yang membuat Medina tersenyum getir.
"Untungnya ada kamu yang jadi tempat berteduhku, ada kamu yang menampung keluh kesahku. Kamu tahu yang paling buat aku nggak nyaman?" tanya Rey pada Safira.
Safira menggeleng. Dia tak tahu jawaban atas pertanyaan dari Rey, "Tiara," sahut Rey memberitahu.
Safira sontak mengerutkan dahinya. Pasalnya dia sama sekali tak tahu jika Rey menaruh dendam pada Tiara. Pantas saja Tiara selalu bertolak belakang pendapat jika harus menyinggung Rey. Sepertinya Tiara memang memiliki perasaan buruk pada laki-laki itu.
"Kenapa Tiara?" tanya Safira yang ingin tahu.
Bibir laki-laki itu tersenyum miring. Nada suaranya seperti berdecak dengan gelengan kepala pelan mengisyaratkan bahwa dia tak nyaman membicarakan masalah ini, "Aku paling benci sama perempuan itu karena perempuan itu tatapannya selalu mengintimidasi setiap aku jalan sama Medina. Seolah-olah dia paling tahu segalanya. Padahal dia juga bodoh sama seperti Medina," sahut Rey.
Kalimat yang baru saja terlontar itu membuat batas kesabaran Tiara meluap tak tentu arah. Apapun yang menyangkut dirinya disinggung, dia tak akan terima dengan pernyataan itu.
Medina cepat-cepat menahan tangan Tiara lagi agar tak keluar dari persembunyian. Tapi Tiara menghempaskan tangannya dan sontak keluar dari balii tembok persembunyiannya. Dan akhirnya Medina ikut keluar dari tembok itu.
"Katamu tadi apa? Benci sama Tiara gara-gara tatapannya selalu mengintimidasi? Emang kenyataannya gitu kan? Sekarang busukmu terkuak. Bener kan apa yang aku duga? Udah kelihatan soalnya dari wajah kamu, dipenuhi niat buruk. Kampungan!" cibir Tiara dengan amarah yang masih bisa dia tahan.
Safira dan Rey terperanjat ketika melihat Tiara dan Medina ada di hadapannya saat ini, "Ngapain ka-"
Medina awalnya sangat mencintai laki-laki yang ada di hadapannya saat ini. Tapi cinta tulus itu sudah dihempaskan jatuh berkeping-keping karena mendengar pengakuan Rey yang menghina fisik, psikis, keluarga, hingga menghina sahabatnya Tiara, "Aku nggak ngerti lagi mau ngomong apa. Dunia bener-bener bercanda banget ya ngatur hidupku."
"Medina-"
Ucapan Safira sontak dipotong Medina dengan kalimat yang sangat menyakitkan bagi Medina. Saking tak bisa mengekspresikan rasa hancurnya, Medina saat ini tertawa keras dengan buliran bening yang terus mengalir dari kelopak matanya, "Nggak usah panggil dengan sebutan Medina. Panggilanku bukan Medina tapi perempuan mandul kata laki-lakimu inu. Perempuan piatu yang haus kasih sayang. Perempuan gila, perempuan bodoh. Apalagi yang pantas untuk jadi panggilanku?"
"Tiga tahun aku agung-agungkan hubungan itu tapi ternyata ...." Medina menggantungkan ucapannya sebelum menampar Rey di hadapannya.
"Bajingan!" umpatnya usai menampar laki-laki itu. Sungguh, tamparan itu tak ada artinya apa-apa bagi Medina. Medina benar-benar sakit hati dengan apapun yang baru saja terungkap dari mulut Rey. Medina pikir Rey adalah laki-laki idamannya tapi ternyata semua palsu belaka.
Karena sangat terbawa emosi, Medina ingin menampar laki-laki itu kedua kalinya tapi tangannya ditahan oleh Safira, "Medina ... Medina! Cukup!"
"Anggap aja selama ini kita nggak pernah menjalin hubungan apa-apa. Memang kenyataannya begitu kan? Berarti selama ini aku cuma patung doang di hidup kamu. Safira hebat banget. Dia segalanya. Iya lah laki-laki mana yang nggak doyan sama perempuan subur jago masak," sindir Medina dengan puncak amarah yang masih menggebu-gebu.
"Bangsat kamu, Fir! Hebat banget sandiwaramu di depan Medina. Kayak orang paling tahu segalanya soal percintaan. Nyatanya apa? Makan temen sendiri. Jodoh emang cerminan diri sih, bajingan dapatnya juga bajingan," umpat Tiara di depan wajah Safira yang ingin melayangkan tangannya namun ditepis langsung oleh Tiara.
"Medina!"
"Medina tunggu!"
"Medina!"
Medina tak mempedulikan Tiara yang memanggilnya. Sungguh, dia saat ini sedang menenangkan hatinya dari jahatnya mulut manusia yang gampang melukai hati. Medina ingin menyerah, "Hidupku bercanda banget ya?"
"Sebenernya Allah benci ya sama aku? Perasaan dari dulu aku terus yang dapat alur hidup buruk," keluh Medina sembari langkahnya terus berlari sampai keluar dari rumah Safira. Tak ada gunanya juga meladeni dua sejoli yang menyakitinya. Cukup tahu saja bahwa dulu dia teramat bodoh mengagung-agungkan laki-laki yang salah.
Medina berhenti di depan mobil Tiara. Cairan bening dsri kelopak matanya terus mengalir. Entah ke seribu kali cairan itu tak bisa berhenti. Saking sakitnya dengan alur hidup yang baru saja terjadi, "Kenapa harus aku, Allah? Aku dosa banget ya jadi manusia sampai aku nggak boleh mencicipi kebahagiaan? Mulai dari gagal masuk sekolah impian, gagal masuk universitas favorite, gagal punya keluarga lengkap, Mama nggak ada, Papa sibuk dengan dirinya sendiri, gagal urusan percintaan sampai gagal jadi perempuan."
"Habis ini gagal apalagi?" tanya Medina seolah-olah berbicara dengan Tuhannya. Sorot mata yang tertutupi buliran bening itu menatap langit yang gelap.
"Tuhan udah percaya sama kamu kalau kamu itu yang mampu diantara banyaknya hamba-hambanya, Med!" seru Tiara yang saat ini ada di samping Medina. Dia ingin menenangkan sahabatnya tapi dia juga tak mau menggangu Medina yang tengah bersedih.
Medina menggeleng. Dia tersenyum getir, "Tapi aku nggak mampu. Disisi mananya Allah lihat kalau aku mampu? Aku nggak mampu. Kenapa aku? Aku bilang aku nggak mampu. Kenyataannya aku nggak kuat. Aku capek sendiri. Aku kayak orang bodoh selama ini. Aku sendirian. Aku nggak punya siapa-siapa di rumah. Aku nggak ada tempat berteduh lagi. Aku bodoh. Aku dilihat dari mananya mampu?" isak Medina.
Tubuh Medina seakan tak bisa ditopang oleh kedua kakinya. Jatuh bersimpuh di atas lantai yang kotor. Tak peduli dengan lantai itu, Medina menangis sejadi-jadinya, "Ada aku. Aku ada untuk kamu," sahut Tiara yang tak tega dengan keadaan hati sahabatnya yang berantakan saat ini.
"Kamu nggak setiap detik harus ada untuk aku, Ra! Kamu juga punya kesibukan sendiri. Kamu punya masalah sendiri. Nggak mungkin aku selalu menggantungkan kamu terus," seru Medina.
"Aku udah terima kalau aku pengidap endometriosis. Aku terima takdir itu. Tapi kenapa Allah tambah terus takdir lain yang nggak bisa aku terima?" ujar Medina lagi.
"Med ... Medina! Medina kamu mau kemana?" panggil Tiara ketika Medina tiba-tiba berlari meninggalkannya. Medina mau kemana? Mau kemana malam-malam seperti ini? Dia harus pulang, Tiara tidak mungkin meninggalkan sahabatnya sendirian tanpa kendaraan apapun malam-malam seperti ini.
Bersambung ...
Ayookk komen yang banyak nanti aku up double double wkwkwkw
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top