Part 5 - Ruang Gelap (2)
Laki-laki itu memang Rey kekasih Medina, dia saat ini bersama Safira sahabat dari Medina. Betapa kecewanya Medina saat melihat kenyataan itu. Dugaannya selama ini salah. Selalu saja membela Rey ketika seseorang tak mempercayai Rey. Saat ini Medina melihat dengan mata kepalanya sendiri. Sungguh hatinya benar-benar sesak.
Tiara yang mendengar penuturan Rey saat ini, ingin melayangkan pukulan dari tangannya. Tapi giliran Medina yang menahan tubuh Tiara agar tak terlihat sedikitpun. Medina ingin tetap bersembunyi. Ia ingin tahu percakapan apa setelah ini. Apakah Rey akan melukai dia lagi dari tutur katanya?
"Andai waktunya bisa diputar, aku bakalan milih kamu biar perempuan itu nggak ngejar terus. Gimana nggak diterima, dia itu kayak orang haus kasih sayang. Orang tuanya nggak ngurusin, makanya nempel terus ke aku," seru Rey pada Safira.
Medina memejamkan matanya, dia tahu yang dimaksud Rey adalah dirinya. Jelas sekali, waktu awal menjalin hubungan memang Medina yang lebih dulu menyukai Rey, tapi dia tak tahu bahwa balasan Rey seperti ini di belakang.
Sorot mata Medina mengintip celah-celah yang memperlihatkan gelagat kekasihnya dan sahabatnya itu. Beberapa detik mata indahnya terpejam ketika melihat kekasihnya mencumbu sahabatnya. Hatinya mencelos tak tentu arah. Orang yang selama ini dia bela mati-matian ternyata ....
"Sekali-sekali kalau dia minta tolong apapun ke kamu, jangan diturutin! Kemarin kamu ajarin dia masak brownies kan? Dia masak terus buat aku. Masakannya nggak enak ya tetep nggak enak karena dia nggak pinter masak," seru Rey pada Safira.
Medina tersenyum getir mendengar kalimat itu. Brownies yang dia buat ternyata begitu tak berarti bagi Rey. Bodoh sekali, dia kemarin sempat begadang demi belajar membuat brownies itu. Sayangnya ....
Dari celah-celah yang tersisa, Medina masih mengintip gelagat dua orang yang sangat ia kenal itu. Dia ingin tahu kalimat-kalimat apa yang akan terlontar dari bibir Rey dan Safira, "Kemarin dia maksa katanya mau buat brownies buat kamu. Ya aku nggak enak nolak dong, kamu tahu sendiri aku temen dia. Aku ajarin dia bikin brownies, kan juga brownies resepku kamu yang makan. Anggap aja masakan itu ada campur tanganku," seru Safira.
"Cuma tangan ini yang bisa bikin masakan enak," puji Rey pada Safira sembari mencium lembut tangan Safira.
Safira terkekeh. Tawa pelannya mencuat dari bibirnya. Terlebih lagi saat Rey menghujani ciuman di pipinya. Ia semakin tak bisa menahan tawanya, "Tiga tahun aku pura-pura sama dia, Ra! Mau mengakhiri pun susah harus gimana? Bosen pura-pura baik sama dia. Apalagi sekarang ada aja masalahnya. Dia kena endometriosis, didiagnosa bakal sulit punya anak kalau nikah. Terus apa untungnya nikah sama dia? Lama-lama kalau diterusin aku bisa gila. Tiga tahun ini aja aku hampir gila," sesal Rey.
Safira terlihat menenangkan Rey yang sedikit frustasi dengan cara melingkarkan kedua tangannya di leher Rey. Dengan bertumpu pada dua tangan kekarnya yang bertengger di meja dapur, Rey membiarkan tangan Safira sesekali memainkan rambutnya.
"Kurang baik apa? Dari awal aku nggak suka, tapi karena kasihan sama dia yang ngejar terus akhirnya aku milih bertahan 3 tahun. Nggak ada istilah 3 tahun itu seneng. Yang ada capek. Di depan dia pura-pura baik. Di belakang aku ngeluh sejadi-jadinya. Tiga tahun itu waktu yang lama. Nggak ada ujungnya hubungannya. Malah dia ngarep mau nikah terus sama aku," jelas Rey pada Safira.
Rey terlihat tersenyum miring seraya tangannya kemudian melingkar di pinggang ramping milik Safira. Malam ini dia benar-benar mencurahkan seluruh isi hatinya pada Safira, "Mimpinya ketinggian. Perempuan nggak ada gunanya kok mau nikah cepet. Aku yakin kalau laki-laki yang deket sama dia tau bahwa dia pengidap endometriosis, nggak ada yang mau kayaknya. Laki-laki normal juga butuh penyaluran kebutuhan biologis. Disodorin perempuan mandul kayak gitu apa untungnya? Wajar aku sering menghindar, brengseknya dia terus berharap ke aku."
"Aku beruntung setelah enam bulan menjalin hubungan sama Medina, kejenuhanku terobati karena aku kenal kamu. Dua setengah tahun kita seperti ini. Sembunyi-sembunyi nggak jelas. Kalau bukan demi kamu yang nyuruh aku bertahan sampai tahun ketiga, aku udah ninggalin dia dari dulu," seru Rey lagi.
Safira tertawa pelan di tengah-tengah Rey mencumbunya lagi. Pemandangan itu yang membuat hati Medina menjerit tak karuan. Ternyata hubungannya selama ini tak benar-benar nyata. Hubungan yang dia agung-agungkan ternyata palsu. Semua permainan belaka.
"Aku minta kamu bertahan sejauh ini sama dia karena aku kasihan sama dia. Dia baru pertama kali pacaran. Kasihan kan? Biar dia tahu rasanya kayak apa pacaran itu. Meskipun agak lebay kalau cerita tentang kamu ke aku. Tapi ya iya-in aja soalnya seru," jawab Safira dengan tawanya yang mencuat keras. Sontak hal itu yang membuat Rey mencubit pangkal hidung Safira karena dia gemas.
"Kamu juga mintanya aku baikin dia terus. Lama-lama ngelunjak, Sayang! Minta nikah segala. Aku mana bisa nikah sama perempuan mandul kayak gitu? Dia nggak mandul aja aku nggak mau. Ada-ada aja," sahut Rey dengan nada sedikit kesal tapi membuat Safira justru malah mengencangkan tawanya.
Karena rasa kesalnya dibalas Safira dengan sebuah tawa kencang, Rey spontan berniat memberi pelajaran pada Safira. Jemarinya telah siap menggelitik sudut demi sudut pinggang Safira sampai perempuan itu menghindar dari tangan Rey, "Sabar! Tahan dulu."
"Permainan kamu bikin aku tersiksa," cibir Rey dengan tangan yang masih betah menggelitik tubuh Safira.
"Justru seru," sahut Safira dengan tawanya.
"Seru apanya?"
"Ya seru aja. Pagi siang sama sorenya kamu ketemu sama dia, malamnya kamu ngeluh ke aku kayak gini," Safira mengencangkan tawanya sembari masih terus menghindar dari Rey, dan Rey spontan mengejarnya. Mereka saling berkejaran satu sama lain, sesekali tawanya menggelegar di seluruh penjuru rumah. Tau kah saat melihat pemandangan itu? Hati Medina benar-benar teriris.
"Bisa gila aku kalau suruh sabar terus," sahut Rey.
"Jangan ketawa terus! Nanti makin cantik," puji Rey saat Safira belum menghentikan tawanya. Sontak saja perempuan itu menyemburatkan rona merah di pipinya pasca Rey memujinya cantik.
Satu bogeman terbit dari tangan Safira ke arah lengan Rey dengan pelan, "Gombal," cibirnya pada Rey.
"Emang kenyataannya begitu kan? Kamu cantik," sahut Rey yang sedikit menahan tangan Safira agar Safira tak memukul lengannya lagi. Dipuji cantik malah tak terima.
"Cantikkan mana aku sama ...." Safira menggantungkan kalimatnya di akhir ketika ingin menyebut nama Medina, justru Rey tahu apa maksud dari kalinat menggantung itu.
"Masih tanya cantik mana? Jelas-jelas kamu yang sering aku puji. Kalau dia ... ya sekedar biar seneng aja. Dilihat dari fisik juga cantik kamu," ucap Rey pelan yang masih bisa didengar Medina dari balik tembok persembunyian dia.
Sejujurnya amarah Tiara sudah diambang batas. Dia ingin keluar dari persembunyian itu, tapi lagi-lagi tangan Medina menahannya agar tetap bersembunyi. Medina sudah diinjak-injak dengan sumpah serapah Rey tapi masih saja betah mendengarkan sumpah serapah itu sampai menghalangi Tiara untuk keluar dari persembunyian. Sejujurnya, Medina belum puas apa saja yang dibicarakan Rey dan Safira. Makanya ia masih menunggu waktu yang tepat untuk keluar.
"Menurut kamu, aku posisinya bukan pelakor kan?" tanya Safira pada Rey.
Pertanyaan apa itu? Jelas-jelas orang gila pun tahu jawabannya. Lantas apa jawaban Rey saat Safira menanyakan posisi Safira saat ini di hatinya?
Bersambung ....
Kurang satu part lagi sejujurnya sumpah serapah ini wkwkwkw tungguin yaaaawww.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top