Part 4 - Ruang Gelap (1)

Medina masih sibuk memikirkan jawaban untuk menjawab pesan singkat dari Rey yang tadi sempat dihapus oleh Rey. Bahkan demi menjawab pesan itu, dia sampai berpikir berulang kali kata apa yang pantas untuk ia gunakan agar tak menyakiti hati kekasihnya. Singkat saja sebenarnya Medina hanya ingin menanyakan perihal mengapa Rey menghapus pesan itu tapi menyusun kata-kata layaknya menyusun tugas akhir yang harus dipikirkan ribuan kali di otaknya, "Ra," panggilnya pada Tiara.

"Apalagi?" sahut Tiara yang sibuk menyetir mobilnya agar cepat sampai di rumah Safira, dan agar dia juga tak terlalu malam sampai rumah nantinya.

"Bales apa Rey? Bantuin nyusun kata-katanya," pintanya pada Tiara.

Tiara menghela napas panjangnya ketika Medina masih sibuk dengan ponselnya. Apalagi sibuk karena Rey, tau sendiri Tiara paling sensitif jija harus membahas masalah Rey yang terkadang tidak terlalu penting baginya, "Nggak usah dibales. Udah biarin aja. Udah mau sampai rumah Safira. Nanti aja dibales. Masa iya dia nggak punya inisiatif chat ulang sih?" cibir Tiara.

Mobil Tiara terlihat masuk ke dalam sebuah perumahan yang ditempati oleh Safira. Perumahan itu cukup elite untuk sekedar ditempati oleh satu orang saja, yaitu Safira. Maklum, Safira memilih tinggal disana karena orang tuanya pun tak pernah di rumah. Terkadang Safira juga lebih memilih tinggal di apartemen milik orang tuanya jika bosan di rumah.

Mobil Tiara melaju sampai di blok paling pojok, tempat dimana rumah Safira ada disana. Ketika mobil itu berhenti di depan rumah berwarna cream, dahi Tiara berkerut, "Kok rumahnya gelap? Safira kemana?" gumamnya.

"Mungkin nggak di rumah, pulang aja deh! Aku takut Rey nunggu di rumahku, tapi aku belum pulang," serunya pada Tiara. Ya, sedari tadi Medina masih berat dengan pesan Rey. Dia takut Rey menunggunya di rumahnya sedangkan ia tak di rumah. Dia juga takut Rey kehabisan baterai karena itu tak bisa menghubungi Medina. Otaknya dipenuhi kabar tentang kekasihnya.

Tiara tak mempedulikan ucapan Medina dan sontak mematikan mesin mobilnya saat mobil itu benar-benar terparkir dengan rapi di depan rumah Safira. Ia mengisyaratkan Medina untuk ikut turun dan mobil itu, "Ayo! Buku Safira ada di tas kan? Kembalikan sekarang aja mumpung disini," ucap Tiara.

"Tapi Safira kan nggak di rumah, masa iya kita main nyelonong masuk tanpa adab sopan santun," sahut Medina yang ragu untuk turun dari mobil Tiara. Namanya juga Tiara, dia langsung menarik tangan Medina yang tampak ragu untuk turun. Dan akhirnya dua sahabat itu turun dari mobil untuk masuk ke dalam pagar rumah Safira.

Sorot mata Tiara menatap pagar rumah Safira yang tak terkunci, hanya tertutup rapat saja. Berarti memang Safira ada di rumah menurut Tiara. Dia sontak membuka celah pagar itu sedikit agar tubuhnya bisa masuk ke dalam rumah Safira, "Biasanya kita juga gitu kalau ke rumah Safira. Safira juga pernah bilang 'anggap aja rumah sendiri kalau mau main masuk aja' ya udah kan udah dipersilahkan dari dulu. Lagian kita nggak ada niat buruk juga."

"Maaf ya Saf! Cuma mau mengembalikan buku aja kok di kursi teras. Nggak bermaksud apa-apa," gumam Tiara sembari mengambil buku yang ada di tangan Medina untuk ia letakkan di meja teras rumah Safira.

"Taruh sini aja ya? Nanti aku chat Safira aja kalau bukunya udah ada di meja teras rumahnya. Nggak usah masuk kita, takut fitnah yang enggak-enggak karena yang punya rumah nggak ada. Meskipun itu rumah sahabat sendiri tapi kan tetep nggak boleh, Ra!" tutur Medina ketika Tiara ingin masuk ke dalam rumah Safira. Medina menahan tangan sahabatnya itu agar tak terlalu melampaui batas sebagai tamu. Dan Tiara akhirnya menurut.

"Iya, maaf-maaf. Ya udah ayo balik aja kalau emang tujuan kita udah selesai. Seenggaknya kamu nggak ada tanggungan pinjem ke Safira. Ayo pulang! Keburu malem aku sampai rumah. Abah sama Mama pasti nyari kalau pulangku larut," seru Tiara.

Saat Tiara ingin beranjak keluar pagar, suara dentingan piring yang sepertinya jatuh terdengar di telinga Tiara dan Medina. Tiara sontak putar balik begitupun juga dengan Medina yang takut terjadi hal-hal yang tak baik di rumah Safira, "Suara apaan?" tanya Medina.

"Fira!

"Safira!" Medina berusaha memanggil Safira, ia takut Safira dalam bahaya di rumah yang sedikit remang-remang itu. Tapi jemari Tiara membungkam mulut Medina agar tak berisik saat ini, "Jangan berisik!"

Tiara penasaran ada apa di dalam rumah Safira. Dia menggandeng tangan Medina untuk mengisyaratkan Medina agar ikut masuk mengendap-endap rumah Safira, "Safira tinggal di rumah sendiri. Nanti kalau ada apa-apa sama dia gimana? Kita lapor polisi aja ya? Aku takut Safira—" ucap Medina.

"Ishh ... punya temen begonya kelewatan. Tadi cuma pecahan piring doang. Bisa aja suara tikus. Ngapain sampai lapor polisi segala? Emang polisi kurang kerjaan nangkep tikus? Udah, cari tahu sendiri aja. Aku juga penasaran suara apa. Lagian Safira juga kemana lagi. Mobilnya nggak ada, pagar gak dikunci," sahut Tiara.

Tiara lantas perlahan membuka pintu utama rumah Safira. Dan benar saja, rumah itu pintunya pun juga tak terkunci. Sebenarnya kemana sahabatnya itu? Rumah gelap dan remang-remang tapi semuanya tak terkunci dan tak menyisakan kendaraan satu pun disana.

Saat Tiara ingin melangkahkan kakinya lebih menjauh, tiba-tiba langkahnya terhenti ketika mendengar suara deheman seorang laki-laki, dan tawa kecil dari seorang perempuan. Lebih tepatnya suara Safira yang tertawa geli.

"Kamu nih malem-malem minta dibikinin teh, aku belum selesai bikin, main peluk aja. Jadinya piringku ikut kesenggol jatuh," Suara itu terbit dari bibir Safira. Ya, Medina dan Tiara angat hapal suara sahabatnya itu. Berarti Safira memang ada di rumah.

"Harus dengan kondisi seperti ini dulu kita bisa ketemu? Padahal aku maunya ketemu setiap hari, tapi nyatanya nggak bisa. Ada perempuan latah yang terus meneror. Lain kali bermalam ke apartemen aja, biar nggak ada yang ganggu," Sebuah ungkapan dari seorang laki-laki yang sangat Tiara dan Medina kenal itu suara siapa.

Sebentar ... Safira tak sendiri di rumah? Lantas laki-laki itu ....

Tiara menahan tangan Medina untuk bergerak sedikitpun saat mendengar suara itu. Sejujurnya Medina ingin memastikan suara siapa itu. Ia berharap dugaannya salah. Tak mungkin juga. Sedari tadi otaknya yang berkecamuk berusaha ia tepis dengan keras. Karena saat ini hatinya benar-benar tak tenang. Tapi lagi-lagi Tiara mengisyaratkan dirinya untuk tetap diam dan menyimak kalimat-kalimat yang dia dengar itu tanpa menunjukkan wajahnya.

"Aku udah bilang kalau kita bisanya seperti ini, Sayang! Ya udah jadi resiko kita," sahut Safira.

"Nggak papa, yang penting ketemu!" seru laki-laki itu dengan tawa kecilnya yang sangat terdengar jelas di telinga Medina.

"Piringnya diberesin nanti aja, Sayang! Yang penting kita ngobrol dulu. Banyak hal yang perlu aku ceritakan ke kamu. Aku pusing mikir sendiri kalau nggak ada kamu," ujar laki-laki itu lagi yang dibalas Safira dengan tawa pelannya.

"Kok ada perempuan sialan kayak gitu? Dia nggak pernah mikir pakai otak. Punya otak nggak pernah dipakai sampai bisanya ngerepotin orang," lanjut laki-laki itu lagi.

Sejujurnya, Medina tak tahu apa yang dilakukan Safira karena posisinya semua ruangan yang ada di rumah Safira sangat gelap. Bahkan, hanya tersisa satu ruangan yang remang-remang yaitu dapur.

Medina dan Tiara yakin, Safira ada di dapur yang dekat dengan ruang tamu bersama laki-laki itu. Lantas, mereka membicarakan tentang apa? Mengapa menyinggung seorang perempuan? Bagaimana dengan dugaan Medina? Dia ingin menyangkal dan memastikan siapa yang bersama Safira, tapi sedari tadi tangan dan mulutnya ditahan oleh Tiara.

Bersambung ....

Aslinya ini ada lanjutannya woy tapi aku potong wkwkwkw nanti malam aku lanjut ya stay tuneee wkwkw...

Hayolohh tahan emosi setelah ini agak nganuu 🤫

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top