Part 34 - Panitia Kemerdekaan?

Medina kira yang memanggilnya tadi adalah Rafi. Dia sudah berharap besar pada laki-laki itu. Tapi saat dia menoleh, ternyata hasilnya nol besar. Bukan Rafi yang memanggilnya, tapi laki-laki yang sepertinya pernah bertemu dengannya saat umroh dulu.

"Kamu Medina kan? Sepupunya Mbak Sera?" tanya laki-laki itu pada Medina.

Sembari mengingat-ingat betul siapa laki-laki itu, Medina mencoba untuk menjawab pertanyaannya, "Iya. Saya Medina," balasnya.

Laki-laki itu tampak mengerutkan dahinya ketika memperhatikan Medina, "Mau kemana?" tanyanya pelan.

Tapi belum sempat Medina membalas pertanyaannya, tiba-tiba seorang laki-laki lain memanggil, "Amran, Ayo! Udah ditunggu yang lain di dalam," panggilnya.

"Duluan ya?"

Laki-laki itu mengurungkan niatnya untuk bertanya ke Medina lagi. Bahkan Medina sendiri pun juga tak jadi menjawabnya. Habis sudah harapan Medina dibabat oleh ekspektasi yang terlalu tinggi.

"Nggak. Mas Rafi bukan siapa-siapaku, nggak seharusnya aku menaruh harapan seperti ini," serunya bergumam menetralkan degup jantungnya yang tadi sempat terpacu tak normal saat laki-laki itu memanggilnya. Dia pikir laki-laki itu adalah Rafi. Jantungnya sempat berdetak cepat.

"Nggak Medina. Ada banyak guru buat kamu belajar. Nggak harus Mas Rafi. Nggak harus Mas Rafi. Nggak harus Mas Rafi Medina. Ayo Medina! Nggak papa," serunya lagi pada diri sendiri. Sungguh Medina gelisah kedua kalinya.

Andaikan saja waktu bisa diputar, Medina tak akan termakan oleh gengsi. Medina pasti tak akan sok jaim. Medina akan nyaman bersama laki-laki baik itu. Semua terlajur. Medina tak bisa berkutik lagi sekarang.

"Nggak papa. Wajar, semua orang punya takdir masing-masing dan belum tentu apa yang dipikir baik itu baik. Karena yang Maha Mengetahui hanya Allah. Mas Rafi bukan laki-laki satu-satunya di dunia ini. Mungkin jika di dunia ini tidak ada laki-laki yang mau sama aku. Nggak papa hidup sendiri," serunya berusaha untuk tetap tenang meskipun dalam hati kecilnya sangat gelisah.

Sepanjang melangkah keluar hotel, Medina terus memainkan ujung bajunya dengan seribu pikiran yang terus menghantuinya. Dia sudah bisa berdamai dengan masalah Rey meskipun masih sedikit kecewa. Tapi untuk masalah Rafi? Sungguh dia belum siap untuk menerimanya.

"Nggak perlu mikir jodoh Medina. Barangkali maut lebih dulu menghampiri dibanding jodoh. Kamu perlu nyiapin bekal untuk pulang ke Allah," serunya menasehati dirinya sendiri.

Sungguh, Medina benar-benar putus asa. Harapannya telah pupus. Tinggal sisa kepingan hati yang berantakan tak utuh. Kini dia memilih untuk benar-benar pergi dari acara pesta pernikahan itu.

Memakan waktu beberapa menit, mobil Medina telah sampai di rumahnya kembali dengan keadaan raut wajah kecut. Rafi benar-benar Menikah ya? Tak ada senyum yang tergambar dari bibir Medina. Pun juga tak ada sorot mata yang memandang terang. Semua redup dan sayu.

"Kamu dari mana aja?" tanya Tiara saat tahu Medina baru saja melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah.

"Dari ...." Medina sengaja mengurungkan niatnya untuk tak menceritakan apapun tentang masalahnya. Bahkan sampai saat ini Tiara belum mengetahui apapun tentang Rafi, "Aku capek mau istirahat dulu."

"Minggu tuh produktif jangan mager mulu!" omel Sera saat melihat langkah Medina menuju ke kamarnya.

Tok ... Tok ... Tok ...

"Siapa yang bertamu? Medina noh ada tamu, bukain!" Tiara sedikit berteriak saat pendengarannya menangkap suara ketukan pintu. Tebakan Tiara pasti tamu itu adalah tamu Medina. Ya jelas. Ini rumah Medina. Masa iya tamu Tiara?

Medina tampak menggeleng seraya langkahnya ingin menaiki anak tangga, "Kamu aja, Ra! Aku capek. Tolong bantu buka pintunya. Terus kalau ada yang nyari aku tolong kasih tau aku nggak di rumah," pinta Medina.

"Sinting nih anak! Rumah situ harusnya kan situ yang punya tamu. Malah mager buka pintu," omel Tiara lagi seraya menggeleng-gelengkan kepalanya menyimak permintaan Medina.

Akhirnya mau tak mau, Tiara sendiri yang membukakan pintu untuk tamu itu. Saat Tiara membukanya, terlihat seorang wanita paruh baya yang ada di ambang pintu. Tiara tahu sanuta itu, dia adalah Mama Sera, "Medina ada?" tanya wanita itu.

"Ada Tante! Mari masuk!" Tak mungkin kan Tiara mengusir keluarga Medina yang bertamu walaupun Medina memesan untuk tak menerima tamu jika ada yang mencarinya. Tapi ini keluarga Medina sendiri, Tiara tak berani asal mengusir saja.

"Medina! Medina! Buruan turun lagi! Mamanya Sera mau ngobrol katanya?" panggil Tiara dari bawah tangga yang menghubungkan lantai satu dengan kamar Medina.

"Apa?" sahut Medina yang masih belum menampakkan wajahnya di atas balkon tapi suaranya terdengar di telinga Tiara.

"Mamanya Sera mau ngobrol. Sekarang ada di ruang tamu," sahut Tiara sedikit kencang.

Ternyata Medina langsung turun dari lantai dua ketika Tiara mengatakan bahwa yang bertamu adalah Tantenya sendiri. Mungkin, Medina tak mau mengusir Tante yang selama ini baik padanya. Bahkan, Medina sudah dianggap anak sendiri oleh perempuan itu. Dia adalah Ibu kedua bagi Medina karen Medina butuh sosok Ibu.

"Tante?" tanya Medina heran mengapa Mama Sera ada di rumahnya saat ini.

"Medina sini, Nak!" perintah wanita itu ke arah Medina san mengisyaratkan Medina untuk duduk di sebelahnya.

Medina semakin mengerutkan dahinya karena wanita itu tak biasa ke rumah ini sendirian tanpa mengajak suaminya, "Ada apa, Tante?"

Langkah Medina perlahan ke arah Mama Sera dan dia mengambil duduk di samping wanita itu, "Kabar kamu gimana?" tanya wanita itu pada Medina.

"Baik," balas Medina pelan.

"Papa kamu?" tanya wanita itu lagi ke arah Medina yang membuat senyum si bibir Medina redup seketika saat mendengar kata itu.

Medina menggeleng, "Nggak tau. Nggak pernah ketemu dia lagi. Tante tumben kesini ada apa? Nggak sama Om? Sendirian kesini?" tanya Medina sekaligus menjawab pertanyaan dari wanita itu.

"Tante kesini cuma mau ngobrol sama kamu," balas wanita itu pelan yang membuat Medina semakin heran, "Ngobrol apa, Tante?"

Wanita itu mengeluarkan sebuah surat berwarna putih dengan balutan amplop coklat tanpa nama pengirim surat. Oh sebentar, ada nama pengirim suratnya. Hanya sebuah coretan stampel tinta yang bertuliskan.

Panitia Kemerdekaan

"Panitia kemerdekaan apaan?" gumam Medina.

"Surat gimana maksudnya? Medina disuruh lomba makan krupuk? Ini dari siapa sih, Tante? Aneh, Medina nggak pernah ikut-ikut ginian," seru Medina.

"Buka aja. Itu buat kamu dari ketua RT dan ada permintaan persetujuan kamu sebagai yang bersangkutan," jawab wanita itu yang benar-benar membuat Medina bingung.

Ketua RT kasih surat untuk lomba agustusan? Untuk apa? Medina saja tak pernah ikut sebelumnya? Kenapa hari ini Medina dapat surat undangan itu?

"Katanya kamu yang ditunjuk sebagai panitia kemerdekaan," seru wanita itu lagi. Sudah dipusingkan dengan masalah hari ini. Dan ini malah ada surat yang datang dari ketua RT setempat untuk ikut lomba agustusan. Apalagi ini? Sangat tidak masuk akal.

Kepada Yth,
Medina Latifa Syarif
Di tempat,

Medina mulai membaca satu persatu kalimat yang ada di dalam surat yang dikirimkan oleh pihak RT. Ketika netranya sampai di paragraf pertama surat itu, dahinya sontak berkerut ....

Bersambung ....

Rafi udah nikah jangan ngarep Rafi lagi kaleannnn ....


Coba tebak besok sad or happy? Endingnya kapan nih enaknya? Besok langsung end apa nanti nanti dulu?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top